Peraturan Menteri KKP Nomor 12 Tahun 2020 Dinilai Tidak Berpihak pada Nelayan
loading...
A
A
A
PANGANDARAN - Terbitnya Peraturan Menteri Kelautan Perikanan (KKP) Nomor 12 tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster Panulirus, Kepiting Scylla dan Rajungan Portunus menuai kontroversi di Pangandaran.
Kontroversi tersebut terjadi lantaran regulasi yang diterbitkan tertanggal 4 Mei 2020 itu tidak sesuai dengan regulasi sebelumnya yaitu Peraturan Menteri KKP Nomor 56 tahun 2016.
Praktisi Hukum yang berkantor pada Kantor Hukum Fredy & Partnes di Kabupaten Pangandaran mengatakan, Peraturan Menteri KKP Nomor 12 tahun 2020 dinilai memihak kepada pengusaha besar saja dan berdampak pada keterpurukan nelayan kecil dan tradisional khususnya di Pangandaran. "Kami khawatir nelayan kecil dan tradisional di Pangandaran akan tersingkir oleh regulasi tersebut," kata Fredy, Jumat (19/6/2020).
Fredy menambahkan, hal tersebut akan membuka praktik monopoli bisnis bagi para pemilik modal besar, investor, eksportir dan importir. "Keberadaan nelayan kecil dan tradisional di Pangandaran saat ini ada pada posisi ancaman baik untuk penghidupan dan keberlangsungan sumber daya perikanan kelautan, serta pendapatan keuangan Negara dan perekonomian Nasional," tambahnya.
Amanat Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 Ayat 3 berbunyi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. "Tujuan dari UUD 1945 itu agar terciptanya Negara yang adil dan makmur sejahtera," tambah Fredy.
Untuk itu kata Fredy, masyarakat berkewajiban menjaga dan melestarikan keberlanjutan ketersediaan sumber daya perikanan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, kesetaraan teknologi budidaya, pengembangan investasi, peningkatan devisa negara, serta pengembangan pembudidayaan lobster panulirus, kepiting scylla dan rajungan portunus. "Peraturan Mentri KKP Nomor 12 tahun 2020 telah menghapus ketentuan yang ada dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 56 tahun 2016," tegasnya.
Pada Peraturan Menteri KKP Nomor 56 tahun 2016 berbunyi setiap orang dilarang menjual benih lobster untuk budidaya dan mengubah ketentuan menjadi eksportir harus melaksanakan kegiatan pembudidayaan lobster di dalam Negeri serta menambah ketentuan tentang benih lobster dengan istilah benih bening lobster. "Peraturan Mentri KKP Nomor 56 tahun 2016 sudah benar karena berpihak kepada nelayan kecil dan tradisional," jelas Fredy.
Fredy menyayangkan, keberpihakan kepada nelayan kecil dan tradisional telah terhapus seketika karena terbitnya Peraturan Menteri KKP Nomor 12 tahun 2020. Bukan hanya itu, selain tentang benih, KKP juga mengubah aturan tentang penangkapan lobster yang bertelur.
Dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 56 tahun 2016 secara tegas mengatur bahwa penangkapan dan atau ekspor lobster, kepiting dan rajungan boleh dilakukan dalam kondisi tidak bertelur. Namun dalam Peraturan Mentri KKP Nomor 12 tahun 2020 mengubah dan menambah diksi dengan kalimat yang terlihat pada abdomen luar sehingga bunyi keseluruhannya menjadi dalam kondisi tidak bertelur yang terlihat pada abdomen luar.
"Peraturan Menteri KKP Nomor 12 tahun 2020 dirasa tidak memberikan rasa keadilan dan mengkhianati nelayan kecil dan tradisional," tutur Fredy.
Peraturan Menteri KKP Nomor 12 tahun 2020 menyebutkan nelayan kecil dan tradisional harus terdaftar dalam Kelompok Nelayan di lokasi penangkapan benih lobster dan nelayan kecil penangkap benih bening lobster ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.
"Pertanyaan kami apakah Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) memiliki data yang valid dan komprehensip terkait dengan data jumlah dan penyebaran seluruh kelompok nelayan kecil dan tradisional di seluruh wilayah Indonesia," tanya Fredy.
Dengan dibukanya izin ekspor benih lobster akan mendorong eksploitasi besar-besaran pada sumber daya perikanan di pusat-pusat penangkapan dan budidaya lobster di seluruh wilayah Indonesia. Eksploitasi itu terang Fredy akan menghancurkan pusat-pusat perikanan rakyat yang selama ini terjaga secara lestari dan berkelanjutan.
Jika Kementerian Kelautan Perikanan memiliki pandangan, kebijakan dan komitmen bersama untuk menjaga, merawat dan menegakan kelestarian keberlanjutan sumber daya perikanan, maka lobster panulirus harus dibesarkan dan dibudidayakan di dalam Negeri sampai dengan tiba masanya secara layak.
Senada dengan itu, Bupati Kabupaten Pangandaran Jeje Wiradinata yang sekaligus sebagai Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Pangandaran menilai, Peraturan Menteri KKP Nomor 12 tahun 2020 berpotensi merugikan penghidupan nelayan kecil dan tradisional. "Seketat apapun aturan pengendalian dan pengawasan penangkapan benih lobster sulit di lakukan," singkat Jeje.
Apalagi dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 12 tahun 2020 terkesan membuka jalan punahnya kelestarian sumber daya perikanan.
Kontroversi tersebut terjadi lantaran regulasi yang diterbitkan tertanggal 4 Mei 2020 itu tidak sesuai dengan regulasi sebelumnya yaitu Peraturan Menteri KKP Nomor 56 tahun 2016.
Praktisi Hukum yang berkantor pada Kantor Hukum Fredy & Partnes di Kabupaten Pangandaran mengatakan, Peraturan Menteri KKP Nomor 12 tahun 2020 dinilai memihak kepada pengusaha besar saja dan berdampak pada keterpurukan nelayan kecil dan tradisional khususnya di Pangandaran. "Kami khawatir nelayan kecil dan tradisional di Pangandaran akan tersingkir oleh regulasi tersebut," kata Fredy, Jumat (19/6/2020).
Fredy menambahkan, hal tersebut akan membuka praktik monopoli bisnis bagi para pemilik modal besar, investor, eksportir dan importir. "Keberadaan nelayan kecil dan tradisional di Pangandaran saat ini ada pada posisi ancaman baik untuk penghidupan dan keberlangsungan sumber daya perikanan kelautan, serta pendapatan keuangan Negara dan perekonomian Nasional," tambahnya.
Amanat Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 Ayat 3 berbunyi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. "Tujuan dari UUD 1945 itu agar terciptanya Negara yang adil dan makmur sejahtera," tambah Fredy.
Untuk itu kata Fredy, masyarakat berkewajiban menjaga dan melestarikan keberlanjutan ketersediaan sumber daya perikanan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, kesetaraan teknologi budidaya, pengembangan investasi, peningkatan devisa negara, serta pengembangan pembudidayaan lobster panulirus, kepiting scylla dan rajungan portunus. "Peraturan Mentri KKP Nomor 12 tahun 2020 telah menghapus ketentuan yang ada dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 56 tahun 2016," tegasnya.
Pada Peraturan Menteri KKP Nomor 56 tahun 2016 berbunyi setiap orang dilarang menjual benih lobster untuk budidaya dan mengubah ketentuan menjadi eksportir harus melaksanakan kegiatan pembudidayaan lobster di dalam Negeri serta menambah ketentuan tentang benih lobster dengan istilah benih bening lobster. "Peraturan Mentri KKP Nomor 56 tahun 2016 sudah benar karena berpihak kepada nelayan kecil dan tradisional," jelas Fredy.
Fredy menyayangkan, keberpihakan kepada nelayan kecil dan tradisional telah terhapus seketika karena terbitnya Peraturan Menteri KKP Nomor 12 tahun 2020. Bukan hanya itu, selain tentang benih, KKP juga mengubah aturan tentang penangkapan lobster yang bertelur.
Dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 56 tahun 2016 secara tegas mengatur bahwa penangkapan dan atau ekspor lobster, kepiting dan rajungan boleh dilakukan dalam kondisi tidak bertelur. Namun dalam Peraturan Mentri KKP Nomor 12 tahun 2020 mengubah dan menambah diksi dengan kalimat yang terlihat pada abdomen luar sehingga bunyi keseluruhannya menjadi dalam kondisi tidak bertelur yang terlihat pada abdomen luar.
"Peraturan Menteri KKP Nomor 12 tahun 2020 dirasa tidak memberikan rasa keadilan dan mengkhianati nelayan kecil dan tradisional," tutur Fredy.
Peraturan Menteri KKP Nomor 12 tahun 2020 menyebutkan nelayan kecil dan tradisional harus terdaftar dalam Kelompok Nelayan di lokasi penangkapan benih lobster dan nelayan kecil penangkap benih bening lobster ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.
"Pertanyaan kami apakah Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) memiliki data yang valid dan komprehensip terkait dengan data jumlah dan penyebaran seluruh kelompok nelayan kecil dan tradisional di seluruh wilayah Indonesia," tanya Fredy.
Dengan dibukanya izin ekspor benih lobster akan mendorong eksploitasi besar-besaran pada sumber daya perikanan di pusat-pusat penangkapan dan budidaya lobster di seluruh wilayah Indonesia. Eksploitasi itu terang Fredy akan menghancurkan pusat-pusat perikanan rakyat yang selama ini terjaga secara lestari dan berkelanjutan.
Jika Kementerian Kelautan Perikanan memiliki pandangan, kebijakan dan komitmen bersama untuk menjaga, merawat dan menegakan kelestarian keberlanjutan sumber daya perikanan, maka lobster panulirus harus dibesarkan dan dibudidayakan di dalam Negeri sampai dengan tiba masanya secara layak.
Senada dengan itu, Bupati Kabupaten Pangandaran Jeje Wiradinata yang sekaligus sebagai Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Pangandaran menilai, Peraturan Menteri KKP Nomor 12 tahun 2020 berpotensi merugikan penghidupan nelayan kecil dan tradisional. "Seketat apapun aturan pengendalian dan pengawasan penangkapan benih lobster sulit di lakukan," singkat Jeje.
Apalagi dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 12 tahun 2020 terkesan membuka jalan punahnya kelestarian sumber daya perikanan.
(alf)