Kisah Arung Palakka, Pahlawan Bone yang Dicap Pengkhianat

Selasa, 19 April 2022 - 05:00 WIB
loading...
Kisah Arung Palakka, Pahlawan Bone yang Dicap Pengkhianat
Pahlawan Bone, Arung Palakka yang juga dicap sebagai pengkhianat.Foto/ist
A A A
Arung Palakka adalah Sultan Bone yang menjabat pada 1672 hingga 1696. Dia lahir pada 15 September 1634. Ia adalah putra Raja Bone ke-XIII La Maddaremmeng Matinro’e Ri Bukaka.

Saat masih berkedudukan sebagai pangeran, Arung Palakka (juga disebut Aru Palakka) memimpin kerajaannya meraih kemerdekaan dari Kesultanan Gowa pada 1666. Arung Palakka pula yang menjadikan Bugis sebagai kekuatan maritim besar bekerja sama dengan Belanda dan mendominasi kawasan tersebut selama hampir seabad.

Baca juga: Dr Oen, Dokter Pejuang Kemerdekaan, Penolong Wong Cilik hingga Jenderal Sudirman

Sosoknya kerap dianggap sebagai pemberontak dan pengkhianat karena Arung Palakka bekerja sama dengan VOC. Pada masa pemerintahan ayahnya, Kerajaan Bone ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa dan statusnya tidak lagi menjadi kerajaan yang merdeka.

Tidak hanya itu, raja beserta keluarganya dibawa ke Makassar sebagai tahanan dan diperlakukan seperti budak. Keluarganya dipekerjakan sebagai pelayan di istana Karaeng Pattingalloang, mangkubumi Kerajaan Gowa.

Kala itu, Palakka berusia 11 tahun. Sang pangeran sudah menjadi tawanan Kesultanan Gowa di Makassar. Sebagai tawanan, ruang geraknya sangatlah terbatas. Hatinya berontak, impian untuk bisa melepaskan diri dari kekuasaan Gowa selalu tertanam di hati dan pikirannya.

Akhirnya cita-cita itu bisa terwujud meskipun dengan pertaruhan yang amat besar. Arung Palakka terpaksa bekerjasama dengan Belanda membebaskan rakyat Bone dari penjajahan Gowa. Karena sikap nya berkomplot dengan Belanda, citra Arung Palakka hingga kini disebut sebagai pahlawan sekaligus menjadi pengkhianat.

Dilema Sang Pangeran
Arung Palakka adalah putra Raja Bone ke-XIII La Maddaremmeng Matinro’e Ri Bukaka. Kendati menyandang status pangeran, Arung Palakka tak bisa menikmati hidup enak. Dia terlahir dalam suasana konflik antar-kerajaan di Sulawesi Selatan. Polemik tersebut sebenarnya terjadi jauh sebelum Arung Palakka dilahirkan.

Ada empat 4 kerajaan yang terlibat, yaitu Bone, Soppeng, Wajo, dan Gowa-Tallo. Dari semua itu, Gowa-Tallo adalah kerajaan yang paling berpengaruh dan bernafsu untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Puncak pertikaian terjadi saat Gowa-Tallo resmi menjadi kerajaan Islam pada 1605.

Seperti dicatat dalam Sejarah Nasional Indonesia, Volume 3 (2008), Kerajaan Gowa memaksa tiga kerajaan lain untuk menganut agama yang sama sekaligus meluaskan pengaruh politiknya. Bone yang berpuluh-puluh tahun sebelumnya cukup merepotkan Gowa akhirnya harus menyerah pada 1611.

Sejak saat itu, Bone ikut menganut Islam dan menjadi taklukan Gowa. Meskipun begitu, kedudukan raja Bone masih diakui dan sempat dimerdekakan kendati rangkaian konflik masih saja terjadi di era-era setelahnya.

Pada 1643, Bone benar-benar jatuh dan wilayahnya diperintah langsung oleh Sultan Gowa. Peristiwa tersebut terjadi ketika Bone dipimpin Sultan La Maddaremmeng yang tidak lain adalah ayahanda Arung Palakka.

Takluknya Bone kepada Gowa membuat Arung Palakka dan keluarganya dijadikan tawanan. Menurut Palloge Petta Nabba dalam Sejarah Kerajaan Tanah Bone (2006), Arung Palakka dan keluarganya dijadikan pelayan di kediaman Perdana Menteri Gowa, Karaeng Pattinggaloang.

Namun Pattinggaloang tetap menaruh respek kepada keluarga Arung Palakka, dan Arung Palakka pun tumbuh menjadi seorang pemuda cerdas dan gagah di bawah bimbingannya. Hingga suatu ketika, Arung Palakka akhirnya bisa terbebas dari cengkeraman Gowa setelah terjadi aksi pemberontakan orang-orang Bone yang dipimpin Tobala.

Pada akhir 1660, Arung Palakka dibantu beberapa mantan petinggi Kesultanan Bone yang masih setia menyerang Gowa. Serangan ini membawa hasil, Arung Palakka membebaskan orang-orang Bone yang dipekerjakan paksa. Sayangnya, Tobala tewas dalam peperangan tersebut.

Arung Palakka terpaksa mundur. Untuk meraih kemenangan, ia belum sanggup lantaran armada militer Gowa masih terlalu kuat, bahkan membuatnya kian terdesak. Arung Palakka pun terpaksa melarikan diri karena menjadi target utama pasukan Gowa yang mencarinya sampai ke Buton.

Di saat yang sama, VOC datang menawarkan bantuan. Kondisi ini sebenarnya dilematis bagi Arung Palakka. Di satu sisi, ia muak dengan ambisi VOC. Namun di sisi lain, ia memerlukan dukungan kaum penjajah itu jika ingin menuntaskan dendamnya sekaligus menjadikan Bone sebagai pemerintahan yang berdaulat lagi.

Akhirnya, pada 1663, Arung Palakka dan para pengikutnya berlayar jauh ke Batavia, tepat di mana pusat kekuasaan VOC berada. Selain untuk menyelamatkan diri dari kejaran Gowa, Arung Palakka ternyata harus membuktikan terlebih dulu bahwa ia memang benar-benar butuh bantuan VOC.

VOC mengizinkan Arung Palakka dan orang-orangnya menetap di Batavia—inilah asal-muasal Kampung Bugis yang kini berada di wilayah Jakarta Utara. Namun mereka harus membantu VOC sekaligus sebagai pembuktian diri bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh dan dapat diandalkan. Kehadiran Arung Palakka sangat menguntungkan VOC.

Setelah 3 tahun membantu VOC, Arung Palakka ingin menuntaskan dendam sekaligus merebut kembali wilayah Bone yang dikangkangi Gowa. Pada 24 November 1666 armada besar bertolak dari pesisir utara Batavia menuju Celebes, terdiri dari 21 kapal perang yang mengangkut 1.000 prajurit.

Pasukan Arung Palakka yang beranggotakan 400 orang semakin percaya diri berkat bantuan VOC yang menyumbangkan 600 orang tentaranya dari Eropa yang paling terlatih. Mereka berangkat untuk mengalahkan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin.

Terjadilah pertempuran legendaris itu. Gowa pada akhirnya menyerah, dan tanggal 18 November 1667 Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya yang menandai kemenangan VOC dan Arung Palakka walaupun selama beberapa tahun berikutnya serpihan pasukan Gowa masih melakukan perlawanan.

Pada 1672 Arung Palakka dinobatkan sebagai Sultan Bone. Impiannya menjadi kenyataan. Ia memang hanya menuntut haknya kembali sebagai pewaris takhta Bone, sekaligus membebaskan Bone dari penguasaan Gowa dan membalaskan dendamnya, meskipun dengan cara yang tidak bisa memuaskan semua pihak.

Pusaka Arung Palakka
Banyak kisah menarik mengenai Arung Palakka. Di antaranya beberapa pusaka peninggalannya yang masih tersimpan hingga kini. Salah satu pusaka peninggalan Arung Palakka yaitu Keris (La Makkawa) Tappi Tatarapeng karena seluruh hulu dan sarungnya berlapis emas.

Pada zamannya pusaka ini dipergunakan oleh Arung Palakka dalam setiap pertempuran melawan musuh kerajaan. Pusaka ini memiliki sifat ketajaman serta sangat berbisa, sehingga sekali tergores (terluka) sekejap waktu akan meninggal atau dalam bahasa Bugis disebut Makkawa.

Pusaka ini juga merupakan salah satu perlengkapan resmi dalam upacara pelantikan dan pengangkatan Raja-Raja Bone. Selain keris ada juga Kalewang (La Tea Riduni) Alameng yang hulunya berlapis emas dan dihiasi intan permata. Konon pusaka ini selalu dikebumikan bersama Raja yang mangkat.

Namun setiap kali itupun memunculkan diri di atas makam yang diliputi cahaya terang benderang. Sehingga atas kejadian ini, maka pusaka ini disebut La Tea Ri Duni (yang tidak berkenan untuk dikebumikan). Pusaka ini kemudian disimpan dan mendapat pemeliharaan, serta dipergunakan sebagai perlengkapan resmi dalam upacara Pelantikan dan Pengangkatan Raja-Raja Bone.

Selain Kelewang ada juga tombak (La Salaga). Merupakan sebuah Tombak yang pegangannya dekat mata tombak dihiasi emas. Tombak ini merupakan simbol kehadiran Raja. Selain itu Arung Palakka memiliki payung pusaka Kerajaan Bone hadiah dari Kerajaan Pariaman, yang merupakan wujud sikap persaudaraan antara dua kerajaan.

Pusaka ini menjadi suatu alat perlengkapan resmi pengangkatan dan pelantikan raja-raja hingga Raja Bone terakhir. Tongkat payung mempunyai tinggi 18 ruas yang terbuat dari emas. Daun payung bermahkotakan emas, dikelilingi 11 anting emas; meliputi 72 helai jari-jari yang dilengkapi dengan 71 buah anting-anting kecil serta 57 buah anting besar yang terbuat dari emas.

Pada kain payung, tampak dihiasi dengan dua susun lilitan rantai emas, sebagai tanda kesatuan persaudaraan antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Pariaman. Arung Palakka juga memiliki selempang emas berbentuk rantai-rantai yang berukuran besar dengan jumlah 63 potongan dengan panjang 1,77 meter dengan berat seluruhnya mencapai 5 kg.

Pada ujungnya tergantung dua buah medali emas bertuliskan bahasa Belanda sebagai tanda penghormatan kerajaan Belanda kepada Arung Palakka Raja Bone ke-15. Selempang emas ini merupakan Pusaka Kerajaan Bone yang juga hadiah dari Raja Pariaman. Pusaka ini kemudian menjadi perlengkapan resmi dalam upacara pelantikan dan penobatan Raja-Raja Bone.

Sumber: - Sejarah Kerajaan Tanah Bone (2006)
- Silsilah Arung Palakka (Royal Ark)
- laskarbugies.blogspot
- thearoengbinangproject
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2415 seconds (0.1#10.140)