Kesucian Ramadhan dan Detik-detik Pangeran Diponegoro Ditangkap Belanda saat Lebaran

Senin, 11 April 2022 - 04:52 WIB
loading...
Kesucian Ramadhan dan...
Lukisan Pangeran Diponegoro.Foto/ist
A A A
Ramadhan hingga Lebaran menjadi bulan penting dari sejarah Pangeran Diponegoro . Pada moment bulan suci, Pangeran Diponegoro akan istirahat untuk membahas peperangan. Meski ada kegiatan rapat atau pertemuan, yang ada hanya ramah tamah biasa.

Tekad untuk menjadikan bulan Ramadhan istirahat perang disampaikan Pangeran Diponegoro pada awal Maret 1830. Jenderal De Kock, perwira perang Belanda pun menyetujuinya. Pesan Diponegoro ke De Kock disampaikan melalui Cleerens.

De Kock bahkan bermanis muka kepada Diponegoro dengan memberinya seekor kuda yang bagus warna abu-abu dan uang f10.000 yang dicicil dua kali untuk biaya para pengikutnya selama bulan puasa.

Baca juga: Cerita Pangeran Diponegoro Menolak Bantuan Nyai Roro Kidul di Gua Langse

"Dia juga mengizinkan anggota keluarga Diponegoro yang ditawan di Yogyakarta dan Semarang, untuk bergabung dengan sang pangeran di Magelang," kata Sejarawan, Peter Carey, penulis buku P.Diponegoro, "Takdir "dan "Kuasa Ramalan".

Dalam suatu surat-menyurat pribadi dengan Van den Bosch setelah pertemuannya 8 Maret dengan Diponegoro, ia mengatakan kepada Gubernur-Jenderal bahwa menurut anggapannya tibanya sang Pangeran di Magelang merupakan penyerahan diri de facto (Louw dan De Klerck 1894–1909, V:569).

Hari pertama puasa atau 1 Ramadhan 1245 hijriah itu jatuh pada 25 Februari 1830. Masa-masa di bulan puasa, juga digunakan sang Pangeran untuk beristirahat.

Mengutip Okezone.com, Pangeran Diponegoro bahkan sempat dirawat oleh dokter militer di garnisun militer Belanda yang cukup kuat di sekitar pegunungan Menoreh karena gejala malarianya kambuh.

Pada tengah hari 8 Maret 1830 (kahri ke-12 Ramadhan), Diponegoro dan pasukan bertombaknya memasuki kota Magelang untuk sebentar bertemu Letnan Jenderal de Kock dan pejabat lain di kantor Residen Kedu.

Ia masuk bersama “para panglimanya yang masih muda-muda, serta anggota rombongan yang jumlahnya sudah membengkak menjadi 800 orang." Dalam pertemuan itu, tulis Carey, "de Kock dan Diponegoro saling cerita bertukar lelucon dan menemukan mata saat bertemu."

Tidak ada penangkapan atau pertikaian pada hari itu, meski de Kock bisa saja melakukannya. Jika Diponegoro diringkus saat itu juga, menurut Carey, “Belanda takut mereka akan menghadapi pertempuran baru lagi jika pemimpin Perang Jawa itu ditangkap secara paksa dengan kekuatan militer."

Letnan Jenderal de Kock merasa, Diponegoro bisa saja kabur dan terus melawan lagi lain waktu bila dibiarkan. Panglima tertinggi tentara Belanda itu juga sadar, sebagaimana dikutip Carey, “[Penangkapan macam itu] tidak terpuji, tidak ksatria, dan curang karena Diponegoro telah datang ke Magelang dengan niat baik bertemu saya."

"De Kock tampaknya telah bertemu dengan Diponegoro dalam tiga kesempatan yang berbeda pada masa ini, dua kali dalam acara jalan subuh di taman keresidenan dan sekali ketika ia datang sendiri ke pesanggrahan Pangeran itu sebelum mulai puasa hari itu," ucap Carey.

Menurut kesaksian Diponegoro, tiga pertemuan ini berlangsung dalam suasana menyenangkan dan santai, dengan kedua¬nya bertukar canda dan merasa senang bertemu. Bahwa keduanya masih berkabung atas kematian istri masing-masing yang sangat mereka kasihi serta yang meninggal dalam waktu yang terpaut satu tahun antara November 1827 dan November 1828, tampak telah membuat mereka merasa istimewa dekatnya.

Setelah pertemuan itu, Diponegoro dan pengikutnya berkemah di Matesih, sebuah daerah di tepi Kali Progo. Di mana perwira bernama Mayor Francois Victor Henri Antoine Ridder de Steur, yang tak lain mantu de Kock, melukis perkemahan tersebut.

Carey mencatat, Belanda nyatanya tak semurah hati itu. Residen Yogyakarta Frans Gerhardus Valck menempatkan Tumenggung Mangunkusumo dalam rombongan Diponegoro sebagai mata-mata. .

Sementara hubungan baik ini sedang terbentuk, De Kock menjadi sadar bahwa Diponegoro tidak akan pernah menyerahkan diri tanpa syarat kepada gubernemen.

Perlakuan De Kock yang manis ternyata bermuatan politis. Dia membiarkan Diponegoro menikmati jaminan keamanan semu, sembari berharap sang pangeran menyerah tanpa syarat.

“Motif dan cara tidak terhormat seperti ini tentu tidak dikatakan secara terbuka, namun dalam pandangan De Kock, apa boleh buat, tujuan menghalalkan segala cara,” tulis Peter Carey di buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).

Namun, sikap manis De Kock selama bulan puasa tak dapat meruntuhkan pendirian Diponegoro. Tumenggung Mangunkusumo, mata-mata yang ditanam residen Valck dalam kesatuan Diponegoro, melaporkan bahwa Diponegoro tetap kukuh dalam niatnya untuk mendapat pengakuan sebagai sultan Jawa bagian selatan.

Tapi perwira senior Belanda lain menyatakan bahwa Diponegoro sebagai ratu paneteg panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya (ratu dan pengatur agama di seluruh Tanah Jawa).

Mendengar kabar tersebut De Kock mengambil langkah tegas. Pada 25 Maret 1830, dua hari sebelum bulan puasa berakhir, dia memberi perintah rahasia kepada dua komandannya, Louis du Perron dan A.V Michels, untuk mempersiapkan kelengkapan militer guna mengamankan penangkapan sang pangeran.

Gencatan senjata yang berlangsung selama Ramadhan berakhir tragis: Diponegoro ditangkap pada hari kedua lebaran, 28 Maret 1830. (diolah berbagai sumber)
(msd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1600 seconds (0.1#10.140)