Kisah Kiai As'ad yang Melatih Pasukan Khusus Ikut Bertempur pada 10 November 1945

Minggu, 13 Maret 2022 - 05:04 WIB
loading...
Kisah Kiai Asad yang Melatih Pasukan Khusus Ikut Bertempur pada 10 November 1945
Kiai Haji Raden (KHR) Asad Syamsul Arifin.Foto ist
A A A
JAKARTA - Sejarah mencatat, pertempuran pada 10 November 1945 , salah satu peristiwa paling heroik, di mana kaum muda bertaruh nyawa mempertahankan kemerdekaan. Gelora Arek-arek Suroboyo menggema membakar semangat para pejuang. Peluh dan darah petarung sejati menyatu dalam bau mesiu dan desing peluru musuh. Peristiwa 10 November ini pun dikenang sebagai Hari Pahlawan. Dan Surabaya, tempat berlangsungnya pertempuran, dijuluk sebagai Kota Pahlawan.

Kota Pahlawan dan Hari Pahlawan mengingatkan kepada generasi bangsa bahwa pada momen itu di Surabaya, penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia, gagal total menembus spirit perjuangan anak bangsa yang berdiri kokoh di atas fondasi kebersamaan dan persatuan. Baca Juga: Peristiwa 10 November 1945



Yang menarik dan tak terlupakan dalam catatan sejarah, salah satu elemen bangsa yang ikut bertempur kalau itu adalah para Kiai. Salah satu tokoh yang paling dikenal adalah Kiai Haji Raden (KHR) As'ad Syamsul Arifin.

Dalam catatan tokoh NU Samsul A Hasan, Kiai As'ad yang lahir pada 1897 di Makkah itu, salah satu tokoh yang terlibat aktif dalam pertemuan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Surabaya pada 22 Oktober 1945. Pertemuan yang dihadiri Rais Akbar NU Hadratus Syech KH Hasyim tersebut menghasilkan Resolusi Jihad.

Resolusi itu kemudian dikenal sebagai motor spiritual penggerak semangat warga Surabaya dan sekitarnya untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan dan melawan penjajah. Tindak lanjut dari resolusi ini, Kiai As'ad kemudian bergerak ke Madura, diawali dari Bangkalan, kemudian ke Sampang dan dilanjutkan ke Pamekasan hingga ke Sumenep.

Di empat kabupaten tersebut, Kiai As'ad bertemu dengan para ulama dan menyerukan resolusi jihad untuk melawan penjajah. Kiai As'ad menggerakkan ulama di Madura mengumpulkan warga untuk dilatih fisik dan rohani agar memiliki kemampuan berperang.

Saat hendak mengumpulkan massa itu, ada persoalan terkait siapa yang bakal ikut berjihad, para Kiai atau santri. Kalau memilih kiai atau ulama untuk berperang, siapa yang akan mengurusi pendidikan agama, khususnya di pesantren?

Lalu, kalau santri yang terlibat, siapa yang akan meneruskan dakwah Islam di masyarakat nantinya jika banyak santri yang gugur. Kemudian, kalau wali santri, siapa yang akan membiayai santri dalam menuntut ilmu agama? Maka pilihannya bukan pada ketiga pribadi itu. Pilihannya untuk ikut berperang adalah pada penjahat.

"Rasa-rasanya, inilah pilihan yang paling pas. Bukankah mereka (penjahat) memiliki modal keberanian? Lagi pula kalau mereka nantinya mati, berarti mengurangi jumlah orang jahat. Syukur-syukur kalau mereka nantinya insyaf," tulis Samsul A Hasan dalam bukunya bertajuk Kisah Tiga Kiai Mengelola Bekas Bajingan; Sang Pelopor.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1176 seconds (0.1#10.140)