Hilangnya Kekuatan di Jalur Laut sebabkan Kerajaan Sriwijaya Runtuh

Jum'at, 25 Februari 2022 - 05:05 WIB
loading...
Hilangnya Kekuatan di Jalur Laut sebabkan Kerajaan Sriwijaya Runtuh
Sejarah mencatat, Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim di Nusantara dengan cakupan wilayah kekuasaan yang luas Namun, ketika kekuatan armada maritim lemah, Sriwijaya pun tamat. Foto ilustrasi
A A A
JAKARTA - Sejarah mencatat, Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim di Nusantara dengan cakupan wilayah kekuasaan meliputi Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Filipina. Namun, ketika kekuatan armada maritim lemah, Sriwijaya pun tamat.

Kerajaan yang berdiri pada abad ketujuh dengan raja pertama bernama Dapunta Hyang yang dikenal dengan nama Sri Jayanasa (671-728 M) ini selain menjadi pusat perdagangan dunia, juga menjadi pusat kebudayaan, peradaban, dan ilmu pengetahuan Agama Buddha. Baca Juga: Kolam Segaran, Cerita Di Balik Pamer Kekayaan Kerajaan Majapahit
Kebesaran kerajaan bercorak Budha itu tertuang dalam berbagai bentuk peninggalan seperti prasasti antara lain prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, Kota Kapur, Karang Brahi, dan Palas Pasemah. Selain itu, kebesarannya juga diakui oleh para biksu yang datang belajar di Sriwijaya, salah satunya biksu I Tsing dari China.



Dalam buku Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula (2006) karya Munoz disebutkan bahwa para biksu dari berbagai penjuru datang dan tinggal di kerajaan ini dalam waktu yang lama untuk mempelajari ajaran Buddha.

Terkenalnya Sriwijaya sebagai pusat pembelajaran ajaran Buddha tidak lepas dari peran Dharmakrti. Dia adalah biksu tertinggi di Kerajaan Sriwijaya yang memiliki pengetahuan luas tentang ajaran Buddha.

Disebutkan juga bahwa sebagai kerajaan maritim, armada Sriwijaya terkenal kuat dan disegani. Karena kekuatan itu, Sriwijaya menguasai jalur-jalur perdagangan di Asia Tenggara, terutama Selat Malaka yang merupakan jalur utama perdagangan antara India dan China. Sriwijaya mendapat kekayaan dari barus, cengkih, cendana, pala, dan gajah.

Kerajaan yang terletak di Palembang, Sumatera Selatan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kepemimpinan Balaputradewa. Sayangnya, masa-masa kejayaan pada abad kesepuluh itu tak berlangsung lama. Sebab pada masa pemerintahan Balaputradewa, serangan datang dari berbagai penjuru.

Prasasti Nalanda yang ditemukan di India menyebutkan bahwa pada masa Balaputradewa, Sriwijaya kehilangan kekuasannya di Jawa. Disebutkan, Kerajaan Medang dari Jawa menyerang Sriwijaya dari tahun 988 hingga 992. Meski Sriwijaya bisa mengatasi serangan tersebut, namun perlahan kekuatannya menurun.

Memasuki abad ke-11, Sriwijaya kembali mendapat tantangan. Kali ini Sriwijaya diserang oleh Raja Rajendra Chola I dari Kerajaan Chola di India Selatan, tepatnya, pada 1017 dan 1025.

Celakanya, Raja Rajendra Chola I berhasil menduduki beberapa daerah kekuasaan Sriwijaya. Ini terjadi ketika Sriwijaya dipimpin Sangrama-Vijayottunggawarman. Perlahan tapi pasti, Chola berhasil mengendalikan Sangrama. Chola menerapkan strategi jitunya untuk melemahkan Sriwijaya dan menguasi jalur laut. Beberapa kerajaan bawahan Sriwijaya yang telah ditaklukkan dibolehkan untuk memerintah, namun tetap harus tunduk pada pihak Chola.

Imbasnya, Sriwijaya melemah dan kerajaan bawahan bertumbuh menjadi kuat. Situasi ini diperburuk dengan kondisi alam yang tidak bersahabat. Dalam buku Geografi Kesejarahan II (1982) karya Dalijoeni, disebutkan bahwa Sumatera merupakan daerah dengan curah hujan tinggi. Air hujan meresap terlalu dalam hingga kesuburan tanah berkurang.

Di sisi lain, air hujan juga tidak terserap hingga banjir dan membawa material daratan ke Sungai Musi, Palembang. Ini menyebabkan sungai-sungai menjadi dangkal dan daratan kurang produktif. Sriwijaya perlahan kehilangan akses perdagangannya di Sungai Musi, jalur sungai yang sebelumnya menjadi tambang emas bagi kerajaan.

Belum lagi situasi politik di Asia Barat dan Asia Tengah mengakibatkan lesunya pelayaran di wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Dengan lesunya jalur perdagangan, bea masuk pelabuhan yang menjadi sumber perekonomian penting bagi Kerajaan Sriwijaya di Sumatra semakin berkurang.

Di tengah situasi alam tidak bersahabat, Sriwijaya juga dihadapkan dengan Ekspedisi Pamalayu dari Singasari, Jawa Timur pada 1275 M. Ekspedisi ini merupakan siasat Singasari untuk melemahkan kekuasaan politik dan ekonomi Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka dan daerah jajahannya. Ekspedisi ini juga ditengarai sebagai strategi Kerajaan Singasari untuk meluaskan wilayah kekuasaan ke Sumatera.

Tidak hanya tantangan menghadapi ekspedisi Singasari, Sriwijaya juga dilemahkan oleh ekspansi China ke Asia Tenggara pada masa Kubilai, dari Mongol Ekspansi ini melemahkan kekuatan Kerajaan Sriwijaya yang semula berkuasa hingga Filipina.

Bersamaan dengan itu, pada abad ke-13, tumbuh kerajaan baru bercorak Islam di Aceh, yaitu Kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan baru ini pengaruhnya semakin kuat dan melemahkan Sriwijaya karena jalur ekonominya perlahan dikuasai.

Menguatnya koloni muslim di daerah-daerah jajahan Sriwijaya membuat pengaruh kerajaan ini secara perdagangan dan budaya menurun. Pada 1377, riwayat Sriwijaya berakhir ketika diserang oleh Kerajaan Majapahit.

Diolah dari berbagai sumber
(don)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1712 seconds (0.1#10.140)