Jampidum Ungkap Alasan Maling Ayam Tak Perlu Masuk Pengadilan
loading...
A
A
A
SEMARANG - Mencari keadilan di negeri ini masih menjadi pekerjaan besar yang tak kunjung tuntas. Dalam perkara kecil seperti pencurian ayam, ternyata mesti merogoh kocek cukup dalam, meski kasus itu ditangani aparat penegak hukum.
“Misalnya kasus pencurian ayam. Seorang korban pencurian ayam yang nilainya tidak seberapa, tapi korban itu begitu banyak merasakan kepedihan hingga proses pengadilan,” kata Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana, ketika menjadi narasumber Seminar Nasional Hukum Progresif Rekonstruksi Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya yang digelar secara daring, Jumat (18/2/2022).
“Dengan susah payah dia hadir (ke pengadilan). Berapa biaya yang dikeluarkan olehnya untuk mengharapkan keadilan. Padahal di sidang itu harus menunggu giliran di pengadilan negeri gara-gara perkara itu. Dia datang tepat waktu jam 8 pagi, tapi karena banyak perkara maka kasus pencurian ayam itu disidangkan belakangan. Itulah perjuangan mencari keadilan,” lugasnya.
“Setelah lama menunggu, ternyata terdakwa sudah menjual ayamnya dan uang itu habis. Akhirnya korban pulang dengan tangan hampa. Dia tidak bisa mengerti, mengapa setelah melapor kepada petugas tapi malah menyusahkannya. Untuk persidangan dia mengeluarkan biaya, di samping dia menunggu waktu yang pasti sangat berharga,” bebernya.
Selain itu, dia juga menyoroti Lembaga Pemasyarakatan (LP) sering penuh karena banyaknya kasus yang berujung di persidangan. Akibatnya, negara akan dibebani dengan penanganan kasus-kasus di pengadilan, termasuk ketika terdakwa dijebloskan ke penjara.
“Kenapa Lapas itu selalu penuh, itu karena semangat penegak hukum ini masih semangat memenjarakan,” tandasnya.
Menurutnya, perkara-perkara kecil lebih baik diselesaikan di luar pengadilan dengan jalan Restorative Justice. Terdapat payung hukum yang mengaturnya, yakni Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
“Mekanisme baru terkait penyelesaian Perkara melalui Restorative Justice yang membawa konsep keadilan baru dalam kerangka oportunitas jaksa. Melatih jaksa untuk melakukan komunikasi intrapersonal dengan korban,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata menekankan pentingnya pengawasan dan advokasi kepada hakim. Selama ini, sebagian masyarakat menganggap KY hanya bertugas melakukan pengawasan untuk mencegah perilaku hakim nakal.
“Ada yang menafsirkan bahwa Komisi Yudisial ini komisi yang mengawasi saja. Padahal tidak. Bahwa tugasnya adalah menjaga martabat dan marwah perilaku hakim. Lalu tafsir itu diterjemahkan dalam undang-undang. Dan undang-undang itu ternyata tidak hanya mengawasi hakim,” katanya.
“Jadi menjaga martabat itu memang, mengawasi hakim yang mulai nakal, mulai main-main. Tapi tidak hanya itu menjaga martabat itu yang kedua adalah meningkatkan kapasitasnya. Kalau hakim yang pinter itu mengetahui dinamika masyarakat yang terjadi,” ungkapnya.
Selain dua narasumber tersebut juga terdapat dua pembicara lain yakni Ketua Mahkamah Agung, Syarifuddin, dan Ketua Mahkamah Konstitusi ri 2015-2018 Arief Hidayat. Kegiatan ini diharapkan bisa menjadi stimulan penegak hukum mencari keadilan bagi masyarakat.
“Hal ini selaras dengan pemikiran Prof Satjipto Rahardjo dalam hukum progresif, di mana hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Jadi law(hukum) adalah suatu proses yang tidak ada hentinya dan akan selalu menjadi (law as a process, law in the making),” kata dosen Fakultas Hukum Undip, Anggita Doramia Lumbanraja, yang bertindak sebagai moderator.
Ketua IKFH Undip, Ahmad Redi, menambahkan, kegiatan itu sekaligus untuk menyebarluaskan pemikiran Prof Satjipto Rahardjo yang menggaungkan hukum progresif. Rencananya kegiatan serupa akan digelar secara rutin dengan menghadirkan aparat hukum berkompeten.
“Kita merasa FH Undip dikenal dengan Fakultas Hukum progresif, karena ada Prof Satjipto Rahardjo sebagai pemikir hukum progresif. Sayang kalau kami sebagai alumni tidak menyebarluaskan pemikiran Prof Tjip,” ujarnya.
“Terbukti pemikiran Prof Tjip sudah diimplementasikan oleh para penegak hukum. Para penegak hukum itu tidak hanya menjadi corong undang-undang, tapi sudah memastikan dalam penegakan hukum melihat apakah bermanfaat atau tidak, adil atau tidak. Jadi tidak hanya menjadi tukang menjalankan pasal-pasal dalam undang-undang,” pungkasnya.
Lihat Juga: 4 Orang Jadi Tersangka terkait Setrum hingga Siram Miras ke Bocah Dituduh Maling di Tangerang
“Misalnya kasus pencurian ayam. Seorang korban pencurian ayam yang nilainya tidak seberapa, tapi korban itu begitu banyak merasakan kepedihan hingga proses pengadilan,” kata Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana, ketika menjadi narasumber Seminar Nasional Hukum Progresif Rekonstruksi Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya yang digelar secara daring, Jumat (18/2/2022).
“Dengan susah payah dia hadir (ke pengadilan). Berapa biaya yang dikeluarkan olehnya untuk mengharapkan keadilan. Padahal di sidang itu harus menunggu giliran di pengadilan negeri gara-gara perkara itu. Dia datang tepat waktu jam 8 pagi, tapi karena banyak perkara maka kasus pencurian ayam itu disidangkan belakangan. Itulah perjuangan mencari keadilan,” lugasnya.
Baca Juga
“Setelah lama menunggu, ternyata terdakwa sudah menjual ayamnya dan uang itu habis. Akhirnya korban pulang dengan tangan hampa. Dia tidak bisa mengerti, mengapa setelah melapor kepada petugas tapi malah menyusahkannya. Untuk persidangan dia mengeluarkan biaya, di samping dia menunggu waktu yang pasti sangat berharga,” bebernya.
Selain itu, dia juga menyoroti Lembaga Pemasyarakatan (LP) sering penuh karena banyaknya kasus yang berujung di persidangan. Akibatnya, negara akan dibebani dengan penanganan kasus-kasus di pengadilan, termasuk ketika terdakwa dijebloskan ke penjara.
“Kenapa Lapas itu selalu penuh, itu karena semangat penegak hukum ini masih semangat memenjarakan,” tandasnya.
Menurutnya, perkara-perkara kecil lebih baik diselesaikan di luar pengadilan dengan jalan Restorative Justice. Terdapat payung hukum yang mengaturnya, yakni Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
“Mekanisme baru terkait penyelesaian Perkara melalui Restorative Justice yang membawa konsep keadilan baru dalam kerangka oportunitas jaksa. Melatih jaksa untuk melakukan komunikasi intrapersonal dengan korban,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata menekankan pentingnya pengawasan dan advokasi kepada hakim. Selama ini, sebagian masyarakat menganggap KY hanya bertugas melakukan pengawasan untuk mencegah perilaku hakim nakal.
“Ada yang menafsirkan bahwa Komisi Yudisial ini komisi yang mengawasi saja. Padahal tidak. Bahwa tugasnya adalah menjaga martabat dan marwah perilaku hakim. Lalu tafsir itu diterjemahkan dalam undang-undang. Dan undang-undang itu ternyata tidak hanya mengawasi hakim,” katanya.
“Jadi menjaga martabat itu memang, mengawasi hakim yang mulai nakal, mulai main-main. Tapi tidak hanya itu menjaga martabat itu yang kedua adalah meningkatkan kapasitasnya. Kalau hakim yang pinter itu mengetahui dinamika masyarakat yang terjadi,” ungkapnya.
Selain dua narasumber tersebut juga terdapat dua pembicara lain yakni Ketua Mahkamah Agung, Syarifuddin, dan Ketua Mahkamah Konstitusi ri 2015-2018 Arief Hidayat. Kegiatan ini diharapkan bisa menjadi stimulan penegak hukum mencari keadilan bagi masyarakat.
“Hal ini selaras dengan pemikiran Prof Satjipto Rahardjo dalam hukum progresif, di mana hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Jadi law(hukum) adalah suatu proses yang tidak ada hentinya dan akan selalu menjadi (law as a process, law in the making),” kata dosen Fakultas Hukum Undip, Anggita Doramia Lumbanraja, yang bertindak sebagai moderator.
Ketua IKFH Undip, Ahmad Redi, menambahkan, kegiatan itu sekaligus untuk menyebarluaskan pemikiran Prof Satjipto Rahardjo yang menggaungkan hukum progresif. Rencananya kegiatan serupa akan digelar secara rutin dengan menghadirkan aparat hukum berkompeten.
“Kita merasa FH Undip dikenal dengan Fakultas Hukum progresif, karena ada Prof Satjipto Rahardjo sebagai pemikir hukum progresif. Sayang kalau kami sebagai alumni tidak menyebarluaskan pemikiran Prof Tjip,” ujarnya.
“Terbukti pemikiran Prof Tjip sudah diimplementasikan oleh para penegak hukum. Para penegak hukum itu tidak hanya menjadi corong undang-undang, tapi sudah memastikan dalam penegakan hukum melihat apakah bermanfaat atau tidak, adil atau tidak. Jadi tidak hanya menjadi tukang menjalankan pasal-pasal dalam undang-undang,” pungkasnya.
Lihat Juga: 4 Orang Jadi Tersangka terkait Setrum hingga Siram Miras ke Bocah Dituduh Maling di Tangerang
(hsk)