Kejayaan Aceh Masa Sultan Iskandar Muda dan Pasukan Gajah yang Agung
loading...
A
A
A
SULTAN Iskandar Muda (1607-1636) membentuk Aceh menjadi negara yang paling kuat di Nusantara bagian barat. Kekuatan militernya sangat ditakuti saat itu, mulai dari pasukan lautnya hingga pasukan gajah.
Kapal-kapal besar yang dimiliki Iskandar Muda, mampu mengangkut 600-800 orang prajurit. Dia juga memiliki pasukan kavaleri yang diantaranya menunggang kuda-kuda Persia. Belum lagi pasukan gajahnya yang sangat terkenal.
Sultan Iskandar Muda juga memiliki artileri yang sangat banyak, dan pasukan-pasukan milisi infrantri.
Melalui kekuatan militernya itu, Iskandar Muda berhasil menaklukkan Deli pada 1612, Aru dan Johor pada 1613. Bahkan, dia berhasil membawa Sultan Johor Alauddin Riayat Syah II (1597-1613) dan anggota kerajaan lainnya ke Aceh.
Kebesaran Iskandar Muda dengan kekuatan militer dan pasukan gajahnya akan menjadi bahasan Cerita Pagi hari ini.
Aceh pada abad ke-17 banyak terdapat gajah. Iskandar Muda memanfaat potensi tersebut sebagai pasukan perang yang mematikan. Seperti tercatat dalam kitab Bustanu-Salatin yang mengisahkan Sultan Iskandar Muda berburu gajah.
Dikisahkan, Iskandar Muda melakukan perburuan gajah dalam perjalanan di sepanjang Pantai Pidie ke Pasai, pada 1638.
Bagi rakyat Aceh dan Iskandar Muda, gajah merupakan bagian terpenting dari pasukan Aceh dan lambang kedudukan tertinggi yang agung. Sehingga, dirinya memonopoli semua tangkapan gajah, hingga 900 ekor untuk dirinya sendiri.
Dalam Hikayat Aceh, disebutkan keberanian-keberanian gajah Aceh sebagai senjata perang yang sangat tangguh.
"Semua gajah sangat kuat dan berani, dan jumlahnya tidak terhitung. Dan kota itu tidak dibentengi, berbeda dengan kota-kota lain yang biasanya dibentengi, karena banyak gajah tempur disitu," tulis hikayat tersebut.
Pasukan gajah Aceh, memiliki peran sebagai pendobrak. Dalam menaklukkan Kerajaan Aru, pada 1613, konon Iskandar Muda membawa 70 ekor gajah perangnya yang tangguh dan persenjataan dalam jumlah besar.
Meski memiliki kemampuan militer besar, Negara Aceh di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda berdiri di atas pondasi yang rapuh. Negara ini memiliki masalah yang sama dengan negara-negara dagang pantai lainnya.
Masyarakat pedalaman Aceh tidak mudah menghasilkan suplus bahan pangan yang cukup memadai untuk menopang kota Aceh. Ditambah, ibu kota negara tidak punya hubungan yang erat dengan pedalaman Aceh.
Dari segi bahasa negara Aceh di bawah Sultan Iskandar Muda juga lemah. Bahasa Melayu digunakan di kota. Sedang di pedalaman, terdapat banyak suku bangsa. Padahal ibu kota negara sangat bergantung dengan wilayah pedalaman.
Pesatnya perkembangan di wilayah perkotaan, tidak dibarengi dengan kemampuan untuk menghidupi penduduknya.
Belum lagi persoalan politik internal. Negara Aceh yang militeristik, membuat golongan orang kaya baru dari kalangan militer. Di mana panglima militer daerah-daerah pemukiman berdasarkan hak milik feodal.
Sampai di sini ulasan singkat Negara Aceh dan pasukan gajahnya yang kuat penulis akhiri. Semoga memberikan manfaat kepada pembaca. Kritik dan saran atas ulasan ini sangat diharapkan penulis.
Sumber Tulisan:
1. Merle Calvin Ricklefs, Moh. Sidik Nugraha, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Serambi Ilmu Semesta, 2008.
2. Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra antara Indonesia dan dunia, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
3. Dien Majid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.
4. Dr dr Adi Teruna Effendi, SpPD, PhD, Sutrimo Sumarlan, Bunyan Saptomo, Rahim Jabbar, Mukhtar Yusuf, Lalu Pharmanegara, Prof Dr dr Mohammad Sadikin, Jejak Islam di Nusantara, PT Penerbit IPB Press, Buku Elektronik.
Kapal-kapal besar yang dimiliki Iskandar Muda, mampu mengangkut 600-800 orang prajurit. Dia juga memiliki pasukan kavaleri yang diantaranya menunggang kuda-kuda Persia. Belum lagi pasukan gajahnya yang sangat terkenal.
Sultan Iskandar Muda juga memiliki artileri yang sangat banyak, dan pasukan-pasukan milisi infrantri.
Melalui kekuatan militernya itu, Iskandar Muda berhasil menaklukkan Deli pada 1612, Aru dan Johor pada 1613. Bahkan, dia berhasil membawa Sultan Johor Alauddin Riayat Syah II (1597-1613) dan anggota kerajaan lainnya ke Aceh.
Kebesaran Iskandar Muda dengan kekuatan militer dan pasukan gajahnya akan menjadi bahasan Cerita Pagi hari ini.
Aceh pada abad ke-17 banyak terdapat gajah. Iskandar Muda memanfaat potensi tersebut sebagai pasukan perang yang mematikan. Seperti tercatat dalam kitab Bustanu-Salatin yang mengisahkan Sultan Iskandar Muda berburu gajah.
Dikisahkan, Iskandar Muda melakukan perburuan gajah dalam perjalanan di sepanjang Pantai Pidie ke Pasai, pada 1638.
Bagi rakyat Aceh dan Iskandar Muda, gajah merupakan bagian terpenting dari pasukan Aceh dan lambang kedudukan tertinggi yang agung. Sehingga, dirinya memonopoli semua tangkapan gajah, hingga 900 ekor untuk dirinya sendiri.
Dalam Hikayat Aceh, disebutkan keberanian-keberanian gajah Aceh sebagai senjata perang yang sangat tangguh.
"Semua gajah sangat kuat dan berani, dan jumlahnya tidak terhitung. Dan kota itu tidak dibentengi, berbeda dengan kota-kota lain yang biasanya dibentengi, karena banyak gajah tempur disitu," tulis hikayat tersebut.
Pasukan gajah Aceh, memiliki peran sebagai pendobrak. Dalam menaklukkan Kerajaan Aru, pada 1613, konon Iskandar Muda membawa 70 ekor gajah perangnya yang tangguh dan persenjataan dalam jumlah besar.
Meski memiliki kemampuan militer besar, Negara Aceh di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda berdiri di atas pondasi yang rapuh. Negara ini memiliki masalah yang sama dengan negara-negara dagang pantai lainnya.
Masyarakat pedalaman Aceh tidak mudah menghasilkan suplus bahan pangan yang cukup memadai untuk menopang kota Aceh. Ditambah, ibu kota negara tidak punya hubungan yang erat dengan pedalaman Aceh.
Dari segi bahasa negara Aceh di bawah Sultan Iskandar Muda juga lemah. Bahasa Melayu digunakan di kota. Sedang di pedalaman, terdapat banyak suku bangsa. Padahal ibu kota negara sangat bergantung dengan wilayah pedalaman.
Pesatnya perkembangan di wilayah perkotaan, tidak dibarengi dengan kemampuan untuk menghidupi penduduknya.
Belum lagi persoalan politik internal. Negara Aceh yang militeristik, membuat golongan orang kaya baru dari kalangan militer. Di mana panglima militer daerah-daerah pemukiman berdasarkan hak milik feodal.
Sampai di sini ulasan singkat Negara Aceh dan pasukan gajahnya yang kuat penulis akhiri. Semoga memberikan manfaat kepada pembaca. Kritik dan saran atas ulasan ini sangat diharapkan penulis.
Sumber Tulisan:
1. Merle Calvin Ricklefs, Moh. Sidik Nugraha, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Serambi Ilmu Semesta, 2008.
2. Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra antara Indonesia dan dunia, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
3. Dien Majid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.
4. Dr dr Adi Teruna Effendi, SpPD, PhD, Sutrimo Sumarlan, Bunyan Saptomo, Rahim Jabbar, Mukhtar Yusuf, Lalu Pharmanegara, Prof Dr dr Mohammad Sadikin, Jejak Islam di Nusantara, PT Penerbit IPB Press, Buku Elektronik.
(hsk)