Jaksa Tetap Tuntut Herry Wirawan Dihukum Mati, Ini Alasannya
loading...
A
A
A
BANDUNG - Harapan terdakwa kasus pemerkosaan belasan santriwati hingga hamil dan melahirkan, Herry Wirawan yang menghendaki pengurangan hukuman ditolak jaksa. Jaksa tetap pada pendiriannya atau keukeuh menuntut hukuman mati terhadap predator seks tersebut. Jaksa beralasan, tuntutan tersebut sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendirian jaksa tersebut disampaikan dalam sidang replik atau tanggapan terhadap pembelaan terdakwa yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LRE Martadinata, Kota Bandung, Kamis (27/1/2022).
"Dalam replik, pada intinya kami tetap pada tuntutan semula dan memberikan penegasan beberapa hal. Pertama bahwa tuntutan mati diatur dalam regulasi diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Artinya bahwa yang kami lakukan sesuai ketentuan yang berlaku," tegas Jaksa Penuntut Umum (JPU), Asep N Mulyana seusai sidang.
Selain tuntutan hukuman mati , Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat itu juga menegaskan bahwa pihaknya tetap menuntut restitusi atau ganti rugi kepada terdakwa. Terlebih, kata Asep, nilai restitusi yang mencapai Rp331.527 juta itu tidak sepadan dengan penderitaan para korban. "Kedua, kami menegaskan bahwa restitusi yang kami ajukan merupakan hasil perhitungan LPSK dan kami anggap nilai itu tidak sepadan dengan derita korban," tegasnya lagi.
Bahkan, Asep pun meminta majelis hakim untuk tetap merampas seluruh aset milik terdakwa untuk dilelang dan hasilnya digunakan untuk keberlangsungan hidup korban, termasuk anak-anak yang dilahirkan korban tanpa sedikit pun mengurangi tanggung jawab negara dan pemerintah dalam melindungi korban.
"Jadi, penyitaan aset tidak semata mata mengeeliminasi tanggung jawab keberlangsungan korban, tapi kami akan memastikan anak korban bisa sekolah lagi di masa akan datang," jelasnya.
Asep pun membeberkan alasan penyitaan seluruh aset, termasuk membubarkan yayasan yang dikelola terdakwa. Pasalnya, kata Asep, boarding school maupun gedung lain yang dikelola terdakwa menjadi instrumentia delikta atau alat yang digunakan terdakwa untuk melakukan kejahatan.
"Tanpa ada yayasan dan boarding school, tidak mungkin terdakwa melakukan kejahatan secara sistematis. Oleh karena itu, kami meminta majelis hakim menyita yayasan dan membubarkannya beserta tuntutan pidana lainnya," katanya.
Asep kembali menegaskan bahwa pihaknya tetap menuntut hukuman mati. Bahkan, Asep menyatakan, pihaknya tidak akan berpolemik terhadap tuntutan tersebut demi kepentingan terbaik korban dan anak-anak yang dilahirkan.
"Kami berkesimpulan kami tetap pada yang dibacakan saat persidangan sebelumnya, Tmtuntutan mati. Sekali lagi bahwa tuntutan mati diatur dalam peraturan perundang-undangan. Artinya, secara legal ketika kami mengajukan tuntutan di atur dalam regulasi, jadi bukan semaunya kami sendiri. Artinya, sampai saat ini kita mengajukan tuntutan hukuman mati," tandas Asep.
Diketahui, Herry Wirawan kini menghadapi ancaman hukuman mati akibat perbuatan biadabnya itu. Herry dinilai melanggar Pasal 81 ayat (1), ayat (3), ayat (5) jo Pasal 78d UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.41 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Tidak hanya hukuman mati, deretan ancaman hukuman kini dihadapi Herry, mulai dari hukuman denda Rp500 juta, penyebarluasan identitasnya hingga hukuman kebiri kimia. Sebelumnya, dalam sidang pledoi, Herry mengaku, menyesal atas perbuatan yang telah dilakukannya dan meminta pengurangan hukuman.
Hal tersebut diungkapkan Herry saat membacakan nota pledoi (pembelaan) dalam sidang pledoi yang digelar secara tertutup di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LRE Dinata, Kota Bandung, Kamis (20/1/2022).
"Pada intinya sependek yang bisa diketahui bahwa yang bersangkutan menyesal, kemudian meminta maaf kepada seluruh korban dan keluarga, kemudian meminta untuk dikurangi hukuman," ungkap Kasipenkum Kejati Jabar Dodi Gazali Emil menirukan ucapan Herry usai persidangan.
Pendirian jaksa tersebut disampaikan dalam sidang replik atau tanggapan terhadap pembelaan terdakwa yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LRE Martadinata, Kota Bandung, Kamis (27/1/2022).
"Dalam replik, pada intinya kami tetap pada tuntutan semula dan memberikan penegasan beberapa hal. Pertama bahwa tuntutan mati diatur dalam regulasi diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Artinya bahwa yang kami lakukan sesuai ketentuan yang berlaku," tegas Jaksa Penuntut Umum (JPU), Asep N Mulyana seusai sidang.
Selain tuntutan hukuman mati , Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat itu juga menegaskan bahwa pihaknya tetap menuntut restitusi atau ganti rugi kepada terdakwa. Terlebih, kata Asep, nilai restitusi yang mencapai Rp331.527 juta itu tidak sepadan dengan penderitaan para korban. "Kedua, kami menegaskan bahwa restitusi yang kami ajukan merupakan hasil perhitungan LPSK dan kami anggap nilai itu tidak sepadan dengan derita korban," tegasnya lagi.
Bahkan, Asep pun meminta majelis hakim untuk tetap merampas seluruh aset milik terdakwa untuk dilelang dan hasilnya digunakan untuk keberlangsungan hidup korban, termasuk anak-anak yang dilahirkan korban tanpa sedikit pun mengurangi tanggung jawab negara dan pemerintah dalam melindungi korban.
"Jadi, penyitaan aset tidak semata mata mengeeliminasi tanggung jawab keberlangsungan korban, tapi kami akan memastikan anak korban bisa sekolah lagi di masa akan datang," jelasnya.
Asep pun membeberkan alasan penyitaan seluruh aset, termasuk membubarkan yayasan yang dikelola terdakwa. Pasalnya, kata Asep, boarding school maupun gedung lain yang dikelola terdakwa menjadi instrumentia delikta atau alat yang digunakan terdakwa untuk melakukan kejahatan.
"Tanpa ada yayasan dan boarding school, tidak mungkin terdakwa melakukan kejahatan secara sistematis. Oleh karena itu, kami meminta majelis hakim menyita yayasan dan membubarkannya beserta tuntutan pidana lainnya," katanya.
Asep kembali menegaskan bahwa pihaknya tetap menuntut hukuman mati. Bahkan, Asep menyatakan, pihaknya tidak akan berpolemik terhadap tuntutan tersebut demi kepentingan terbaik korban dan anak-anak yang dilahirkan.
"Kami berkesimpulan kami tetap pada yang dibacakan saat persidangan sebelumnya, Tmtuntutan mati. Sekali lagi bahwa tuntutan mati diatur dalam peraturan perundang-undangan. Artinya, secara legal ketika kami mengajukan tuntutan di atur dalam regulasi, jadi bukan semaunya kami sendiri. Artinya, sampai saat ini kita mengajukan tuntutan hukuman mati," tandas Asep.
Diketahui, Herry Wirawan kini menghadapi ancaman hukuman mati akibat perbuatan biadabnya itu. Herry dinilai melanggar Pasal 81 ayat (1), ayat (3), ayat (5) jo Pasal 78d UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.41 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Tidak hanya hukuman mati, deretan ancaman hukuman kini dihadapi Herry, mulai dari hukuman denda Rp500 juta, penyebarluasan identitasnya hingga hukuman kebiri kimia. Sebelumnya, dalam sidang pledoi, Herry mengaku, menyesal atas perbuatan yang telah dilakukannya dan meminta pengurangan hukuman.
Hal tersebut diungkapkan Herry saat membacakan nota pledoi (pembelaan) dalam sidang pledoi yang digelar secara tertutup di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LRE Dinata, Kota Bandung, Kamis (20/1/2022).
"Pada intinya sependek yang bisa diketahui bahwa yang bersangkutan menyesal, kemudian meminta maaf kepada seluruh korban dan keluarga, kemudian meminta untuk dikurangi hukuman," ungkap Kasipenkum Kejati Jabar Dodi Gazali Emil menirukan ucapan Herry usai persidangan.
(don)