Anggap Bentuk 'Pengebirian Hak-hak Demokrasi', Senator Asal Jambi Gugat Presidential Threshold

Selasa, 18 Januari 2022 - 13:39 WIB
loading...
Anggap Bentuk Pengebirian Hak-hak Demokrasi, Senator Asal Jambi Gugat Presidential Threshold
Anggota DPD RI asal Jambi M Syukur menilai Presidential Threshold sebagai bentuk pengebirian hak-hak demokrasi. (Ist)
A A A
JAKARTA - Konstitusi secara tegas telah menjamin pemenuhan terhadap hak-hak demokrasi warga negara. Oleh karenanya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai the interpreter of Constitution memiliki kewajiban untuk menafsirkan sebuah Undang-Undang, apakah sudah sesuai atau justru mengurangi dan bahkan melanggar hak-hak warga negara yang telah dijamin di dalam UUD NRI Tahun 1945.

Utamanya terhadap keberadaan undang-undang yang 'mengebiri' hak-hak demokrasi warga negara. "MK sudah seharusnya benar-benar menjalankan fungsinya untuk menjaga terimplementasikannya secara utuh hak-hak warga negara sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945," ujar Anggota DPD RI asal Jambi M Syukur Algoodry.

Hal inilah yang tergambar dalam Putusan MK 14/PUU-XI/2013 terkait dengan penyelenggaraan Pileg dan Pilpres yang dilakukan secara serentak, dimana MK secara tegas menyatakan bahwa pelaksanaan Pilpres dan Pileg yang dilakukan secara serentak merupakan original intent dari para perumus UUD 1945 pada saat dirumuskannya Pasal 22E ayat (2) UUD 1945.

"Di sisi lain MK juga menyampaikan bahwa pelaksanaan Pemilu serentak tersebut merupakan penghematan anggaran serta guna mengurangi konflik horizontal di masyarakat," sebutnya.

Hal-hal inilah yang diharapkan dapat dilakukan kembali oleh MK dalam menyikapi adanya keinginan untuk penghapusan presidential threshold.
Selain mengacu pada original intent yang terdapat dalam penyusunan UUD 1945, MK juga harus melihat apa yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya untuk berdemokrasi.

Sebagaimana kita ketahui bahwa sepanjang pemberlakuan presidential threshold, telah terjadi 22 (dua puluh dua) kali pengajuan uji materi terhadap pengaturan tersebut.

"Kondisi yang demikian menandakan bahwa ada keinginan kuat dari masyarakat untuk menghapus ketentuan ambang batas tersebut," ujar Syukur.

Bagi kami lanjut Syukur, ketentuan mengenai presidential threshold jelas-jelas tidak sesuai dengan semangat pembentukan UUD 1945 yang telah menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam berdemokrasi.

"Presidential threshold secara tidak langsung telah membatasi hak warga negara untuk mendapatkan atau bahkan mencalonkan diri sebagai pemimpin nasional," tegasnya.

Hak warga negara telah dikalahkan oleh pengaturan ambang batas pengajuan calon Presiden yang hanya boleh dilakukan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik dengan jumlah kursi paling sedikit 20%.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2137 seconds (0.1#10.140)