Banyak ASN Mantan Napi Ikut Seleksi Jabatan Struktural, Pengamat: Secara Moral Tak Pantas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Belakangan ini banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berstatus atau pernah berstatus narapidana (napi) mengikuti seleksi terbuka untuk menempati jabatan struktural seperti sekretaris daerah (Sekda) maupun kepala dinas di beberapa provinsi dan kota/kabupaten. Ini menimbulkan polemik di masyarakat. Pengamat kebijakan publik Hilmi R Ibrahim menilai, mereka yang pernah menyandang status narapidana, secara moral tidak pantas menduduki jabatan strategis.
Menurut Hilmi, seorang calon pejabat eselon 2 atau 1 yang pernah menjalani hukuman di atas satu bulan dan di bawah 4 tahun, secara hukum tidak memiliki masalah untuk ikut seleksi atau dipilih menjadi pejabat publik. "Namun secara moral dan kepantasan, tidak pantas. Masih banyak calon calon yang bersih dari catatan catatan hukum," kata Hilmi yang juga Direktur Public Trust Institute (PTI), di Jakarta ( 10/1/2022).
Lebih lanjut pakar kebijakan publik dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta itu menjelaskan, seorang pejabat publik harus menjadi panutan. Pejabat publik tidak boleh tercela, tidak boleh cacat moralnya.
"Namun demikian hukuman yang telah dijalaninya itu tidak boleh membatasi hak dia untuk ikut seleksi atau dipilih menjadi pejabat publik atau menduduki posisi tertentu. Kalau dia dibatasi atau dilarang mengikuti lelang jabatan tertentu itu tidak boleh. Pelarangan itu melanggar hak azasi manusia (HAM)," kata Hilmi.
Karena itu, lanjutnya, setiap pemilihan jabatan struktural apalagi eselon 1 dan 2 itu ada panitia seleksinya (Pansel). Nah Panselnya itu harusnya memilih calon yang tidak bermasalah dengan hukum.
"Namun demikian tidak boleh juga melarang calon yang pernah memiliki status nara pidana. Hukuman yang pernah dijalani oleh salah seorang calon, hanya untuk catatan Pansel. Agar Pansel memilih yang tidak memiliki cacat hukum atau memilih yang belum pernah mendapatkan hukuman. Tapi tidak boleh menggugurkan dia sebagai calon. Semuanya itu ada di peraturan Menteri Dalam Negeri” papar Hilmi. Baca Juga: Cegah COVID-19, Pemkot Samarinda Tutup Sementara Tempat Hiburan Malam
Hilmi memberikan solusi jika dalam seleksi pejabat publik setingkat eselon satu dan dua baik di tingkat pusat maupun daerah, terdapat salah satu calon yang pernah menyandang status nara pidana. Solusi yang ditawarkan adalah Pansel menggunakan hak subyektifitasnya untuk memillih atau membatalkan calon yang punya masalah hukum.
Selain itu, biasanya di setiap seleksi pejabat publik, Pansel meminta masukan atau tanggapan terhadap calon calon yang ikut serta dalan proses seleksi tersebut. "Masukan dan pendapat masyarakat akan moral dan kelakuan calon peserta lelang jabatan tersebut menjadi salah satu bahan pertimbangan Pansel untuk meloloskan atau tidak meloloskan salah satu calon,” papar Hilmi.
Dapat dibayangkan, jika pejabat yang diloloskan Pansel adalah pejabat yang paling banyak mendapatkan masukan dan penilaian buruk dari masyarakat. "Bagaimana pejabat tersebut menjalankan tugas dan pekerjaannya, kalau secara moral dia cacat dan mendapatkan penilaian atau pendapat buruk dari masyarakat. Hal ini akan mengganggu pejabat yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya, sebagai pejabat publik dan memberikan pelayanan publik," bebernya.
Hilmi menambahkan, seorang PNS atau ASN yang dihukum 4 tahun atau lebih, maka statusnya sebagai PNS atau ASN dicabut. Namun kalau hukumannya di bawah 4 tahun, misalnya 3 tahun atau bahkan hanya tiga bulan, pejabat tersebut tidak dipecat. Haknya sebagai PNS maupun ASN dikembalikan. "Karena hukuman penjara yang telah dijalaninya itu mengembalikan hak dia sebagai PNS atau ASN” tutupnya.
Menurut Hilmi, seorang calon pejabat eselon 2 atau 1 yang pernah menjalani hukuman di atas satu bulan dan di bawah 4 tahun, secara hukum tidak memiliki masalah untuk ikut seleksi atau dipilih menjadi pejabat publik. "Namun secara moral dan kepantasan, tidak pantas. Masih banyak calon calon yang bersih dari catatan catatan hukum," kata Hilmi yang juga Direktur Public Trust Institute (PTI), di Jakarta ( 10/1/2022).
Lebih lanjut pakar kebijakan publik dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta itu menjelaskan, seorang pejabat publik harus menjadi panutan. Pejabat publik tidak boleh tercela, tidak boleh cacat moralnya.
"Namun demikian hukuman yang telah dijalaninya itu tidak boleh membatasi hak dia untuk ikut seleksi atau dipilih menjadi pejabat publik atau menduduki posisi tertentu. Kalau dia dibatasi atau dilarang mengikuti lelang jabatan tertentu itu tidak boleh. Pelarangan itu melanggar hak azasi manusia (HAM)," kata Hilmi.
Karena itu, lanjutnya, setiap pemilihan jabatan struktural apalagi eselon 1 dan 2 itu ada panitia seleksinya (Pansel). Nah Panselnya itu harusnya memilih calon yang tidak bermasalah dengan hukum.
"Namun demikian tidak boleh juga melarang calon yang pernah memiliki status nara pidana. Hukuman yang pernah dijalani oleh salah seorang calon, hanya untuk catatan Pansel. Agar Pansel memilih yang tidak memiliki cacat hukum atau memilih yang belum pernah mendapatkan hukuman. Tapi tidak boleh menggugurkan dia sebagai calon. Semuanya itu ada di peraturan Menteri Dalam Negeri” papar Hilmi. Baca Juga: Cegah COVID-19, Pemkot Samarinda Tutup Sementara Tempat Hiburan Malam
Hilmi memberikan solusi jika dalam seleksi pejabat publik setingkat eselon satu dan dua baik di tingkat pusat maupun daerah, terdapat salah satu calon yang pernah menyandang status nara pidana. Solusi yang ditawarkan adalah Pansel menggunakan hak subyektifitasnya untuk memillih atau membatalkan calon yang punya masalah hukum.
Selain itu, biasanya di setiap seleksi pejabat publik, Pansel meminta masukan atau tanggapan terhadap calon calon yang ikut serta dalan proses seleksi tersebut. "Masukan dan pendapat masyarakat akan moral dan kelakuan calon peserta lelang jabatan tersebut menjadi salah satu bahan pertimbangan Pansel untuk meloloskan atau tidak meloloskan salah satu calon,” papar Hilmi.
Dapat dibayangkan, jika pejabat yang diloloskan Pansel adalah pejabat yang paling banyak mendapatkan masukan dan penilaian buruk dari masyarakat. "Bagaimana pejabat tersebut menjalankan tugas dan pekerjaannya, kalau secara moral dia cacat dan mendapatkan penilaian atau pendapat buruk dari masyarakat. Hal ini akan mengganggu pejabat yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya, sebagai pejabat publik dan memberikan pelayanan publik," bebernya.
Hilmi menambahkan, seorang PNS atau ASN yang dihukum 4 tahun atau lebih, maka statusnya sebagai PNS atau ASN dicabut. Namun kalau hukumannya di bawah 4 tahun, misalnya 3 tahun atau bahkan hanya tiga bulan, pejabat tersebut tidak dipecat. Haknya sebagai PNS maupun ASN dikembalikan. "Karena hukuman penjara yang telah dijalaninya itu mengembalikan hak dia sebagai PNS atau ASN” tutupnya.
(don)