Dahsyatnya Senjata Biologis Mataram dalam Penaklukan Surabaya Picu Wabah Penyakit dan Kelaparan
loading...
A
A
A
Tak main-main, untuk menaklukkan Kadipaten Surabaya ini, Mataram lima kali mengirimkan ekepedisi besar pasukannya. Pada tahun 1670 dikirim 70 ribu bala tentara, tetapi mampu dikalahkan oleh 30 ribu pasukan Kadipaten Surabaya. Pasukan Mataram kewalahan, karena tidak memiliki cukup persediaan makanan selama pertempuran.
Upaya kedua dilakukan tahun 1622. Langkah ini juga gagal karena lagi-lagi faktor persediaan makanan. Upaya yang sama diulang lagi pada tahun 1623, dan kembali lagi pasukan Mataram menemui jalan buntuk untuk menakhlukkan Kadipaten Surabaya.
Pada 1624 dilakukan upaya penyerangan dengan menduduki dan melakukan penjarahan di permukiman-permukiman penduduk, sehingga memaksa penduduk Kadipaten Surabaya tersebut mengungsi ke dalam pusat kota Kadipaten Surabaya. Strategi ini dibarengi dengan penakhlukan sekutu Surabaya di luar pulau, seperti Madura, dan Banjarmasin, sehingga memutus rantai pasokan logistik ke Surabaya melalui jalur laut.
Upaya pengepungan kelima yang dilakukan pasukan Mataram terhadap Kadipaten Surabaya, dilakukan tahun 1965. Pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Mangun Oneng, dan dibantu Tumenggung Yuda Prasena, serta Tumenggung Ketawangan.
Pengepungan kelima ini dilakukan lebih sadis. Pasukan Mataram membendung aliran Sungai Brantas, sebagai nadi kehidupan pusat kota Kadipaten Surabaya. Senjata biologis juga digunakan dalam pengepungan ini. Pasokan air yang tersisa masuk ke pusat kota Kadipaten Surabaya, diracuni dengan bangkai binatang.
Pusat kota Kadipaten Surabaya, mengalami bencana kekurangan makanan yang sangat dahsyat. Seluruh jalur pasokan logistik telah diblokade pasukan Mataram. Bahkan air yang masuk kota juga telah diracun dengan bangkai-bangkai binatang. Kelaparan dan wabah penyakit menjangkiti seluruh warga di pusat kota.
Penderitaan dahsyat yang dirasakan rakyat di pusat Kadipaten Surabaya tersebut, memaksa Adipati Surabaya, Jayalengkara menggelar rapat dengan dewan bangsawan kota untuk membahas persoalan tersebut. Dalam pertemuan tersebut, Adipati Pajang yang melarikan diri ke Surabaya, usai pemberontakannya digagalkan Mataram, menolak menyerah dan ingin melanjutkan upaya perlawanan terhadap Mataram.
Tetapi faksi-faksi bangsawan lain yang duduk di dewan bangsawan kota, menyarankan Jayalengkara untuk menyerah kepada kekuatan Mataram. Akhirnya, Jayalengkara memilih untuk menyerah kepada Sultan Agung. Karena usianya yang sudah senja, Jayalengkara akhirnya meninggal dunia tak lama usai Kadipaten Surabaya ditakhlukkan Mataram.
Surabaya akhirnya takluk dengan segala penderitaannya. Wabah penyakit dan kelaparan yang mematikan menjadi hantu menakutkan bagi warga kadipaten yang pernah besar dan menguasai timur Jawa.
Upaya kedua dilakukan tahun 1622. Langkah ini juga gagal karena lagi-lagi faktor persediaan makanan. Upaya yang sama diulang lagi pada tahun 1623, dan kembali lagi pasukan Mataram menemui jalan buntuk untuk menakhlukkan Kadipaten Surabaya.
Pada 1624 dilakukan upaya penyerangan dengan menduduki dan melakukan penjarahan di permukiman-permukiman penduduk, sehingga memaksa penduduk Kadipaten Surabaya tersebut mengungsi ke dalam pusat kota Kadipaten Surabaya. Strategi ini dibarengi dengan penakhlukan sekutu Surabaya di luar pulau, seperti Madura, dan Banjarmasin, sehingga memutus rantai pasokan logistik ke Surabaya melalui jalur laut.
Upaya pengepungan kelima yang dilakukan pasukan Mataram terhadap Kadipaten Surabaya, dilakukan tahun 1965. Pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Mangun Oneng, dan dibantu Tumenggung Yuda Prasena, serta Tumenggung Ketawangan.
Pengepungan kelima ini dilakukan lebih sadis. Pasukan Mataram membendung aliran Sungai Brantas, sebagai nadi kehidupan pusat kota Kadipaten Surabaya. Senjata biologis juga digunakan dalam pengepungan ini. Pasokan air yang tersisa masuk ke pusat kota Kadipaten Surabaya, diracuni dengan bangkai binatang.
Pusat kota Kadipaten Surabaya, mengalami bencana kekurangan makanan yang sangat dahsyat. Seluruh jalur pasokan logistik telah diblokade pasukan Mataram. Bahkan air yang masuk kota juga telah diracun dengan bangkai-bangkai binatang. Kelaparan dan wabah penyakit menjangkiti seluruh warga di pusat kota.
Penderitaan dahsyat yang dirasakan rakyat di pusat Kadipaten Surabaya tersebut, memaksa Adipati Surabaya, Jayalengkara menggelar rapat dengan dewan bangsawan kota untuk membahas persoalan tersebut. Dalam pertemuan tersebut, Adipati Pajang yang melarikan diri ke Surabaya, usai pemberontakannya digagalkan Mataram, menolak menyerah dan ingin melanjutkan upaya perlawanan terhadap Mataram.
Tetapi faksi-faksi bangsawan lain yang duduk di dewan bangsawan kota, menyarankan Jayalengkara untuk menyerah kepada kekuatan Mataram. Akhirnya, Jayalengkara memilih untuk menyerah kepada Sultan Agung. Karena usianya yang sudah senja, Jayalengkara akhirnya meninggal dunia tak lama usai Kadipaten Surabaya ditakhlukkan Mataram.
Surabaya akhirnya takluk dengan segala penderitaannya. Wabah penyakit dan kelaparan yang mematikan menjadi hantu menakutkan bagi warga kadipaten yang pernah besar dan menguasai timur Jawa.