Dendam Kesumat Sultan Agung Cincang Antonio Paulo Utusan VOC Jadi Santapan Buaya
loading...
A
A
A
Sultan Agung Hanyokrokusumo diceritakan sebagai Raja Mataram yang berani menghukum utusan VOC, Antonio Paulo, dengan melemparkannya menjadi santapan buaya. Nah, cerita pagi kali ini menyajikan bagaimana kisah Antonio Paulo, sang utusan VOC yang dicincang menjadi mangsa buaya ganas.
Dari berbagai sumber, kisah hukuman terhadap Antonio Paulo yang menjadi santapan buaya menjadi salah satu cara eksekusi di masa kepemimpinan Sultan Agung. Kisah itu bermula saat Sultan Agung yang memerintah Kerajaan Mataram pada 1613-1645 ingin membangun imperium di Tanah Jawa.
Sebelum bermahkota raja, Sultan Agung bernama Raden Mas Rangsang. Setelah naik tahta pada 1613, Raden mas Rangsang mendapat gelar Panembahan Hanyokrokusumo. Pada 1624, gelar berubah menjadi Susuhunan Agung Hanyokrokusuma atau Sultan Agung Hanyokrokusuma.
Setelah menaklukkan Jawa Timur, Sultan Agung bergerak ke Barat untuk menaklukkan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Batavia, sekarang Jakarta. Namun, penyerangan selama dua kali pada 1628 dan 1629 berakhir dengan kegagalan. Sultan Agung menghukum pancung Tumenggung Bahureksa karena tidak berhasil menaklukkan VOC.
Kegagalan menaklukkan VOC tidak berarti mengakhiri kekuasaan Sultan Agung. Selanjutnya diceritakan, Sultan Agung sempat mencoba bersekutu dengan Portugis dan Inggris untuk diajak bekerjasama melawan VOC. Sayang, upaya itu kembali menemui kegagalan.
Dalam kajian HJ De Graaf, hingga tahun 1640, sebenarnya raja Mataram belum menggunakan gelar Sultan. Tidak diketahui secara pasti bagaimana gelar itu diperoleh. Namun konon, ia berhasil pergi ke Mekkah dengan memanfaatkan kapal Inggris.
Dari catatanDagregister1 Juli 1641, disebutkan bahwa raja Mataram telah bergelar Sultan Mataram, kemudian biasa ditulis Sultan Agung. Gelar itu menunjukkan bahwa ia adalah raja yang taat terhadap agama Islam.
Dalam upaya melegitimasi gelar barunya, pada 1642, Sultan Agung mengirim ulama Arab bersama 18 orang Jawa terkemuka untuk pergi ziarah ke Makkah dengan menumpangi kapal Reformation milik orang Inggris yang bernama Ralph Cartwright.
Nahas, pada 11 Juli 1642, saat melintas sebelah Barat Pulau Onrust, kapal itu dicegat dan diserang meriam dari kapal-kapal VOC. Satu orang Inggris tewas dan 15 orang Jawa utusan Sultan mengamuk dan akhirnya dibunuh. Akibat kejadian pencegatan itu, Sultan Agung murka. Selain misi ke Makkah gagal, ia juga merasa dipermalukan. Sultan Agung pun melancarkan aksi balas dendam.
Surat VOC tertanggal 12 Juli 1642 yang berisi pemberitahuan tentang pencegatan kapal Reformation diterima Sultan Agung beberapa hari kemudian. Dalam surat itu, pihak VOC menyatakan akan membebaskan Kiai Haji (utusan Mataram untuk ziarah ke Makkah). Syaratnya, Sultan Agung harus membebaskan orang Belanda yang ditahan di Mataram.
Sultan Agung merespons dingin surat VOC. Kesempatan itu diambil Sultan Agung untuk balas dendam. Sultan Agung menumpahkan kemurkaannya kepada orang Belanda yang terdekat, yaitu para tawanan.
Sultan Agung memerintahkan seluruh tawanan Belanda yang tidak disunat dan tidak menikah secara Islam dihukum berat dengan cara dipasung. Hukuman dipertontonkan ke khalayak banyak di alun-alun. Salah satu tawanan adalah Antonio Paulo, bekas wakil kepala VOC di bawah pimpinan Cornelis van Maseyck.
Pada 1632, Maseyck menjalankan misi VOC untuk memperbaiki hubungan dengan Mataram, setelah dua kali penyerangan Mataram yang gagal. Perundingan itu berjalan buntu. Bahkan Antonio Paulo beserta 23 orang Belanda lainnya disergap dan menjadi tawanan di Keraton Mataram.
Nah, kepada orang inilah, Sultan Agung melampiaskan dendam kesumatnya. Sebelum dihukum, Antonio Paulo diadili dengan tuduhan melakukan praktik sihir dengan mengirimkan surat rahasia melalui udara sehingga rencana mengirim utusan ke Makkah diketahui VOC.
Antonio Paulo dituduh menyihir Sultan Agung sehingga jatuh sakit. Dalam penggalian di rumah tahanan, ditemukan tulang-tulang, rambut, dan kertas berhuruf Belanda. Semua barang mempunyai kekuatan gaib. Karena itulah, Antonio Paulo dihukum mati dengan cara dilemparkan ke kolam agar dimangsa buaya.
Pada 15 September 1642, eksekusi hukuman dilakukan. Dalam catatan Van Goens seperti dikutip De Graaf , hukuman itu berlangsung sangat lama. Saat tubuh Antonio Paulo dilempar ke kolam buaya, binatang buas itu ternyata enggan memangsanya.
Sultan Agung kemudian memerintahkan agar tubuh Antonie dicincang menjadi enam bagian.
Tubuh yang telah dipotong itu dilemparkan kembali ke dalam kolam buaya. Namun, sekali lagi, binatang mengerikan itu tidak mau memakannya. Akhirrnya, Sultan Agung kemudian berkesimpulan, ''dengan ini Paulo dinyatakan tidak bersalah''. Dia memerintahkan untuk menguburkannya. Potongan tubuh Antonio Paulo kemudian dimasukkan ke dalam peti dan dikuburkan.
Lihat Juga: Kisah Kedekatan Prabowo Subianto dan Gus Dur, Pernah Masuk Kamar Tidur dan Jadi Tukang Pijatnya
Dari berbagai sumber, kisah hukuman terhadap Antonio Paulo yang menjadi santapan buaya menjadi salah satu cara eksekusi di masa kepemimpinan Sultan Agung. Kisah itu bermula saat Sultan Agung yang memerintah Kerajaan Mataram pada 1613-1645 ingin membangun imperium di Tanah Jawa.
Sebelum bermahkota raja, Sultan Agung bernama Raden Mas Rangsang. Setelah naik tahta pada 1613, Raden mas Rangsang mendapat gelar Panembahan Hanyokrokusumo. Pada 1624, gelar berubah menjadi Susuhunan Agung Hanyokrokusuma atau Sultan Agung Hanyokrokusuma.
Setelah menaklukkan Jawa Timur, Sultan Agung bergerak ke Barat untuk menaklukkan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Batavia, sekarang Jakarta. Namun, penyerangan selama dua kali pada 1628 dan 1629 berakhir dengan kegagalan. Sultan Agung menghukum pancung Tumenggung Bahureksa karena tidak berhasil menaklukkan VOC.
Kegagalan menaklukkan VOC tidak berarti mengakhiri kekuasaan Sultan Agung. Selanjutnya diceritakan, Sultan Agung sempat mencoba bersekutu dengan Portugis dan Inggris untuk diajak bekerjasama melawan VOC. Sayang, upaya itu kembali menemui kegagalan.
Dalam kajian HJ De Graaf, hingga tahun 1640, sebenarnya raja Mataram belum menggunakan gelar Sultan. Tidak diketahui secara pasti bagaimana gelar itu diperoleh. Namun konon, ia berhasil pergi ke Mekkah dengan memanfaatkan kapal Inggris.
Dari catatanDagregister1 Juli 1641, disebutkan bahwa raja Mataram telah bergelar Sultan Mataram, kemudian biasa ditulis Sultan Agung. Gelar itu menunjukkan bahwa ia adalah raja yang taat terhadap agama Islam.
Dalam upaya melegitimasi gelar barunya, pada 1642, Sultan Agung mengirim ulama Arab bersama 18 orang Jawa terkemuka untuk pergi ziarah ke Makkah dengan menumpangi kapal Reformation milik orang Inggris yang bernama Ralph Cartwright.
Nahas, pada 11 Juli 1642, saat melintas sebelah Barat Pulau Onrust, kapal itu dicegat dan diserang meriam dari kapal-kapal VOC. Satu orang Inggris tewas dan 15 orang Jawa utusan Sultan mengamuk dan akhirnya dibunuh. Akibat kejadian pencegatan itu, Sultan Agung murka. Selain misi ke Makkah gagal, ia juga merasa dipermalukan. Sultan Agung pun melancarkan aksi balas dendam.
Surat VOC tertanggal 12 Juli 1642 yang berisi pemberitahuan tentang pencegatan kapal Reformation diterima Sultan Agung beberapa hari kemudian. Dalam surat itu, pihak VOC menyatakan akan membebaskan Kiai Haji (utusan Mataram untuk ziarah ke Makkah). Syaratnya, Sultan Agung harus membebaskan orang Belanda yang ditahan di Mataram.
Sultan Agung merespons dingin surat VOC. Kesempatan itu diambil Sultan Agung untuk balas dendam. Sultan Agung menumpahkan kemurkaannya kepada orang Belanda yang terdekat, yaitu para tawanan.
Sultan Agung memerintahkan seluruh tawanan Belanda yang tidak disunat dan tidak menikah secara Islam dihukum berat dengan cara dipasung. Hukuman dipertontonkan ke khalayak banyak di alun-alun. Salah satu tawanan adalah Antonio Paulo, bekas wakil kepala VOC di bawah pimpinan Cornelis van Maseyck.
Pada 1632, Maseyck menjalankan misi VOC untuk memperbaiki hubungan dengan Mataram, setelah dua kali penyerangan Mataram yang gagal. Perundingan itu berjalan buntu. Bahkan Antonio Paulo beserta 23 orang Belanda lainnya disergap dan menjadi tawanan di Keraton Mataram.
Nah, kepada orang inilah, Sultan Agung melampiaskan dendam kesumatnya. Sebelum dihukum, Antonio Paulo diadili dengan tuduhan melakukan praktik sihir dengan mengirimkan surat rahasia melalui udara sehingga rencana mengirim utusan ke Makkah diketahui VOC.
Antonio Paulo dituduh menyihir Sultan Agung sehingga jatuh sakit. Dalam penggalian di rumah tahanan, ditemukan tulang-tulang, rambut, dan kertas berhuruf Belanda. Semua barang mempunyai kekuatan gaib. Karena itulah, Antonio Paulo dihukum mati dengan cara dilemparkan ke kolam agar dimangsa buaya.
Pada 15 September 1642, eksekusi hukuman dilakukan. Dalam catatan Van Goens seperti dikutip De Graaf , hukuman itu berlangsung sangat lama. Saat tubuh Antonio Paulo dilempar ke kolam buaya, binatang buas itu ternyata enggan memangsanya.
Sultan Agung kemudian memerintahkan agar tubuh Antonie dicincang menjadi enam bagian.
Tubuh yang telah dipotong itu dilemparkan kembali ke dalam kolam buaya. Namun, sekali lagi, binatang mengerikan itu tidak mau memakannya. Akhirrnya, Sultan Agung kemudian berkesimpulan, ''dengan ini Paulo dinyatakan tidak bersalah''. Dia memerintahkan untuk menguburkannya. Potongan tubuh Antonio Paulo kemudian dimasukkan ke dalam peti dan dikuburkan.
Lihat Juga: Kisah Kedekatan Prabowo Subianto dan Gus Dur, Pernah Masuk Kamar Tidur dan Jadi Tukang Pijatnya
(aww)