Perjuangan Panjang Waria Dapat KTP, Identitas Pria Wajah Perempuan
loading...
A
A
A
SEMARANG - Suara tawanya terdengar berat, namun renyah dan sesekali disertai helaan rambut bercat merah sebahu. “Panggil saja Silvy Mutiari, karena muter-muter setiap hari,” lugasnya sembari tertawa ketika memperkenalkan diri.
Postur tubuhnya tinggi dan cukup tegap. Dengan pakaian model kebaya yang membalut tubuhnya, Silvy bercerita seputar diri dan aktivitasnya.
Dia merupakan Ketua Persatuan Waria Semarang (Perwaris). Sebuah komunitas yang berdiri sejak 2009 dan beranggotakan transpuan atau waria.
“Teman-teman itu banyak yang keluar rumah, keluar dari keluarga, karena keluarga tidak bisa menerima statusnya. Karena tidak nyaman di lingkungan keluarga, akhirnya meninggalkan rumah tanpa membawa dokumen kependudukan,” kata Silvy ketika Dialog Warga Perjuangan Komunitas Rentan Kota Semarang dalam Memperoleh Hak Kesehatan dan Administrasi Kependudukan (Adminduk), Rabu (17/11/2021).
“Itu awal mula masalah ketika banyak teman tidak punya dokumen kependudukan atau identitas diri. Ketika itu, seluruh teman transpuan, waria bersuara untuk bisa membuat e-KTP. Waktu itu 2011, jadi perjuangan kita sudah 10 tahun untuk mengupayakan teman-teman transgender bisa memiliki identitas,” jelasnya.
Perjuangan itu membuahkan hasil setelah Direktorat Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan aturan agar transgender bisa memperbarui kartu identitasnya.
Permendagri No. 96 Tahun 2019 menyebutkan, kewajiban negara mendata penduduk rentan administrasi kependudukan.
“Titik terangnya itu waktu Kementerian Dalam Negeri memberikan statement, bahwa tidak ada warga negara yang boleh didiskriminasi atau mendapatkan hambatan dalam membuat kartu identitas, karena semua akan dilayani dengan porsi yang sama,” terangnya.
Menurutnya, sebelum muncul Permendagri tersebut, anggotanya yang berjumlah 90 orang tak memiliki dokumen kependudukan. Padahal, kartu identitas sangat dibutuhkan agar mereka bisa mendapatkan hak sebagai warga negara.
“Kalau tidak punya kartu identitas kita akan repot, tidak bisa akses vaksin kalau mau nge-mal juga enggak bisa. Makanya kita mendorong temen-temen (waria) ini untuk mau pergi ke kantor Disdukcapil untuk proses pembuatan e-KTP,” tutur dia.
Sementara itu, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Semarang, Adi Tri Hananto mengatakan, pihaknya akan melakukan penelusuran riwayat terlebih dahulu, sebelum mengeluarkan e-KTP. Langkah itu untuk mengantisipasi kartu identitas ganda.
“Untuk perekamannya (e-KTP) tidak ada masalah, yang perlu kita tegaskan justru riwayatnya dia (waria) sampai di sini (Semarang) yang sering membutuhkan pendalaman. Misalnya apakah pernah direkam di tempat lain dan sebagainya itu harus diikuti. Kalau dia sudah pernah di sana, nanti misalnya dia memilih (tinggal) di Semarang, nanti akan kita bantu perpindahan dari sana (tempat asal),” jelas Adi.
“Sehingga jangan sampai ada duplikasi, kalau ada duplikasi e-KTP-nya tidak bisa tercetak. Itu yang harus kita sampaikan. Karena masing-masing orang saya sampaikan kadang-kadang terapinya beda-beda itu yang kadang sering membutuhkan pendalaman yang lebih intens,” lugas dia.
Adi menyampaikan, sudah terdapat 15 waria yang mengajukan dokumen e-KTP. Kartu e-KTP tak ubahnya seperti untuk warga lain, termasuk pada kolom jenis kelamin. Perbedaannya, terletak pada foto karena mereka bisa dipotret dengan tampilan perempuan.
“Di situ (e-KTP) tidak bisa kita lihat ini transpuan (waria) atau bukan, tapi munculnya tetap identitas yang lama kecuali dia punya keputusan pengadilan yang mengatakan dia transgender. Kalau enggak ada ya identitas bawaan lama, perbedaannya hanya pada foto saja. Nama dan sebagainya yang ada di dalamnya sama semua pengajuan e-KTP secara umum,” pungkasnya.
Postur tubuhnya tinggi dan cukup tegap. Dengan pakaian model kebaya yang membalut tubuhnya, Silvy bercerita seputar diri dan aktivitasnya.
Dia merupakan Ketua Persatuan Waria Semarang (Perwaris). Sebuah komunitas yang berdiri sejak 2009 dan beranggotakan transpuan atau waria.
“Teman-teman itu banyak yang keluar rumah, keluar dari keluarga, karena keluarga tidak bisa menerima statusnya. Karena tidak nyaman di lingkungan keluarga, akhirnya meninggalkan rumah tanpa membawa dokumen kependudukan,” kata Silvy ketika Dialog Warga Perjuangan Komunitas Rentan Kota Semarang dalam Memperoleh Hak Kesehatan dan Administrasi Kependudukan (Adminduk), Rabu (17/11/2021).
“Itu awal mula masalah ketika banyak teman tidak punya dokumen kependudukan atau identitas diri. Ketika itu, seluruh teman transpuan, waria bersuara untuk bisa membuat e-KTP. Waktu itu 2011, jadi perjuangan kita sudah 10 tahun untuk mengupayakan teman-teman transgender bisa memiliki identitas,” jelasnya.
Perjuangan itu membuahkan hasil setelah Direktorat Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan aturan agar transgender bisa memperbarui kartu identitasnya.
Baca Juga
Permendagri No. 96 Tahun 2019 menyebutkan, kewajiban negara mendata penduduk rentan administrasi kependudukan.
“Titik terangnya itu waktu Kementerian Dalam Negeri memberikan statement, bahwa tidak ada warga negara yang boleh didiskriminasi atau mendapatkan hambatan dalam membuat kartu identitas, karena semua akan dilayani dengan porsi yang sama,” terangnya.
Menurutnya, sebelum muncul Permendagri tersebut, anggotanya yang berjumlah 90 orang tak memiliki dokumen kependudukan. Padahal, kartu identitas sangat dibutuhkan agar mereka bisa mendapatkan hak sebagai warga negara.
“Kalau tidak punya kartu identitas kita akan repot, tidak bisa akses vaksin kalau mau nge-mal juga enggak bisa. Makanya kita mendorong temen-temen (waria) ini untuk mau pergi ke kantor Disdukcapil untuk proses pembuatan e-KTP,” tutur dia.
Sementara itu, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Semarang, Adi Tri Hananto mengatakan, pihaknya akan melakukan penelusuran riwayat terlebih dahulu, sebelum mengeluarkan e-KTP. Langkah itu untuk mengantisipasi kartu identitas ganda.
“Untuk perekamannya (e-KTP) tidak ada masalah, yang perlu kita tegaskan justru riwayatnya dia (waria) sampai di sini (Semarang) yang sering membutuhkan pendalaman. Misalnya apakah pernah direkam di tempat lain dan sebagainya itu harus diikuti. Kalau dia sudah pernah di sana, nanti misalnya dia memilih (tinggal) di Semarang, nanti akan kita bantu perpindahan dari sana (tempat asal),” jelas Adi.
“Sehingga jangan sampai ada duplikasi, kalau ada duplikasi e-KTP-nya tidak bisa tercetak. Itu yang harus kita sampaikan. Karena masing-masing orang saya sampaikan kadang-kadang terapinya beda-beda itu yang kadang sering membutuhkan pendalaman yang lebih intens,” lugas dia.
Adi menyampaikan, sudah terdapat 15 waria yang mengajukan dokumen e-KTP. Kartu e-KTP tak ubahnya seperti untuk warga lain, termasuk pada kolom jenis kelamin. Perbedaannya, terletak pada foto karena mereka bisa dipotret dengan tampilan perempuan.
“Di situ (e-KTP) tidak bisa kita lihat ini transpuan (waria) atau bukan, tapi munculnya tetap identitas yang lama kecuali dia punya keputusan pengadilan yang mengatakan dia transgender. Kalau enggak ada ya identitas bawaan lama, perbedaannya hanya pada foto saja. Nama dan sebagainya yang ada di dalamnya sama semua pengajuan e-KTP secara umum,” pungkasnya.
(san)