Ekspedisi Pamalayu, Ambisi Raja Kertanegara Taklukkan Sumatera dan Adang Invasi Mongol

Senin, 08 November 2021 - 05:50 WIB
loading...
Ekspedisi Pamalayu,...
Kompleks Candi Mleri, Srengat, Blitar, tempat persemayaman abu jenazah Raja Singasari Wisnuwardhana. Foto SINDOnews/Solichan Arif
A A A
Raja Singasari Kertanegara naik tahta tahun 1268 menggantikan ayahnya, Wisnuwardhana , dia pun langsung mengatur strategi untuk menyerang wilayah Sumatera .

Penyerangan yang dikemas dalam Ekspedisi Pamalayu itu adalah upaya mewujudkan ambisi sang raja menyatukan wilayah Nusantara.

Berbeda dengan raja-raja sebelumnya, Raja Singasari, Kertanegara yang juga disebut Sri Maharaja Kertanagara berniat memperluas daerah kekuasaan sampai ke luar Pulau Jawa. Gagasan tersebut dimulai tahun 1275 dengan pengiriman pasukan di bawah pimpinan Kebo Anabrang untuk menaklukan bhumi malayu.



Dalam Nagarakertagama mengisahkan bahwa tujuan Ekspedisi Pamalayu sebenarnya untuk menundukkan Swarnabhumi secara baik-baik. Namun, tujuan tersebut mengalami perubahan karena Raja Swarnabhumi ternyata melakukan perlawanan. Meskipun demikian, pasukan Singasari tetap berhasil memperoleh kemenangan.

Menurut analisis para sejarawan, latar belakang pengiriman Ekspedisi Pamalayu adalah untuk membendung serbuan bangsa Mongol. Saat itu kekuasaan Kubilai Khan raja Mongol (atau Dinasti Yuan) sedang mengancam wilayah Asia Tenggara.

Untuk itu, Kertanagara mencoba menghadang dan mendahuluinya dengan menguasai Sumatera sebelum datang serbuan dari pihak asing tersebut.

Namun ada juga pendapat lain mengatakan bahwa tujuan dari ekspedisi ini adalah untuk menggalang kekuatan di Nusantara di bawah satu komando Singasari yang bertujuan untuk menahan kemungkinan serangan dari Mongol.

Beberapa literatur menyebut, sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah untuk menguasai negeri Melayu sebagai batu loncatan untuk menaklukkan Sriwijaya. Dengan demikian, posisi Sriwijaya sebagai penguasa Asia Tenggara dapat diperlemah.

Namun pendapat ini kurang tepat karena pada saat itu kerajaan Sriwijaya sudah musnah. Nagarakertagama yang ditulis tahun 1365 juga tidak pernah menyebutkan adanya negeri bernama Sriwijaya lagi, tetapi melainkan bernama Palembang. Itu artinya pada zaman tersebut, nama Sriwijaya sudah tidak dikenal lagi.

Catatan sejarah juga ada yang menyebutkan bahwa Ekspedisi Pamalayu ini bertujuan untuk menjalin kekuatan untuk menghadapi bangsa Mongol dari Dinasti Yuan yang berkedudukan di Khanbalik (Beijing sekarang).



Saat itu Dinasti Yuan atau dikenal sebagai Kekaisaran Mongolia sedang melakukan ekspansi wilayah bahkan memiliki bentangan yang cukup luas, dari Korea hingga Rusia (Kievan Rus), Timur-Tengah (menghancurkan dinasti Abbasiyah di Baghdad) dan Eropa Timur.

Pada tahun-tahun itu, Imperium Mongol ini berusaha mengadakan perluasan diantaranya ke Jepang dan Jawa. Jadi maksud ekspedisi ini adalah untuk mengadang langsung armada Mongol agar tidak masuk ke perairan Jawa.

Saat bersinggungan dengan Mongol inilah Kertanegara yang menganut Buddha ini mengenal aliran Tantrayana kiri. Istilah Tantrayana ini berasal dari akar kata “Tan” yang artinya memaparkan kesaktian atau kekuatan daripada dewa.

Di India penganut Tantrisme banyak terdapat di India Selatan dibandingkan dengan India Utara. Tantra adalah suatu kombinasi yang unik antara mantra, upacara dan pemujaan secara total.

Menurut Nagarakretagama, Kertanegara dikisahkan sebagai seorang yang bebas dari segala dosa. Bahkan, salah satu ritual Tantrayana kiri adalah berpesta minuman keras dan seks demi mencapai pencerahan atau nirwana.

Namun ritual ini hanya dilakukan Kertanegara untuk mencapai pencerahan demi kemakmuran negara dan rakyat serta dalam menangkal serangan musuh. Jadi bukan untuk kesenangan pribadi atau kenikmatan duniawi semata.



Konon ritual ini mulai dilakukan Kertanegara karena dia mendapatkan kabar jika kehebatan Kubilai Khan yang berhasil menaklukan sebagian daratan Eropa dan Asia ternyata berasal dari kekuatan gaib ritual Tantrik yang dipelajari Raja Mongolia ini dari seorang biksu Tibet.

Kertanegara menyakini ritual Tantra kiri yang dilakukannya untuk pencerahan juga dilakukan oleh Kubilai Khan demi mendapatkan bantuan Dewi Kali yang dalam tahapannya menjelma sebagai ibusuri kegelapan. Sehingga pasukan Kubilai Khan dapat dengan mudah menguasai negara yang diserangnya.

Sementara, catatan dari Dinasti Ming menyebutkan bahwa pada tahun 1377 tentara Jawa menghancurkan pemberontakan San-fo-tsi. Meskipun demikian, istilah San-fo-tsi tidak harus bermakna Sriwijaya.

Dalam catatan Dinasti Song istilah San-fo-tsi memang identik dengan Sriwijaya, tetapi dalam naskah Chu-fan-chi yang ditulis tahun 1225, istilah San-fo-tsi identik dengan Dharmasraya. Dengan kata lain, San-fo-tsi adalah sebutan bangsa Cina untuk pulau Sumatra, sebagaimana mereka menyebut Jawa dengan istilah Cho-po.

Jadi, sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah inspeksi pada Kerajaan Melayu karena dalam Nagarakretagama telah disebutkan bahwa kerajaan wilayah Melayu merupakan daerah bawahan di antara sekian banyak daerah jajahan Majapahit, di mana penyebutan Malayu tersebut dirujuk kepada beberapa negeri yang ada di pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya.



Beberapa literatur menyebut sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah untuk menguasai negeri Melayu sebagai batu loncatan untuk menaklukkan Sriwijaya. Dengan demikian, posisi Sriwijaya sebagai penguasa Asia Tenggara dapat diperlemah. Namun pendapat ini kurang tepat karena pada saat itu kerajaan Sriwijaya sudah musnah.

Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 juga tidak pernah menyebutkan adanya negeri bernama Sriwijaya lagi, tetapi melainkan bernama Palembang. Itu artinya pada zaman tersebut, nama Sriwijaya sudah tidak dikenal lagi.

Istilah Pamalayu dapat bermakna “perang melawan Malayu” atau kalau alih dari bahasa Sanskrit berarti "tidak melepaskan Malayu".Hal ini terjadi karena kawasan Melayu yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Sriwijaya sebagaimana tersebut pada Prasasti Kedukan Bukit yang beraksara tahun 682 dan kemudian munculnya Dharmasraya mengantikan peran Sriwijaya sebagai penguasa pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya, seiring dengan melemahnya pengaruh Sriwijaya setelah serangan pasukan Rajendra Chola dari Koromandel, India sekitar tahun 1025, di mana dari Prasasti Tanyore menyebutkan bahwa serangan tersebut berhasil menaklukan dan menawan raja dari Sriwijaya.

Kebangkitan kembali Kerajaan Melayu di bawah pimpinan Srimat Trailokyabhusana Mauli Warmadewa sebagaimana yang tertulis dalam Prasasti Grahi tahun 1183.

Pararaton menyebutkan bahwa pasukan Pamalayu yang berangkat tahun 1275 akhirnya pulang ke Jawa sepuluh hari setelah kepergian bangsa Mongol tahun 1294.

Menurut catatan Dinasti Yuan, Kaisar Khubilai Khan mengirim pasukan Mongol untuk menyerang kerajaan Singhasari tahun 1292. Namun, Singhasari ternyata sudah runtuh akibat pemberontakan Jayakatwang. Pasukan Mongol kemudian bekerja sama dengan Raden Wijaya penguasa Majapahit untuk menghancurkan Jayakatwang.

Sesudah itu, Raden Wijaya ganti mengusir pasukan Mongol dari Pulau Jawa. Kepergian pasukan yang dipimpin Ike Mese itu terjadi pada tanggal 23 April 1293. Jadi, pemberitaan Pararaton meleset satu tahun. Dengan demikian, kepulangan pasukan Pamalayu tiba di Jawa sekitar tanggal 3 Mei 1293.



Menurut sumber dari Batak, pasukan Pamalayu dipimpin oleh Indrawarman, bukan Kebo Anabrang. Tokoh Indrawarman ini tidak pernah kembali ke Jawa, melainkan menetap di Sumatera dan menolak kekuasaan Majapahit sebagai kelanjutan dari Singasari. Mungkin, Indrawarman bukan komandan Pamalayu, melainkan wakilnya.

Jadi, ketika Kebo Anabrang kembali ke Jawa, ia tidak membawa semua pasukan, tetapi meninggalkan sebagian di bawah pimpinan Indrawarman untuk menjaga keamanan Sumatera. Nama Indrawarman inilah yang tercatat dalam ingatan masyarakat Batak.

Dikisahkan bahwa Indrawarman bermarkas di tepi Sungai Asahan. Ia menolak mengakui kedaulatan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya sebagai ahli waris Kertanagara. Namun, ia juga tidak mampu mempertahankan daerah Kuntu–Kampar yang direbut oleh Kesultanan Aru–Barumun pada tahun 1299.

Indrawarman takut apabila kerajaan Majapahit datang untuk meminta pertanggungjawabannya. Ia pun meninggalkan daerah Asahan untuk membangun kerajaan bernama Silo di daerah Simalungun. Pada tahun 1339 datang pasukan Majapahit di bawah pimpinan Adityawarman menghancurkan kerajaan ini.

(Sumber : Gayatri Rajapatni, Earl Drake, Penerbit Ombak, 2012; Wikipedia dan diolah dari berbagai sumber)
(nic)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1620 seconds (0.1#10.24)