Pascapenembakan 3 Satpam, Suku Anak Dalam Serahkan Belasan Senjata Api Rakitan
loading...
A
A
A
JAMBI - Pascapenembakan yang dilakukan oknum warga Suku Anak Dalam (SAD) terhadap tiga Satpam perusahaan sawit, Polda Jambi terus melakukan penyelidikan. Tidak hanya itu, petugas juga mengamankan belasan senjata api rakitan jenis kecepek milik warga Suku Anak Dalam.
"Kalau terhitung dari pasca kejadian Jumat, 29 Oktober 2021 sampai Selasa, 2 November 2021 ada sebanyak 16 senjata kecepek laras panjang diamanankan," tegas Wakapolda Jambi Brigjen Pol Yudhawan, Rabu (3/11/2021).
Dikatakan, hingga saat ini pihak Polda Jambi masih terus mencari pelaku penembakan yang diduga dilakukan oknum warga SAD.
"Pelaku saat ini masih disinyalir lari ke dalam hutan rimba. Namun, pihak kepolisian masih mencari solusi dengan cara mengundang pihak Warsi dan Walhi untuk menjembatani ke pihak SAD," ujarnya.
Dengan kejadian ini, pihaknya masih belum bisa memastikan pidana yang untuk pelaku. "Kita belum tentukan hukuman apa yang dibuat kepada pelaku SAD karena pelaku saat ini kabur ke dalam hutan yang jaraknya bisa mencapai 8 jam," tandas Yudhawan.
Dia menambahkan, saat ini di lokasi kejadian Wadirreskrimum Polda Jambi AKBP Trisaksono Puspo Aji juga berkunjung ke beberapa rumah warga SAD. "Alhamdulillah, warga SAD langsung antusias menyerahkan senjata api," imbuhnya.
Terpisah, Kapolres Sarolangun, AKBP Sugeng Wahyudiyono, menyampaikan pasca terjadinya konflik antara warga SAD dan PT PKM, pihaknya telah mengumpulkan senjata api rakitan ilegal jenis kecepek dari warga SAD.
"Kecepek yang berhasil kami kumpulkan, yaitu sebanyak 16 pucuk, dengan rincian 4 pucuk kecepek dari Kades Pancakarya, Kecamatan Limun, 3 kecepek dari Kades Lubuk Jerung, Kecamatan Air Hitam, 4 kecepek dari Kades Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam dan 5 kecepek dari Kades Gurun Tuo Simpang, Kecamatan Mandiangin," ujarnya.
Selain itu, Sat Reskrim Polres Sarolangun juga mengamankan bahan kimia jenis kalium nitrat (sendawa) yang didapat dari beberapa toko yang berada di wilayah Sarolangun.
"Bahan jimia tersebut digunakan untuk membuat racikan campuran nesiu yang digunakan untuk senjata api jenis rakitan laras panjang (kecepek) sebanyak 12 Kg," tandas Sugeng Wahyudiyono.
Sementara Manager Program Suku-suku Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Robert Aritonang menyesalkan masih adanya konflik antara warga Suku Anak Dalam (SAD) dengan pihak perusahaan.
Terlebih, adanya kejadian tiga orang Satpam di salah satu perusahaan di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi yang diduga ditembak oknum warga SAD.
Dia menilai, persoalan tersebut jangan dilihat secara parsial. Menurutnya, rentetan kasus yang timbul ini merupakan akumulasi dari persoalan-persoalan dasar pada komunitas adat marginal dalam hal ini Orang Rimba yang tidak terselesaikan dengan baik.
"Perusahaan perkebunan yang berkonflik dengan Orang Rimba, merupakan wilayah jelajah suku ini sejak sebelum ada perusahaan di wilayah itu," ujarnya.
Namun, sambungnya, perusahaan hadir dan membiarkan komunitas itu terlunta-lunta di dalam lahan mereka, tanpa ada upaya untuk mengakomodir suku ini dan memperlakukan mereka layaknya bagian dari anak bangsa.
“Ini yang jadi intinya, Orang Rimba kehilangan sumber penghidupan mereka, akibat beralih fungsi menjadi perkebunan sawit,” tukas Robert.
Di sisi lain, ujarnya, bagaimana kebun sawit tidak lagi ada umbi di dalam tanahnya, tidak ada lagi pohon buah untuk konsumsi. Sehingga Orang Rimba mengambil brondol yang jatuh untuk ditukarkan dengan beras. Baca: Diduga Senggol Mobil, Pengendara Motor di Sleman Tewas Terjatuh.
“Kondisi ini yang menjadikannya sumber persoalan. Pembiaran yang terlalu lama pada nasib Orang Rimba telah menyebabkan semakin buruknya kualitas hidup Orang Rimba,” kata Robert.
Dia juga menyesalkan adanya anggapan ketika Orang Rimba melakukan aktivitas mengambil brondol dianggap sebagai pencuri pelaku kriminal, dan juga dengan sangat mudah mereka diperlakukan sewenang-wenang,
“Tidak ada perhitungan dari perusahaan bahwa Orang Rimba sudah ada di situ jauh sebelum mereka hadir,” tutur Robert.
Akibatnya, Orang Rimba dianggap pelaku kriminal, sehingga satpam perusahaan yang tentunya atas arahan perusahaan melakukan tindakan yang mereka yakini sebagai bentuk perlindungan tempat usaha. Baca Juga: Vaksinasi Pelajar SD, Pemkot Palembang Tunggu Petunjuk Teknis.
“Sama sekali perusahaan tidak melihat Orang Rimba bagian yang harusnya dicarikan solusi permanen untuk mereka. Orang Rimba seolah dianggap sebagai penumpang di lahan tersebut. Sehingga semua tindakan mereka dianggap kriminal. Kesalahannya disitu, tidak melihat Orang Rimba bagian dari anak bangsa,” jelasnya.
"Kalau terhitung dari pasca kejadian Jumat, 29 Oktober 2021 sampai Selasa, 2 November 2021 ada sebanyak 16 senjata kecepek laras panjang diamanankan," tegas Wakapolda Jambi Brigjen Pol Yudhawan, Rabu (3/11/2021).
Dikatakan, hingga saat ini pihak Polda Jambi masih terus mencari pelaku penembakan yang diduga dilakukan oknum warga SAD.
"Pelaku saat ini masih disinyalir lari ke dalam hutan rimba. Namun, pihak kepolisian masih mencari solusi dengan cara mengundang pihak Warsi dan Walhi untuk menjembatani ke pihak SAD," ujarnya.
Dengan kejadian ini, pihaknya masih belum bisa memastikan pidana yang untuk pelaku. "Kita belum tentukan hukuman apa yang dibuat kepada pelaku SAD karena pelaku saat ini kabur ke dalam hutan yang jaraknya bisa mencapai 8 jam," tandas Yudhawan.
Dia menambahkan, saat ini di lokasi kejadian Wadirreskrimum Polda Jambi AKBP Trisaksono Puspo Aji juga berkunjung ke beberapa rumah warga SAD. "Alhamdulillah, warga SAD langsung antusias menyerahkan senjata api," imbuhnya.
Terpisah, Kapolres Sarolangun, AKBP Sugeng Wahyudiyono, menyampaikan pasca terjadinya konflik antara warga SAD dan PT PKM, pihaknya telah mengumpulkan senjata api rakitan ilegal jenis kecepek dari warga SAD.
"Kecepek yang berhasil kami kumpulkan, yaitu sebanyak 16 pucuk, dengan rincian 4 pucuk kecepek dari Kades Pancakarya, Kecamatan Limun, 3 kecepek dari Kades Lubuk Jerung, Kecamatan Air Hitam, 4 kecepek dari Kades Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam dan 5 kecepek dari Kades Gurun Tuo Simpang, Kecamatan Mandiangin," ujarnya.
Selain itu, Sat Reskrim Polres Sarolangun juga mengamankan bahan kimia jenis kalium nitrat (sendawa) yang didapat dari beberapa toko yang berada di wilayah Sarolangun.
"Bahan jimia tersebut digunakan untuk membuat racikan campuran nesiu yang digunakan untuk senjata api jenis rakitan laras panjang (kecepek) sebanyak 12 Kg," tandas Sugeng Wahyudiyono.
Sementara Manager Program Suku-suku Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Robert Aritonang menyesalkan masih adanya konflik antara warga Suku Anak Dalam (SAD) dengan pihak perusahaan.
Terlebih, adanya kejadian tiga orang Satpam di salah satu perusahaan di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi yang diduga ditembak oknum warga SAD.
Dia menilai, persoalan tersebut jangan dilihat secara parsial. Menurutnya, rentetan kasus yang timbul ini merupakan akumulasi dari persoalan-persoalan dasar pada komunitas adat marginal dalam hal ini Orang Rimba yang tidak terselesaikan dengan baik.
"Perusahaan perkebunan yang berkonflik dengan Orang Rimba, merupakan wilayah jelajah suku ini sejak sebelum ada perusahaan di wilayah itu," ujarnya.
Namun, sambungnya, perusahaan hadir dan membiarkan komunitas itu terlunta-lunta di dalam lahan mereka, tanpa ada upaya untuk mengakomodir suku ini dan memperlakukan mereka layaknya bagian dari anak bangsa.
“Ini yang jadi intinya, Orang Rimba kehilangan sumber penghidupan mereka, akibat beralih fungsi menjadi perkebunan sawit,” tukas Robert.
Di sisi lain, ujarnya, bagaimana kebun sawit tidak lagi ada umbi di dalam tanahnya, tidak ada lagi pohon buah untuk konsumsi. Sehingga Orang Rimba mengambil brondol yang jatuh untuk ditukarkan dengan beras. Baca: Diduga Senggol Mobil, Pengendara Motor di Sleman Tewas Terjatuh.
“Kondisi ini yang menjadikannya sumber persoalan. Pembiaran yang terlalu lama pada nasib Orang Rimba telah menyebabkan semakin buruknya kualitas hidup Orang Rimba,” kata Robert.
Dia juga menyesalkan adanya anggapan ketika Orang Rimba melakukan aktivitas mengambil brondol dianggap sebagai pencuri pelaku kriminal, dan juga dengan sangat mudah mereka diperlakukan sewenang-wenang,
“Tidak ada perhitungan dari perusahaan bahwa Orang Rimba sudah ada di situ jauh sebelum mereka hadir,” tutur Robert.
Akibatnya, Orang Rimba dianggap pelaku kriminal, sehingga satpam perusahaan yang tentunya atas arahan perusahaan melakukan tindakan yang mereka yakini sebagai bentuk perlindungan tempat usaha. Baca Juga: Vaksinasi Pelajar SD, Pemkot Palembang Tunggu Petunjuk Teknis.
“Sama sekali perusahaan tidak melihat Orang Rimba bagian yang harusnya dicarikan solusi permanen untuk mereka. Orang Rimba seolah dianggap sebagai penumpang di lahan tersebut. Sehingga semua tindakan mereka dianggap kriminal. Kesalahannya disitu, tidak melihat Orang Rimba bagian dari anak bangsa,” jelasnya.
(nag)