Belajar dengan Gembira di Sanggar Bocah Jawa
loading...
A
A
A
KLATEN - Sebuah tembang dolanan atau mainan menggema di emperan rumah gebyok di Dukuh Sekaran, Desa Banaran, Delanggu, Klaten, Jateng, beberapa waktu lalu. Tembang itu dilantunkan oleh belasan anak didik Sanggar Bocah Jawa.
Tembang tersebut menjadi pembuka kegiatan Sanggar Bocah Jawa pagi itu. Setelah tembang, kegiatan dilanjutkan dengan mendongeng . Pengelola sanggar mendongeng untuk anak-anak usia PAUD hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang hadir.
Pada Minggu pagi itu Riyanta, pendiri Sanggar Bocah Jawa, memberikan dongeng Enthit yang menceritakan kisah cinta Panji Asmarabangun dan Galuh Candrakirana.
Belasan anak-anak itu mendengarkan dongeng dengan santai. Ada sebagian mereka yang tiduran di tikar.
Meski santai anak-anak itu menyimak dongeng yang dituturkan Riyanta. Saat pendongeng itu mengucapkan perkataan Enthit dengan suara sengau, mereka tertawa terpingkal-pingkal.
Anak-anak itu menyimak alur cerita dan nama tokoh dongeng karena sehabis mendongeng, Riyanta biasa menanyai mereka tentang tokoh-tokoh itu dan isi cerita. Kadang ada yang diminta berlatih mendongeng dengan menceritakan kembali apa yang didongengkan oleh pengampu.
Seusai sesi dongeng, anak-anak Sanggar Bocah Jawa diajar membaca dan menulis aksara Jawa. Dua orang mahasiswa Bagas dan Sekar mengajar mereka dengan sabar. Dua remaja itu berbagi tugas mengajar sesuai tingkat kemampuan anak-anak itu.
Sehabis belajar membaca dan menulis aksara Jawa anak-anak itu bermain permainan tradisional di halaman sanggar yang cukup luas. Mereka bermain grobak sodor, betengan, dan bercok. Saat ini, permainan seperti itu jarang dilakukan anak-anak di kampung, apalagi di perkotaan.
Untuk sekadar mengobati haus anak-anak, Sanggar Bocah Jawa menyediakan minuman dan makanan kecil untuk mereka.
Saat ditemui wartawan, Riyanta mengungkapkan Sanggar Bocah Jawa didirikannya pada tahun 2008. Saat itu dirinya menggandeng dua mahasiswa Sastra Daerah UNS adik tingkatnya, Supriyanto dan Sumarsono.
Menurut mantan wartawan senior di sebuah media ternama di Solo itu, setelah kegiatan berjalan, sanggar juga didukung oleh Retno Wulandari yang saat ini menjadi General Manager The Sunan Hotel Solo. 'Mbak Retno turut aktif mendongeng sejak awal sanggar ini berdiri,"katanya.
"Anak-anak di Sanggar Bocah Jawa tidak dipungut biaya, jadi gratis. Untuk sekadar alat tulis dan makanan kecil sekadarnya kami sendiri yang mencukupi. Untuk jumlah anak didik dari waktu ke waktu berbeda-beda. Pernah lebih dari 30 anak, saat ini sekitar 15 sampai 25 anak," ujar Riyanta. Baca: Perempuan Muda Tewas Tenggelam di Kolam Renang Hotel di Surabaya.
"Lewat dongeng dan belajar membaca dan menulis aksara Jawa ini kami ingin anak-anak mendapat pendidikan moral. Kami berusaha memberi pesan kejujuran, kesetiakawanan, berbakti kepada orang tua, hingga ketaatan kepada Tuhan," tutur dia.
Sementara itu, Bagaskara menuturkan kepada wartawan kegiatan sanggar digelar tiap hari Minggu pagi. Namun demikian anak-anak itu sering datang ke sanggar di hari lain untuk minta bantuan Bagaskara mengerjakan pekerjaan rumah (PR).
"Mereka tinggal di sekitar sanggar dan dusun sebelah. Saat ada PR mereka sering kemari untuk minta diajari mengerjakannya," tutur Bagaskara. Baca Juga: 6 Bulan Belum Terima Honor, Ratusan Tim Satgas COVID-19 Segel Kantor BPBD Sultra.
Salah satu anak sanggar, Vivi (11), merasa senang menjadi anak sanggar. "Di sini menyenangkan. Saya bisa bermain dengan banyak teman. Selain itu mendapatkan ilmu, jadi bisa baca aksara Jawa. Kalau kami mendapat PR ada yang membantu mengajari," pungkasnya.
Tembang tersebut menjadi pembuka kegiatan Sanggar Bocah Jawa pagi itu. Setelah tembang, kegiatan dilanjutkan dengan mendongeng . Pengelola sanggar mendongeng untuk anak-anak usia PAUD hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang hadir.
Pada Minggu pagi itu Riyanta, pendiri Sanggar Bocah Jawa, memberikan dongeng Enthit yang menceritakan kisah cinta Panji Asmarabangun dan Galuh Candrakirana.
Belasan anak-anak itu mendengarkan dongeng dengan santai. Ada sebagian mereka yang tiduran di tikar.
Meski santai anak-anak itu menyimak dongeng yang dituturkan Riyanta. Saat pendongeng itu mengucapkan perkataan Enthit dengan suara sengau, mereka tertawa terpingkal-pingkal.
Anak-anak itu menyimak alur cerita dan nama tokoh dongeng karena sehabis mendongeng, Riyanta biasa menanyai mereka tentang tokoh-tokoh itu dan isi cerita. Kadang ada yang diminta berlatih mendongeng dengan menceritakan kembali apa yang didongengkan oleh pengampu.
Seusai sesi dongeng, anak-anak Sanggar Bocah Jawa diajar membaca dan menulis aksara Jawa. Dua orang mahasiswa Bagas dan Sekar mengajar mereka dengan sabar. Dua remaja itu berbagi tugas mengajar sesuai tingkat kemampuan anak-anak itu.
Sehabis belajar membaca dan menulis aksara Jawa anak-anak itu bermain permainan tradisional di halaman sanggar yang cukup luas. Mereka bermain grobak sodor, betengan, dan bercok. Saat ini, permainan seperti itu jarang dilakukan anak-anak di kampung, apalagi di perkotaan.
Untuk sekadar mengobati haus anak-anak, Sanggar Bocah Jawa menyediakan minuman dan makanan kecil untuk mereka.
Saat ditemui wartawan, Riyanta mengungkapkan Sanggar Bocah Jawa didirikannya pada tahun 2008. Saat itu dirinya menggandeng dua mahasiswa Sastra Daerah UNS adik tingkatnya, Supriyanto dan Sumarsono.
Menurut mantan wartawan senior di sebuah media ternama di Solo itu, setelah kegiatan berjalan, sanggar juga didukung oleh Retno Wulandari yang saat ini menjadi General Manager The Sunan Hotel Solo. 'Mbak Retno turut aktif mendongeng sejak awal sanggar ini berdiri,"katanya.
"Anak-anak di Sanggar Bocah Jawa tidak dipungut biaya, jadi gratis. Untuk sekadar alat tulis dan makanan kecil sekadarnya kami sendiri yang mencukupi. Untuk jumlah anak didik dari waktu ke waktu berbeda-beda. Pernah lebih dari 30 anak, saat ini sekitar 15 sampai 25 anak," ujar Riyanta. Baca: Perempuan Muda Tewas Tenggelam di Kolam Renang Hotel di Surabaya.
"Lewat dongeng dan belajar membaca dan menulis aksara Jawa ini kami ingin anak-anak mendapat pendidikan moral. Kami berusaha memberi pesan kejujuran, kesetiakawanan, berbakti kepada orang tua, hingga ketaatan kepada Tuhan," tutur dia.
Sementara itu, Bagaskara menuturkan kepada wartawan kegiatan sanggar digelar tiap hari Minggu pagi. Namun demikian anak-anak itu sering datang ke sanggar di hari lain untuk minta bantuan Bagaskara mengerjakan pekerjaan rumah (PR).
"Mereka tinggal di sekitar sanggar dan dusun sebelah. Saat ada PR mereka sering kemari untuk minta diajari mengerjakannya," tutur Bagaskara. Baca Juga: 6 Bulan Belum Terima Honor, Ratusan Tim Satgas COVID-19 Segel Kantor BPBD Sultra.
Salah satu anak sanggar, Vivi (11), merasa senang menjadi anak sanggar. "Di sini menyenangkan. Saya bisa bermain dengan banyak teman. Selain itu mendapatkan ilmu, jadi bisa baca aksara Jawa. Kalau kami mendapat PR ada yang membantu mengajari," pungkasnya.
(nag)