Strategi Kemandirian Industri Baja Dukung Pertumbuhan Ekonomi
loading...
A
A
A
CILEGON - Industri baja nasional yang mandiri diharapkan mampu mendukung tumbuhnya ekonomi nasional. Dengan metode Three Circular Economy, pengamat optimistis tujuan itu dapat segera terwujud.
Three Circular Economy merupakan analisa umum antara peningkatan produksi dalam negeri, konsumsi produk dalam negeri, penurunan impor serta adanya investasi yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi nasional.
Direktur Logam Dirjen ILMATE Kemenperin, Budi Susanto mengungkapkan, pihaknya sudah memiliki rencana induk pengembangan industri baja dan besi nasional. Rencana itu dibuat dari tahun 2015 sampai 2035. Pada rencana tahap dua (2020-2024), target kapasitas produksi di akhir tahun 2024 sebesar 17 juta ton.
"Di bulan keempat tahun 2021 ini sudah mencapai 11,7 ton. Ini juga kalau dilihat dari targetnya (2021) ini 11,9 juta ton. Jadi kita sekarang masih kekurangan 0,2 juta ton. Mudah-mudahan dengan beroperasinya fasilitas LSM dari Gunung Rajapaksi yang 11 juta ton ini nanti bisa terpenuhi," dalam diskusi online Infrastructure Connect Digital Series 2021 dengan tema "Menuju Kemandirian Industri Baja Nasional dalam Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Nasional" dikutip Sabtu (9/10/2021).
"Kemudian Cilegon karena kita sudah sebut sebagai kota baja kita juga canangkan ada cluster 10 juta ton. Ini merupakan bagian dari yang 17 juta ton. Nah ini di tahun 2019 sampai 2022 ini juga sudah ditetapkan sebesar 6,9 juta ton. Dan ini mudah-mudahan juga bisa terpenuhi," katanya.
Budi menjelaskan bahwa berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 5 Agustus 2021 lalu, sektor konstruksi yang membutuhkan banyak baja dan besi sebagai material konstruksi kini tumbuh 4,42 persen.
Pertumbuhan ini terjadi karena adanya realisasi belanja pemerintah untuk konstruksi yang mengalami kenaikan sebesar 50,52 persen. Kemudian kebijakan PPnBM (Pajak Penjualan untuk Barang Mewah) untuk otomotif. Kebijakan ini juga mendorong pemakaian baja juga yang pada akhirnya meningkatkan impor besi dan baja.
Dia menyebut, Kemenperin sudah memiliki strategi untuk menekan laju impor dengan menerapkan smart supplay demand. Sehingga jika ada produk yang belum ada industrinya di tanah air, maka impor masih boleh dilakukan.
"Karena industrinya belum ada di Indonesia maka perlu adanya impor. Terutama impor yang di hulu dan intermediet. Untuk bahan bakunya, macam iron ore kemudian iron sand. Di mana belum ada industrinya maka kita masih keluarkan izin untuk impor. Tapi kalau sudah diproduksi di dalam negeri itu kita selalu melihat supplay dan demandnya," terang Budi.
Selanjutnya, guna mendukung kemandirian baja nasional, Kemenperin juga membuat beragam kebijakan seperti Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI). Kebijakan ini, lanjut dia, memberikan dampak yang bagus sehingga industri masih bisa bertahan hidup selama pandemi.
"Nah bagaimana kita memainkan peran-peran itu yah dengan impor, kemudian menerapkan SNI, menerapkan P3DN, melakukan trade remedies, kemudian juga dengan dukungan ekspor. Ini adalah kebijakan pemerintah yang diberikan kepada industri baja kita," jelasnya.
Pelaku usaha di sektor industri baja, khususnya baja ringan, Stephanus Koeswandi mengatakan, ekonomi nasional bisa meningkat jika ada beberapa factor pendukung seperti investasi, konsumsi, ekspor/impor dan kemajuan teknologi.
"Yang kami pelajari, dari sini ekonomi nasional bisa meningkat kalau ada investasi, adanya konsumsi, dan juga ekspor impor, Kemudian yang terakhir percaya teknologi. Dengan pengaplikasian industry 4.0 ini (pertumbuhan ekonomi nasional) akan mempercepat lagi. Jadi empat hal itu yang kami selalu usahakan di dalam perusahaan kami ini," terang Vice Presiden Tatalogam Group itu.
Namun demikian, menurut dia saat ini masih ada beberapa permasalahan yang bisa menjadi batu sandungan dalam menggapai tujuan kemandirian baja nasional sekaligus mengancam keselamatan jiwa penggunanya di tanah air.
Ia menerangkan, masyarakat Indonesia yang tinggal di negara yang rawan bencana alam kerap kali kembali dihadapkan dengan ancaman bencana buatan manusia. Bangunan roboh akibat gagal konstruksi salah satunya. Peristiwa ini banyak terjadi karena masih adanya baja-baja konstruksi yang spesifikasinya sengaja diturunkan.
Three Circular Economy merupakan analisa umum antara peningkatan produksi dalam negeri, konsumsi produk dalam negeri, penurunan impor serta adanya investasi yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi nasional.
Direktur Logam Dirjen ILMATE Kemenperin, Budi Susanto mengungkapkan, pihaknya sudah memiliki rencana induk pengembangan industri baja dan besi nasional. Rencana itu dibuat dari tahun 2015 sampai 2035. Pada rencana tahap dua (2020-2024), target kapasitas produksi di akhir tahun 2024 sebesar 17 juta ton.
"Di bulan keempat tahun 2021 ini sudah mencapai 11,7 ton. Ini juga kalau dilihat dari targetnya (2021) ini 11,9 juta ton. Jadi kita sekarang masih kekurangan 0,2 juta ton. Mudah-mudahan dengan beroperasinya fasilitas LSM dari Gunung Rajapaksi yang 11 juta ton ini nanti bisa terpenuhi," dalam diskusi online Infrastructure Connect Digital Series 2021 dengan tema "Menuju Kemandirian Industri Baja Nasional dalam Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Nasional" dikutip Sabtu (9/10/2021).
"Kemudian Cilegon karena kita sudah sebut sebagai kota baja kita juga canangkan ada cluster 10 juta ton. Ini merupakan bagian dari yang 17 juta ton. Nah ini di tahun 2019 sampai 2022 ini juga sudah ditetapkan sebesar 6,9 juta ton. Dan ini mudah-mudahan juga bisa terpenuhi," katanya.
Budi menjelaskan bahwa berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 5 Agustus 2021 lalu, sektor konstruksi yang membutuhkan banyak baja dan besi sebagai material konstruksi kini tumbuh 4,42 persen.
Pertumbuhan ini terjadi karena adanya realisasi belanja pemerintah untuk konstruksi yang mengalami kenaikan sebesar 50,52 persen. Kemudian kebijakan PPnBM (Pajak Penjualan untuk Barang Mewah) untuk otomotif. Kebijakan ini juga mendorong pemakaian baja juga yang pada akhirnya meningkatkan impor besi dan baja.
Dia menyebut, Kemenperin sudah memiliki strategi untuk menekan laju impor dengan menerapkan smart supplay demand. Sehingga jika ada produk yang belum ada industrinya di tanah air, maka impor masih boleh dilakukan.
"Karena industrinya belum ada di Indonesia maka perlu adanya impor. Terutama impor yang di hulu dan intermediet. Untuk bahan bakunya, macam iron ore kemudian iron sand. Di mana belum ada industrinya maka kita masih keluarkan izin untuk impor. Tapi kalau sudah diproduksi di dalam negeri itu kita selalu melihat supplay dan demandnya," terang Budi.
Selanjutnya, guna mendukung kemandirian baja nasional, Kemenperin juga membuat beragam kebijakan seperti Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI). Kebijakan ini, lanjut dia, memberikan dampak yang bagus sehingga industri masih bisa bertahan hidup selama pandemi.
"Nah bagaimana kita memainkan peran-peran itu yah dengan impor, kemudian menerapkan SNI, menerapkan P3DN, melakukan trade remedies, kemudian juga dengan dukungan ekspor. Ini adalah kebijakan pemerintah yang diberikan kepada industri baja kita," jelasnya.
Pelaku usaha di sektor industri baja, khususnya baja ringan, Stephanus Koeswandi mengatakan, ekonomi nasional bisa meningkat jika ada beberapa factor pendukung seperti investasi, konsumsi, ekspor/impor dan kemajuan teknologi.
"Yang kami pelajari, dari sini ekonomi nasional bisa meningkat kalau ada investasi, adanya konsumsi, dan juga ekspor impor, Kemudian yang terakhir percaya teknologi. Dengan pengaplikasian industry 4.0 ini (pertumbuhan ekonomi nasional) akan mempercepat lagi. Jadi empat hal itu yang kami selalu usahakan di dalam perusahaan kami ini," terang Vice Presiden Tatalogam Group itu.
Namun demikian, menurut dia saat ini masih ada beberapa permasalahan yang bisa menjadi batu sandungan dalam menggapai tujuan kemandirian baja nasional sekaligus mengancam keselamatan jiwa penggunanya di tanah air.
Ia menerangkan, masyarakat Indonesia yang tinggal di negara yang rawan bencana alam kerap kali kembali dihadapkan dengan ancaman bencana buatan manusia. Bangunan roboh akibat gagal konstruksi salah satunya. Peristiwa ini banyak terjadi karena masih adanya baja-baja konstruksi yang spesifikasinya sengaja diturunkan.
(shf)