Kisah Pasukan Tameng dan Klewang, Penumpas Antek-antek PKI di Bali
loading...
A
A
A
Rasa penasaran dan segudang pertanyaan itu ia tumpahkan pada neneknya. Sang nenekpun terkejut saat Komang menunjukkan klewang tersebut. “Barang tenget, de ampah (barang sakral jangan sembarangan membawanya)," ujar sang nenek mengambil klewang secara tiba-tiba dari tangan Komang.
Selanjutnya, klewang itu kembali dibawa ke prapen, bahkan oleh nenek dihaturkan canang, sesaji, untuk memohon maaf.
Begitulah I Ngurah Suryawan mengawali esai panjangnya berjudul "Lorong Gelap Ingatan (Etnografi Kekerasan dan Kesaksian Tameng)". Esai itu juga menjadi bagian isi bukunya yang terkenal "Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965".
Nenek Komang oleh masyarakat sekitar akrab dipanggil Odah Mangku karena memang ia adalah seorang pemangku, pemimpin upacara-upacara ritual keagamaaan Hindu untuk melanjutkan suaminya yang telah meninggal tahun 1980-an.
Suaminya, Ketut Darta adalah tokoh masyarakat terpandang di desa, menjadi veteran pejuang, dan menjadi pemimpin PNI (Partai Nasionalis Indonesia) saat tahun 1960-an di desa.
Orang-orang desa setempat sering menyebutkan Zaman Gestok (Gerakan 1 Oktober 1965) itu sebagai Gumi Wug, Gumi Genting (bumi hancur, bumi gawat).
Saat seruan gerakan mengikis habis komunis sampai ke akar-akarnya dicanangkan akhir November 1965, rumah Darta menjadi markas barisan tameng dan massa Front Pancasila untuk “Pengganyangan Komunis”.
Ini tidak lepas dari posisi Darta sebagai tokoh PNI. Setiap hari rumahnya ramai dengan pasukan tameng, milisi sipil dari massa PNI dan pemburu PKI. Mereka berseragam serba hitam, berbaret merah bersenjata klewang.
Sore hari mereka berkumpul di rumah Darta dan bersiap untuk menghabiskan jatah (daftar bagian orang yang harus dicari) di desa tetangga. Sebelum eksekusi dilakukan, massa akan melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI.
Selanjutnya, klewang itu kembali dibawa ke prapen, bahkan oleh nenek dihaturkan canang, sesaji, untuk memohon maaf.
Begitulah I Ngurah Suryawan mengawali esai panjangnya berjudul "Lorong Gelap Ingatan (Etnografi Kekerasan dan Kesaksian Tameng)". Esai itu juga menjadi bagian isi bukunya yang terkenal "Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965".
Nenek Komang oleh masyarakat sekitar akrab dipanggil Odah Mangku karena memang ia adalah seorang pemangku, pemimpin upacara-upacara ritual keagamaaan Hindu untuk melanjutkan suaminya yang telah meninggal tahun 1980-an.
Suaminya, Ketut Darta adalah tokoh masyarakat terpandang di desa, menjadi veteran pejuang, dan menjadi pemimpin PNI (Partai Nasionalis Indonesia) saat tahun 1960-an di desa.
Orang-orang desa setempat sering menyebutkan Zaman Gestok (Gerakan 1 Oktober 1965) itu sebagai Gumi Wug, Gumi Genting (bumi hancur, bumi gawat).
Saat seruan gerakan mengikis habis komunis sampai ke akar-akarnya dicanangkan akhir November 1965, rumah Darta menjadi markas barisan tameng dan massa Front Pancasila untuk “Pengganyangan Komunis”.
Ini tidak lepas dari posisi Darta sebagai tokoh PNI. Setiap hari rumahnya ramai dengan pasukan tameng, milisi sipil dari massa PNI dan pemburu PKI. Mereka berseragam serba hitam, berbaret merah bersenjata klewang.
Sore hari mereka berkumpul di rumah Darta dan bersiap untuk menghabiskan jatah (daftar bagian orang yang harus dicari) di desa tetangga. Sebelum eksekusi dilakukan, massa akan melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI.