Pesan Terakhir Kolonel Sugiyono Sebelum Dibunuh PKI: Bu Hari Ini Aku Tidak Jadi Makan di Rumah

Jum'at, 01 Oktober 2021 - 15:10 WIB
loading...
Pesan Terakhir Kolonel Sugiyono Sebelum Dibunuh PKI: Bu Hari Ini Aku Tidak Jadi Makan di Rumah
Putra Kolonel Inf Anumerta Sugiyono, Ganis Priyono di samping lukisan ayahnya, saat menghadiri pengunaan nama Sugiyono sebagai ruang aula atas Makorem 072 Pamungkas. Foto/MPI/Priyo Setyawan
A A A
SLEMAN - Peristiwa gerakan 30 September (Gestapu) atau G30SPKI tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di Jogja. Ditandai dengan penculikan dan pembunuhan terhadap dua perwira TNI Angkatan Darat (AD). Satu di antaranya adalah Kasrem 072/Pamungkas Letkol Inf Anumerta Sugiyono pada tanggal 1 Oktober 1965.

Mengenai peristiwa itu, putra ke enam Kolonel Inf Anumerta Sugiyono, Ganis Priyono menceritakan, penculikan dan pembunuhan itu berawal saat ayahnya setelah dilantik menjadi Kasrem 072/Pamungkas oleh Pangdam Diponegoro di Makodam Semarang ingin menghadap dan melapor ke Danrem 072/Pamungkas Brigjen Inf Anumerta Katamso di Jogja, 1 Oktober 1965. Sebab saat itu belum berkantor di Makorem 072 Pamungkas.



Maka berangkat Kolonel Sugiyono dari Semarang ke Jogja mengunakan mobil Gaz. Sampai di Magelang, diberhentikan oleh Kapten Suryotomo dan diminta untuk tidak meneruskan perjalanan ke Jogja. Sebab situasi Yogyakarta sedang kacau dan tidak aman. Namun hal itu tidak diindahkan dan tetap melanjutkan perjalanan keJogja

Pesan Terakhir Kolonel Sugiyono Sebelum Dibunuh PKI: Bu Hari Ini Aku Tidak Jadi Makan di Rumah

Monumen Pahlawan Pancasila Sakti di Kentungan, Condongcatur Depok, Sleman, DIY. Foto/MPI/Priyo Setyawan

"Meski sudah diicegah, tetapi ayahnya ngeyel. Sebab merasa harus menjalankan tugas melapor Danrem, jika sudah diangkat menjadi Kasrem. Sehingga harus menemui Danrem Di Jogja," kata Ganis.

Kolonel Sugiyonio tiba di Jogja sudah sore dan langsung ke kantor Makorem lama yang ada di Jalan Sudirman (sekarang Museum TNI AD Dharma Wiratama). Tetapi di Makorem Danrem tidak ada.



Selanjutnya Kolonel Sugiyono berinsiastif ke rumah dinas Danrem yang jaraknya hanya berapa puluh meter sebelah barat Makorem yang saat ini mejadi kantor bank.

Sampai di rumah dinas juga tidak bertemu dengan Danrem. Sebab mendapat informasi Brigjen Inf Katamso yang hanya memakai piyama dibawa paksa oleh beberapa tentara Batalyon L (sekarang Batalyon 404). Namun akan dibawa kemana tidak diketahui.

Karena tidak ketemu, Kolonel Sugiyono kembali ke Makorem. Di Makorem, ternyata yang bertugas telah ganti semua, yaitu yang sudah disusupi PKI. Oleh mereka, Kolonel Sugiyono diminta ke Batalyon L di Kentungan karena ditunggu oleh Danrem. Karena ingin menemui Danrem, tanpa curiga Kasrem langsung berangkat ke Kentungan. Sebelumnya menelpon istrinya untuk memberitahu tidak jadi makan bersama, karena mencari Danrem.

"Bu hari ini aku tidak jadi makan di rumah ditinggal saja, makan sama anak-anak, masih cari pak Katamso. Ibu bilang oh yo wis, mengko tak makan sama bocah-bocah, bapak goleki Pak Katamso wae," ujar Ganis menirukan dialog ayah dan ibunya.

Setelah itu, ayahnya langsung menuju Batalyon C di Kentungan dengan naik mobil Gaz. Sampai di lokasi setelah turun dari mobil, langsung dipukul pakai kunci mortil peluru kendali yang ukurannya besar. Ayahnya pun langsung tersungkur dan diseret ke lubang yang telah disiapkan di ujung Batalyon L.

"Namun, lubang di Kentungan beda dengan di Lubang Buaya Jakarta. Kalau di Jakarta bundar seperti sumur, di Kentungan bentuknya kotak segi panjang berukuran 3 kali 5 meter,” paparnya.

Kolonel Sugiyono kemudian dimasukan dalam lubang tersebut. Saat itu di dalam lubang sudah ada Brigjen Katamso yang sudah meninggal yang hanya memakai piyama. Sedangkan Kolonel Sugiyono berada di atasnya dengan pakaian dinas lengkap.

Ganis menceritakan, ayahnya saat dimasukkan ke lubang masih delum meninggal. Sehingga saat di dalam lubang dilempar dengan batu besar dan mengenai kepala hingga pecah serta meninggal. Setelah itu kedua jenazah ditumbun dengan tanah.

"Beberapa hari keluarga kami dan pak Katamso saling komunikasi, kok keduanya hilang tanpa berita," jelasnya.

Kemudian ada orang yang memberi informasi ke Korem Pamungkas, jika pada tanggal 1 Oktober 1965 terjadi pembantaian di halaman belakang Batalyon L. Anggota dan staf Korem menindaklanjuti laporan itu dengan menggelar rapat dan diputuskan akan membongkar lokasi tempat pembantaian tersebut.

Untuk mengamankan lokasi, maka semua anggota Batalyon L diberangkatkan ke Sumatera. Sehingga barak kosong dan sepi. Orang itu menunjukkan tempat pembantaian yang ditandai dengan tanaman pohon pisang berbuah. Setelah diselidiki ditemukan tempat itu dan saat dicabut pohon pisang itu tidak ada akarnya dan sudah layu.

Tempat tersebut lalu digali dan ditemukan ada jasad yang ayahnya. Hal itu karena masih memakai seragam dinas lengkap dan ada tulisan Sugiyono serta ada KTP dan SIM. Pengalian diteruskan dan ditemukan jasad lagi hanya pakai piyama dan tidak ada identitas. Setelah diangkat sudah rusak dan dibawa ke rumah sakit tentara di Kotabaru, Jogja untuk fornesik. Keduanya ditemukan 21 Oktober 1965.

"Hasil forensik yang dilakukan dokter Sutarto yang sekarang jadi nama RS DKT di Kotabaru, jasad yang pakai piyama pak Katamso dan yang pakai seragam pak Sugiyono. Setelah itu disemayamkan di Makorem, selanjutnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusumanegara," ungkapnya.

Sugiyono yang gugur dalam menjalanka tugas meninggalkan satu orang istri dan enam putra dan satu putri dan ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi berdasarkan Surat Kepres RI No 111KOTI/1975.

Menurut Ganis, hal tersebut yang membuat rancu. Sebab dikira makam Sugiyono dan Katamso di Kentungan. Padahal di tempat ini merupakan tempat peristiwa.

Namun ini bisa dimaklumi. Sebab, di tempat itu ada patung keduanya dan mobil Gaz yang dipajang. Jadi seolah-olah makam mereka. Padahal itu merupakan monumen Pahlawan Revolusi Pancasila Sakti.

"Untuk itu berharap agar keberadaan monumen itu terus dipublikasikan. Kalau di Kentungan juga ada Monumen dan Museum Pahlawan Revolusi Pancasila Sakti. Terutama sebagai wisata edukasi. Karena wisatawan jika ke Jogja sering melewatkan tempat bersejarah yang penting saat itu," harapnya.
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2483 seconds (0.1#10.140)