Keren, Pria Blitar Ini Mampu Ciptakan Sepeda Tenaga Matahari
loading...
A
A
A
BLITAR - Lilik Suprawanto (54) warga Kelurahan Sentul, Kecamatan Kepanjen Kidul, Kota Blitar , Jawa Timurberhasil merakit sepeda angin bertenaga surya. Saking girangnya begitu energi matahari berhasil ia ubah menjadi arus listrik searah, dan mampu menggerakkan roda sepeda, Lilik langsung menjajalnya keliling kota.
Baca juga: Memilukan, Anak Menangis Histeris Melihat Ibunya Terlindas Truk di Pantura Tuban
"Sebenarnya masih perlu penyempurnaan. Tapi kalah dengan senang, langsung saya coba," tutur Lilik kepada Sindonews.com. Sepeda angin yang dipakai eksperimen bertenaga surya adalah sepeda buatan China. Seingat Lilik, saat kakaknya membeli untuk anaknya, sepeda elektrik itu tergolong keluaran awal.
Baca juga: Dibekuk, Ini Penampakan 6 Preman Pengeroyok Anggota TNI AL di Terminal Bungurasih
Dalam perjalanannya, sepeda tersebut tidak lagi dipakai. Akinya soak. Penyimpan strum itu rusak. Begitu juga dengan piranti chargernya ikut menyusul aus. Karena harganya relatif mahal, akhirnya dibiarkan saja, dan mangkrak. "Sudah lama tidak dipakai karena rusak. Lalu oleh kakak diberikan ke saya," terangnya.
Saat itu Maret 2020. Awal pandemi COVID-19. Lilik yang sudah tiga tahun memakai listrik energi matahari untuk kebutuhan rumah tangga, berfikir tentang sepeda tenaga surya. Pikirannya sederhana. Bagaimana berhenti merogoh kocek untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) sepeda motor.
Tidak lagi terbebani membayar pajak dan parkir tahunan. Sebab pandemi membuat situasi ekonomi serba sulit. Terutama ekonomi kerakyatan. "Minimal tidak lagi mengeluarkan uang untuk membeli bensin," kata Lilik yang sehari hari melayani servis elektronik. Sepeda pemberian kakaknya langsung diotak-atik.
Lilik mulai mengumpulkan piranti yang dibutuhkan. Ia siapkan panel surya berkapasitas 50 watt peak. Dua motor dengan masing masing berkapasitas 36 volt, baterei lithium, serta controller baterey managemen system. Untuk semua perkakas yang dibutuhkan, besar biaya yang dirogoh, kata Lilik, cukup lumayan.
"Panel surya harganya Rp1,2 juta. Satu motor Rp1,3 juta. Diperlukan 12 biji baterei lithium, di mana satu bijinya Rp50 ribu, control baterei Rp100 ribu dan cash control Rp50 ribu," tutur Lilik. Begitu semua terkumpul, Lilik sudah tidak sabar. Semua bahan berbasis elektronik itu langsung dirakit. Semua ia kerjakan seorang diri.
Panel yang berfungsi sebagai tandon energi itu ditempatkan di atas sepeda. Aluminium segi empat itu, dalam posisi memayungi. Agar tegak lurus, Lilik menopang dengan besi yang disambungkan dengan las pada kerangka sepeda. Sementara motor berada di tengah as roda sepeda.
Sepintas menyerupai gardan. Sistem kerja motor, controller batery management system dan panel surya itu dihubungkan dengan saluran kabel. "Perakitan hingga proses trial dan error berlangsung sekitar sebulan," paparnya. Lilik mengaku tidak pernah mengenyam bangku universitas.
Sekolah formal tertingginya hanya SMA, yakni SMAN 01 Kota Blitar angkatan 1986. Selebihnya hanya ikut kursus. Kendati demikian, bagi bapak tiga anak ini, dunia elektronik bukan barang baru. Sedari kecil Lilik sudah bergaul akrab. Ia menyukainya. "Hobi dan sekaligus belajar otodidak," katanya.
Sejak SMP Lilik sudah berani mengotak atik radio. Terutama radio rusak milik keluarga, ia betulkan. Dia juga membongkar tape yang sudah tidak lagi bunyi. Membenahi kekurangan suara radio panggil (orari). Termasuk arloji juga ia pelajari. Bahkan sejak SMA, Lilik berani membuka jasa reparasi jam tangan.
Kerja sambilan itu mengakibatkan kedua matanya minus lebih dini. "Ilmu saya itu ilmu katon (terlihat) dan keling, cekel eling (memegang dan mengingat)," kata Lilik sembari tertawa. Selepas SMA Lilik sempat kursus markonis. Saat itu tahun 1990. Lilik menjadi pelaut.
Ia bekerja di kapal cargo yang ditempatkan di divisi markonis, yakni membaca sandi morse dan sejenisnya. Selama empat tahun ia keliling nusantara dan sejumlah negara di Asia. Hongkong, Taiwan dan Cina pernah ia singgahi. Saat itu Lilik digaji Rp20 ribu per jam atau sekitar 400 dollar per bulan.
Namun karena merasa kerja di atas air sulit berkembang dan bukan dunianya, Lilik memutuskan berhenti. "Hasil kerja buat beli tanah," terangnya. Lilik kembali ke Surabaya. Selama dua tahun ia belajar ilmu komputer di Institut Elektronika Indonesia. Mempelajari hardware dan software.
Setelah merasa cukup, ia pulang ke Blitar, membuka jasa servis elektronika. Servis apa saja. Televisi, kulkas, mesin cuci, komputer ia tangani. Termasuk piranti dokter gigi se-Blitar. Namun hobinya mengotak atik tekhnologi mutakhir yang belum diketahui, tidak pernah berhenti.
Salah satunya secara iseng membuat listrik tenaga surya di rumahnya. Lilik mengatakan, sejak menggunakan listrik tenaga surya, pemadaman PLN yang sering terjadi bukan persoalan lagi. "Di tempat saya tidak pernah ada listrik padam," paparnya. Begitu juga dengan sepeda tenaga surya.
Setelah sebulan melalui masa trial dan error, Lilik mulai membawa karyanya turun ke jalan. Awalnya hanya mengelilingi wilayah Kota Blitar. Namun belum lama ini sepeda tenaga surya tersebut sudah masuk wilayah Kabupaten Blitar. Dengan kecepatan maksimal 20-30 Km per jam, sepeda tenaga surya itu sudah membawa Lilik ke wilayah Kanigoro.
Paling jauh ke wilayah Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung. Karena modelnya yang tidak lazim, setiap turun ke jalan, kata Lilik hingga kini menarik perhatian. "Olok oloknya macam macam. Mulai diguyoni disuruh masang plakat sumbangan, sampai untuk jualan sayuran. Tapi untungnya wajah saya tertutup masker," kata Lilik.
Pengendara sepeda tenaga surya tidak perlu merasa khawatir kehabisan energi listrik. Setiap sepeda berjalan atau parkir, listrik yang berasal dari energi surya, otomatis mengisi sendiri. Untuk satu pengisian penuh, sepeda mampu menjangkau jarak hingga 60 Km.
Menurut Lilik, karyanya masih jauh dari sempurna. Khususnya terkait panel surya yang kurang praktis. Kemudian piranti kelistrikan yang diakuinya juga belum rapi. Saat ini ia masih memikirkan bagaimana panel surya yang ada di sepeda, bisa bergerak otomatis.
Seperti bunga matahari yang mengikuti intensitas cahaya. Kalau solusinya sudah ketemu, Lilik bercita cita ingin mengendarai sepeda tenaga suryanya ke Nganjuk dan Madiun. "Saya ingin ke Madiun. Atau yang lebih dekat Nganjuk," pungkas Lilik.
Baca juga: Memilukan, Anak Menangis Histeris Melihat Ibunya Terlindas Truk di Pantura Tuban
"Sebenarnya masih perlu penyempurnaan. Tapi kalah dengan senang, langsung saya coba," tutur Lilik kepada Sindonews.com. Sepeda angin yang dipakai eksperimen bertenaga surya adalah sepeda buatan China. Seingat Lilik, saat kakaknya membeli untuk anaknya, sepeda elektrik itu tergolong keluaran awal.
Baca juga: Dibekuk, Ini Penampakan 6 Preman Pengeroyok Anggota TNI AL di Terminal Bungurasih
Dalam perjalanannya, sepeda tersebut tidak lagi dipakai. Akinya soak. Penyimpan strum itu rusak. Begitu juga dengan piranti chargernya ikut menyusul aus. Karena harganya relatif mahal, akhirnya dibiarkan saja, dan mangkrak. "Sudah lama tidak dipakai karena rusak. Lalu oleh kakak diberikan ke saya," terangnya.
Saat itu Maret 2020. Awal pandemi COVID-19. Lilik yang sudah tiga tahun memakai listrik energi matahari untuk kebutuhan rumah tangga, berfikir tentang sepeda tenaga surya. Pikirannya sederhana. Bagaimana berhenti merogoh kocek untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) sepeda motor.
Tidak lagi terbebani membayar pajak dan parkir tahunan. Sebab pandemi membuat situasi ekonomi serba sulit. Terutama ekonomi kerakyatan. "Minimal tidak lagi mengeluarkan uang untuk membeli bensin," kata Lilik yang sehari hari melayani servis elektronik. Sepeda pemberian kakaknya langsung diotak-atik.
Lilik mulai mengumpulkan piranti yang dibutuhkan. Ia siapkan panel surya berkapasitas 50 watt peak. Dua motor dengan masing masing berkapasitas 36 volt, baterei lithium, serta controller baterey managemen system. Untuk semua perkakas yang dibutuhkan, besar biaya yang dirogoh, kata Lilik, cukup lumayan.
"Panel surya harganya Rp1,2 juta. Satu motor Rp1,3 juta. Diperlukan 12 biji baterei lithium, di mana satu bijinya Rp50 ribu, control baterei Rp100 ribu dan cash control Rp50 ribu," tutur Lilik. Begitu semua terkumpul, Lilik sudah tidak sabar. Semua bahan berbasis elektronik itu langsung dirakit. Semua ia kerjakan seorang diri.
Panel yang berfungsi sebagai tandon energi itu ditempatkan di atas sepeda. Aluminium segi empat itu, dalam posisi memayungi. Agar tegak lurus, Lilik menopang dengan besi yang disambungkan dengan las pada kerangka sepeda. Sementara motor berada di tengah as roda sepeda.
Sepintas menyerupai gardan. Sistem kerja motor, controller batery management system dan panel surya itu dihubungkan dengan saluran kabel. "Perakitan hingga proses trial dan error berlangsung sekitar sebulan," paparnya. Lilik mengaku tidak pernah mengenyam bangku universitas.
Sekolah formal tertingginya hanya SMA, yakni SMAN 01 Kota Blitar angkatan 1986. Selebihnya hanya ikut kursus. Kendati demikian, bagi bapak tiga anak ini, dunia elektronik bukan barang baru. Sedari kecil Lilik sudah bergaul akrab. Ia menyukainya. "Hobi dan sekaligus belajar otodidak," katanya.
Sejak SMP Lilik sudah berani mengotak atik radio. Terutama radio rusak milik keluarga, ia betulkan. Dia juga membongkar tape yang sudah tidak lagi bunyi. Membenahi kekurangan suara radio panggil (orari). Termasuk arloji juga ia pelajari. Bahkan sejak SMA, Lilik berani membuka jasa reparasi jam tangan.
Kerja sambilan itu mengakibatkan kedua matanya minus lebih dini. "Ilmu saya itu ilmu katon (terlihat) dan keling, cekel eling (memegang dan mengingat)," kata Lilik sembari tertawa. Selepas SMA Lilik sempat kursus markonis. Saat itu tahun 1990. Lilik menjadi pelaut.
Ia bekerja di kapal cargo yang ditempatkan di divisi markonis, yakni membaca sandi morse dan sejenisnya. Selama empat tahun ia keliling nusantara dan sejumlah negara di Asia. Hongkong, Taiwan dan Cina pernah ia singgahi. Saat itu Lilik digaji Rp20 ribu per jam atau sekitar 400 dollar per bulan.
Namun karena merasa kerja di atas air sulit berkembang dan bukan dunianya, Lilik memutuskan berhenti. "Hasil kerja buat beli tanah," terangnya. Lilik kembali ke Surabaya. Selama dua tahun ia belajar ilmu komputer di Institut Elektronika Indonesia. Mempelajari hardware dan software.
Setelah merasa cukup, ia pulang ke Blitar, membuka jasa servis elektronika. Servis apa saja. Televisi, kulkas, mesin cuci, komputer ia tangani. Termasuk piranti dokter gigi se-Blitar. Namun hobinya mengotak atik tekhnologi mutakhir yang belum diketahui, tidak pernah berhenti.
Salah satunya secara iseng membuat listrik tenaga surya di rumahnya. Lilik mengatakan, sejak menggunakan listrik tenaga surya, pemadaman PLN yang sering terjadi bukan persoalan lagi. "Di tempat saya tidak pernah ada listrik padam," paparnya. Begitu juga dengan sepeda tenaga surya.
Setelah sebulan melalui masa trial dan error, Lilik mulai membawa karyanya turun ke jalan. Awalnya hanya mengelilingi wilayah Kota Blitar. Namun belum lama ini sepeda tenaga surya tersebut sudah masuk wilayah Kabupaten Blitar. Dengan kecepatan maksimal 20-30 Km per jam, sepeda tenaga surya itu sudah membawa Lilik ke wilayah Kanigoro.
Paling jauh ke wilayah Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung. Karena modelnya yang tidak lazim, setiap turun ke jalan, kata Lilik hingga kini menarik perhatian. "Olok oloknya macam macam. Mulai diguyoni disuruh masang plakat sumbangan, sampai untuk jualan sayuran. Tapi untungnya wajah saya tertutup masker," kata Lilik.
Pengendara sepeda tenaga surya tidak perlu merasa khawatir kehabisan energi listrik. Setiap sepeda berjalan atau parkir, listrik yang berasal dari energi surya, otomatis mengisi sendiri. Untuk satu pengisian penuh, sepeda mampu menjangkau jarak hingga 60 Km.
Menurut Lilik, karyanya masih jauh dari sempurna. Khususnya terkait panel surya yang kurang praktis. Kemudian piranti kelistrikan yang diakuinya juga belum rapi. Saat ini ia masih memikirkan bagaimana panel surya yang ada di sepeda, bisa bergerak otomatis.
Seperti bunga matahari yang mengikuti intensitas cahaya. Kalau solusinya sudah ketemu, Lilik bercita cita ingin mengendarai sepeda tenaga suryanya ke Nganjuk dan Madiun. "Saya ingin ke Madiun. Atau yang lebih dekat Nganjuk," pungkas Lilik.
(shf)