Belajar dari Covid-19, UPF: Etika Pengelolaan Lingkungan Perlu Dihidupkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi Covid-19 yang telah menimbulkan kepanikan massal, memaksa menusia untuk merenung kembali peran dan hubungannya dengan alam ciptaan. Muncul kesadaran kolektif akan pentingnya menegakkan etika pengelolaan lingkungan. Untuk itu dibutuhkan perubahan paradigma, dari anthropocentrism yang terbelenggu pada kepentingan manusia semata dan beralih kepada paradigma baru yang lebih seimbang dengan melihat nilai yang intrinsik yang dimiliki alam.
Kesadaran itu muncul dalam seminar online yang diselenggarakan Universal Peace Federation (UPF), Sabtu (18/04/2020). Dalam sambutannya, Prof. Dr. Payaman J. Simanjuntak, selaku yang mewakili UPF mengatakan, pihaknya mengapresiasi seminar yang digelar dalam suasana pandemi Covid-19.
"Dengan pembatasan kegiatan di seluruh dunia secara serempak, bumi kita ini dan alam lingkungan kita boleh beristirahat sebentar. Patut kita sadar, supaya nanti kita sangat hati-hati untuk mengelolanya, kita harus sama-sama menjaga kelestatiannya," beber Simanjuntak.
Seminar itu sendiri menghadirkan pembicara tunggal Dr. Barnabas Berty Ohoiwutun, MSC, dengan judul makalah Posisi dan Peran Manusia dalam Alam Menurut Deep Ecology Arne Naess. Dalam seminat yang dipandu moderator Dr. (Cand.) Petrus Lakonawa ini, Dr. Barnabas menjabarkan tiga ciri kahas Deep ecology Naess.
Pertama, nilai intrinsik, di mana setiap unsur dalam alam bernilai pada dirinya dan bukan karena bermanfaat bagi manusia (nilai instrumental). Kedua, kesetaraan ekosferik, di mana setiap elemen dalam alam memiliki hak yang setara untuk hidup dan berkembang. Ketida, realisasi diri, yakni setiap unsur memiliki tujuan untuk mewujudkan dirinya. "Jadi tidak saja manusia, hewan, tumbuhan bahkan batu, sungai pun memiliki tujuan yang hendak direalisasikan," bebernya.
Manusia, lanjutnya, memiliki posisi dan peran sebagai penanggungjawab atas alam. Hal ini dikarenakan manusia di dalam dirinya sendiri selain memiliki nilai-nilai luhur yang dianugerahkan oleh Tuhan pencipta semesta alam, juga merupakan alam atau bagian dari alam itu sendiri.
"Itu berarti merusak alam sama dengan merusak nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh Tuhan dalam hidupnya. Ia merusak alam dan pada saat yang sama, ia juga merusak dirinya sendiri" beber Dr. Barnabas yang juga pengajar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng.
Menanggapi itu, Dr. Yustinus Suhardi Ruman sebagai seorang peserta seminar mengemukakan, persoalan yang dihadapi sekarang ini justru manusia tidak lagi menempatkan dirinya sebagai penanggunjgawab atas alam. Terminologi tanggungjawab bersifat positif dan aktif dalam pengertian manusia harus bisa memastikan secara aktif bahwa alam baik biotik mapun abiotik tetap terjadi kelestariannya.
"Dewasa ini terminologi tanggungjawab berubah menjadi penguasaan atas alam yang berdampak pada eksploitasi. Kelompok yang paling berperan terhadap penguasaan ini justru berasal dari negara dan bersekongkol dengan kelompok bisnis," beber Yustinus.
Dalam konteks itu, lanjutnya, moral kolektif yang bersumber dari kesadaran tentang deep ecology Naess tersebut perlu dihidupkan untuk menggerakan partisipasi masyarakat sebagai kelompok terdekat untuk melindungi alam kehidupan ini.
Kesadaran itu muncul dalam seminar online yang diselenggarakan Universal Peace Federation (UPF), Sabtu (18/04/2020). Dalam sambutannya, Prof. Dr. Payaman J. Simanjuntak, selaku yang mewakili UPF mengatakan, pihaknya mengapresiasi seminar yang digelar dalam suasana pandemi Covid-19.
"Dengan pembatasan kegiatan di seluruh dunia secara serempak, bumi kita ini dan alam lingkungan kita boleh beristirahat sebentar. Patut kita sadar, supaya nanti kita sangat hati-hati untuk mengelolanya, kita harus sama-sama menjaga kelestatiannya," beber Simanjuntak.
Seminar itu sendiri menghadirkan pembicara tunggal Dr. Barnabas Berty Ohoiwutun, MSC, dengan judul makalah Posisi dan Peran Manusia dalam Alam Menurut Deep Ecology Arne Naess. Dalam seminat yang dipandu moderator Dr. (Cand.) Petrus Lakonawa ini, Dr. Barnabas menjabarkan tiga ciri kahas Deep ecology Naess.
Pertama, nilai intrinsik, di mana setiap unsur dalam alam bernilai pada dirinya dan bukan karena bermanfaat bagi manusia (nilai instrumental). Kedua, kesetaraan ekosferik, di mana setiap elemen dalam alam memiliki hak yang setara untuk hidup dan berkembang. Ketida, realisasi diri, yakni setiap unsur memiliki tujuan untuk mewujudkan dirinya. "Jadi tidak saja manusia, hewan, tumbuhan bahkan batu, sungai pun memiliki tujuan yang hendak direalisasikan," bebernya.
Manusia, lanjutnya, memiliki posisi dan peran sebagai penanggungjawab atas alam. Hal ini dikarenakan manusia di dalam dirinya sendiri selain memiliki nilai-nilai luhur yang dianugerahkan oleh Tuhan pencipta semesta alam, juga merupakan alam atau bagian dari alam itu sendiri.
"Itu berarti merusak alam sama dengan merusak nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh Tuhan dalam hidupnya. Ia merusak alam dan pada saat yang sama, ia juga merusak dirinya sendiri" beber Dr. Barnabas yang juga pengajar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng.
Menanggapi itu, Dr. Yustinus Suhardi Ruman sebagai seorang peserta seminar mengemukakan, persoalan yang dihadapi sekarang ini justru manusia tidak lagi menempatkan dirinya sebagai penanggunjgawab atas alam. Terminologi tanggungjawab bersifat positif dan aktif dalam pengertian manusia harus bisa memastikan secara aktif bahwa alam baik biotik mapun abiotik tetap terjadi kelestariannya.
"Dewasa ini terminologi tanggungjawab berubah menjadi penguasaan atas alam yang berdampak pada eksploitasi. Kelompok yang paling berperan terhadap penguasaan ini justru berasal dari negara dan bersekongkol dengan kelompok bisnis," beber Yustinus.
Dalam konteks itu, lanjutnya, moral kolektif yang bersumber dari kesadaran tentang deep ecology Naess tersebut perlu dihidupkan untuk menggerakan partisipasi masyarakat sebagai kelompok terdekat untuk melindungi alam kehidupan ini.