Milenial Jadi Sasaran Propaganda Virtual Terorisme, Crtitical Thinking Solusinya
loading...
A
A
A
SURABAYA - Aksi terorisme di Indonesia kini menyasar kelompok milenial. Usianya lebih mudah dan ruang digital sebagai pasar potensial untuk perekrutan dan penyebaran. Beberapa waktu lalu publik sempat dihebohkan dengan peristiwa bom bunuh diri di Gerbang Gereja Katedral Makassar dan penyerangan di Mabes Polri. Mereka juga sama-sama meninggalkan surat wasiat. Kesamaan isi dari surat wasiat yang ditinggalkan memicu kecurigaan publik bahwa para pelaku saling memiliki keterkaitan satu sama lain.
Setelah dilakukan investigasi ditemukan fakta bahwa pelaku bom bunuh diri di Gerbang Gereja Katedral Makassar dan penyerangan Mabes Polri merupakan usia produktif. L pelaku bom bunuh diri merupakan laki-laki berusia 26 tahun sedangkan ZA yang merupakan pelaku penyerangan Mabes Polri perempuan berusia 25 tahun. Masih termasuk dalam rentang usia produktif, menimbulkan hipotesis di kalangan masyarakat bahwa usia produktif lebih mudah terpapar oleh ideologi kekerasan dan radikalisme.
Psikolog yang juga Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Ilham Nur Alfian menuturkan, doktrin ideologi kekerasan dan radikalisme tidak ada konotasinya dengan masyarakat usia produktif. "Saat ini konteksnya adalah model doktrinasi ideologi kekerasan dan radikalisme tersebut dilakukan dengan media-media sosial," kata Ilham, Kamis (8/4/2021).
Ia melanjutkan, terorisme modern menyasar pada propaganda virtual dengan bantuan media untuk melipat gandakan teror dan pelaku teror di suatu negara, termasuk Indonesia. "Serangan teroris modern mengalami penurunan dalam hal kualitas namun meningkat dalam hal popularitas," ucapnya.
Koordinator Bidang Kuliah Bersama Pusat Pendidikan Kebangsaan, Karakter dan Inter Profesional Education (PPK2IPE) ini menambahkan, aktivitas masyarakat usia produktif yang gemar berselancar di media sosial menjadi alasan bahwa mereka mudah terpapar oleh ideologi kekerasan dan terorisme.
"Dalam konteks penggunaan propaganda virtual inilah kelompok milenial atau yang saat ini masuk usia produktif pasti sangat berisiko dan renran menerima doktrin tersebut (Kekerasan dan terorisme, red) karena aktivitas mereka memang berselancar di media sosial," ungkapnya.
Masyarakat yang terpapar oleh propaganda virtual cenderung melancarkan pola serangan terorisme yang bersifat "Lone Wolf". Mereka cenderung melakukan aksinya dengan skala kecil dan acak. "Disinilah bahayanya, serangan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja," kata Ilham.
Karakteristik seorang teroris secara psikologis juga sulit untuk diidentifikasi. "Agak sulit memang mengidentifikasi karakteristik psikologis apa yang secara khusus bisa mengidentifikasi kecenderungan orang-orang yang akan melakukan tindakan terorisme," sambungnya.
Ilham membeberkan, untuk mencegah agar masyarakat tidak mudah terpapar ideologi kekerasan dan terorisme maka harus berhati-hati dalam menerima segala informasi. "Yang jelas critical thinking dalam situasi banjir informasi di media sosial menjadi penting," katanya.
Setelah dilakukan investigasi ditemukan fakta bahwa pelaku bom bunuh diri di Gerbang Gereja Katedral Makassar dan penyerangan Mabes Polri merupakan usia produktif. L pelaku bom bunuh diri merupakan laki-laki berusia 26 tahun sedangkan ZA yang merupakan pelaku penyerangan Mabes Polri perempuan berusia 25 tahun. Masih termasuk dalam rentang usia produktif, menimbulkan hipotesis di kalangan masyarakat bahwa usia produktif lebih mudah terpapar oleh ideologi kekerasan dan radikalisme.
Psikolog yang juga Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Ilham Nur Alfian menuturkan, doktrin ideologi kekerasan dan radikalisme tidak ada konotasinya dengan masyarakat usia produktif. "Saat ini konteksnya adalah model doktrinasi ideologi kekerasan dan radikalisme tersebut dilakukan dengan media-media sosial," kata Ilham, Kamis (8/4/2021).
Ia melanjutkan, terorisme modern menyasar pada propaganda virtual dengan bantuan media untuk melipat gandakan teror dan pelaku teror di suatu negara, termasuk Indonesia. "Serangan teroris modern mengalami penurunan dalam hal kualitas namun meningkat dalam hal popularitas," ucapnya.
Koordinator Bidang Kuliah Bersama Pusat Pendidikan Kebangsaan, Karakter dan Inter Profesional Education (PPK2IPE) ini menambahkan, aktivitas masyarakat usia produktif yang gemar berselancar di media sosial menjadi alasan bahwa mereka mudah terpapar oleh ideologi kekerasan dan terorisme.
"Dalam konteks penggunaan propaganda virtual inilah kelompok milenial atau yang saat ini masuk usia produktif pasti sangat berisiko dan renran menerima doktrin tersebut (Kekerasan dan terorisme, red) karena aktivitas mereka memang berselancar di media sosial," ungkapnya.
Masyarakat yang terpapar oleh propaganda virtual cenderung melancarkan pola serangan terorisme yang bersifat "Lone Wolf". Mereka cenderung melakukan aksinya dengan skala kecil dan acak. "Disinilah bahayanya, serangan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja," kata Ilham.
Karakteristik seorang teroris secara psikologis juga sulit untuk diidentifikasi. "Agak sulit memang mengidentifikasi karakteristik psikologis apa yang secara khusus bisa mengidentifikasi kecenderungan orang-orang yang akan melakukan tindakan terorisme," sambungnya.
Ilham membeberkan, untuk mencegah agar masyarakat tidak mudah terpapar ideologi kekerasan dan terorisme maka harus berhati-hati dalam menerima segala informasi. "Yang jelas critical thinking dalam situasi banjir informasi di media sosial menjadi penting," katanya.
(eyt)