Geger Maling Aguno, Robin Hood yang Meresahkan Orang-orang Kaya Blitar
loading...
A
A
A
BLITAR - Dengan kesaktian yang dimiliki, Maling Aguno menyatroni kediaman orang orang kaya. Ia bisa menyelinap melalui lubang angin (ventilasi) atau lubang kunci yang tersorot cahaya. Dalam satu kedipan mata, raga Aguno tiba tiba berpindah ke dalam rumah. Semuanya berlangsung senyap, tanpa suara.
Baca juga: Munculnya Macan Putih di Makam Raja Singasari Candi Mleri Blitar Menggemparkan
Tatok (52) warga Desa Kalipucung, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar, menuturkan kisah itu dengan sesekali mengumbar senyum. Ia terkenang masa kecilnya. Teringat masih duduk di bangku madrasah ibtidaiyah (setingkat SD), saat kisah tersebut pertama kali ia dengar.
Di dalam rumah yang disatroni, kata Tatok, Maling Aguno beroperasi dengan leluasa. Uang, perhiasan, permata, dan semua barang berharga milik orang kaya, digasak. Saat aksi berlangsung, si empunya rumah terlelap dalam tidurnya. Sementara tawa senda gurau para penjaga juga tetap hingar di beranda.
Baca juga: Jejak Dewi Kilisuci, Putri Sulung Prabu Airlangga di Puncak Gunung Pegat Blitar
Sampai Maling Aguno angkat kaki, mereka belum menyadari tempat tinggal majikannya baru saja disatroni pencuri. "Saya mendengar kisah Maling Aguno sedari kecil," tutur Tatok yang kini sudah dikaruniai dua buah hati kepada SINDOnews, Minggu (21/3/2021).
Tatok berterus terang terkesima. Tidak hanya kesaktian bisa masuk lubang ventilasi yang tersorot cahaya. Ilmu sekali pukul dan musuh seketika rebah binasa, juga menarik minatnya. Termasuk kedidagyaan Maling Aguno yang kebal terhadap segala jenis senjata, Tatok mengaku diam diam sempat berusaha mempelajarinya.
"Asal ada sorot cahaya. Maling Aguno katanya bisa memasuki lubang sekecil apapun," tambahnya. Kisah Maling Aguno didengar cukup akrab di lingkungan masyarakat Kabupaten Blitar. Cerita itu menyebar dari mulut ke mulut. Selalu mendapat tempat di setiap generasi.
Terutama warga yang bertempat tinggal di wilayah barat, yang berbatasan dengan Kabupaten Kediri dan Kabupaten Tulungagung. Menurut Tatok, tidak hanya berkembang melalui cerita tutur (folklore). Kisah tersebut juga kerap diangkat sebagai lakon kesenian ludruk.
Di era tahun 1980-an hingga 1990-an, kata Tatok masih banyak ludruk di Blitar yang mementaskan lakon Maling Aguno. "Selain Maling Aguno, juga ada lakon Maling Caluring dan Sogol," kenang Tatok.
Tatok tumbuh di lingkungan masyarakat nahdliyin. Ia gemar menelisik sejarah lokal. Pada tahun 1997 jelang reformasi, Tatok bahkan pernah berhari hari menyusuri makam makam tua. Selama 72 hari ia berjalan kaki mulai Blitar, Banten, hingga Madura.
Tatok percaya, kisah Maling Aguno bukan sepenuhnya legenda. Ia meyakini ada. Sebab keberadaan makam Maling Aguno, betul betul ada. "Saya kira Maling Aguno betul betul ada. Karena ada makamnya," terang Tatok menceritakan di mana makam itu berada.
Makam itu terletak di kawasan tebing Gunung Pegat, wilayah Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Tepatnya di Desa Prambutan yang secara administratif masuk wilayah Kecamatan Ponggok. Lokasinya dibawah Situs Pertapaan.
Yakni puncak Gunung Pegat setinggi 200 meter di atas permukaan laut (Mdpl) yang konon Dewi Kilisuci, putri sulung Prabu Airlangga, Raja Kahuripan, pernah bertapa. Lokasi makam juga tidak terpaut jauh dari situs Candi Mleri di Desa Bagelenan, tempat persemayaman abu jenazah Ranggawuni atau Wisnuwardhana, Raja Singasari ketiga.
"Apakah masih ada kaitan dengan pertapaan Dewi Kilisuci dan Candi Mleri?, sampai hari ini jawabanya masih misteri," tambahnya.
Secara topografi, lokasi makam tersebut tersembunyi di kawasan hutan. Akses menuju lokasi berupa jalan setapak yang sarat tanjakan. Tanahnya merah bercampur bebatuan. Tidak hanya terjal. Tanah tersebut juga berkarakter licin saat tersiram air hujan.
Karenanya hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. SINDOnews mendatangi lokasi. Sekitar 20 meter sebelum makam, berdiri bongkahan batu kuno yang diduga bagian dari konstruksi bangunan candi. Di atasnya terlihat sisa abu pembakaran dupa. Makam Maling Aguno membujur dengan arah mata angin Utara -Selatan.
Pada bagian kedua ujungnya, masing masing tertancap nisan. Namun tidak ada tulisan nama. Juga bersih dari angka tahun. Yang unik pada bagian pusaranya. Bukan gundukan tanah. Melainkan tumpukan potongan batu candi. Entah siapa yang meletakannya.
"Saya pertama kali ziarah makam Maling Aguno sejak masih madrasah tsanawiyah (setingkat SMP). Dari dulu pusaranya ya seperti itu," terang Tatok menjelaskan.
Bagi sebagian besar masyarakat Blitar, Maling Aguno dianggap sebagai pencuri budiman. Semacam Robin Hood di Inggris, yang menyatroni para bangsawan untuk dibagi bagikan kepada rakyat jelata. Semacam Brandal Loka Jaya di Tuban. Maling Cluring di Jombang.
Maling Kentiri di Kediri (Ada yang menyebut Blora). Diego Carrientes di Spanyol. Atau Janosik di Slovakia. Begitu juga dengan Maling Aguno. Kata Tatok, hasil dari aksi kejahatannya untuk disedahkan kepada orang orang miskin.
Ia hanya menyasar orang orang kaya tamak. Mereka yang menumpuk numpuk harta tanpa mempedulikan nasib rakyat jelata. Karenanya, meskipun secara hukum melanggar, rakyat kecil tetap mencintainya. Tidak jarang rakyat memilih bersikap melindungi saat Maling Aguno dikejar kejar.
"Aguno sendiri memiliki arti yang berguna," kata Tatok memberi tafsir otak atik gathuk. Bagi orang orang kaya (Saat ini berada di wilayah Blitar), sepak terjang Maling Aguno tidak hanya meresahkan. Tapi juga menakutkan. Maling Aguno konon juga bisa masuk ke dalam batang pohon pisang.
Saat dikejar kejar ia bisa bergerak cepat yang seolah menghilang. Namun dalam kondisi terjepit, Maling Aguno tidak jarang melawan para pengejarnya. Pasalnya, ia memiliki pukulan mematikan sekaligus tubuh yang tidak bisa dilukai senjata tajam.
Tatok belum bisa memastikan, Maling Aguno hidup di masa apa. Ada versi yang menyebut, masa Kerajaan Singasari. Karenanya yang ia satroni para penggede kerajaan, bangsawan dan para orang kaya di masa itu. Versi lain mengatakan, di masa Kerajaan Mataram Islam awal.
Bahkan ada yang menyebut, sebelum menyerang Kerajaan Mataram yang dirajai Amangkurat I (1677), Trunojoyo konon lebih dulu berdoa di makam Maling Aguno. Serangan Raden Trunojoyo atau Panembahan Maduretno dari Madura mengakibatkan Amangkurat I keluar Istana.
Bahkan putra Sultan Agung tersebut tewas dalam pelarian. "Ada yang mengatakan, saat pasukannya bermarkas di Kediri, Trunojoyo sempat berdoa di makam Maling Aguno," kata Tatok. Lalu seperti apa sosok Maling Aguno? Tatok tidak bisa memastikan.
Sumber sumber tertulis yang ia kumpulkan terbatas jumlahnya, dan tidak ada menyebut jelas seperti apa sosok laki laki pencuri budiman tersebut. Namun dari penerawangan mata batin yang pernah dilakukan bersama teman temannya di makam Maling Aguno, kata Tatok, mereka melihat sosok laki laki berperawakan tinggi besar.
Meski demikian tindak tanduknya santun. Bagi Tatok, di setiap zaman di mana penindasan dan ketidakadilan merajalela, kehadiran tokoh semacam Maling Aguno dibutuhkan. "Dari penerawangan mata batin baju yang dikenakan Maling Aguno katanya seperti penampilan laki laki dari tanah Melayu," kata Tatok.
Baca juga: Munculnya Macan Putih di Makam Raja Singasari Candi Mleri Blitar Menggemparkan
Tatok (52) warga Desa Kalipucung, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar, menuturkan kisah itu dengan sesekali mengumbar senyum. Ia terkenang masa kecilnya. Teringat masih duduk di bangku madrasah ibtidaiyah (setingkat SD), saat kisah tersebut pertama kali ia dengar.
Di dalam rumah yang disatroni, kata Tatok, Maling Aguno beroperasi dengan leluasa. Uang, perhiasan, permata, dan semua barang berharga milik orang kaya, digasak. Saat aksi berlangsung, si empunya rumah terlelap dalam tidurnya. Sementara tawa senda gurau para penjaga juga tetap hingar di beranda.
Baca juga: Jejak Dewi Kilisuci, Putri Sulung Prabu Airlangga di Puncak Gunung Pegat Blitar
Sampai Maling Aguno angkat kaki, mereka belum menyadari tempat tinggal majikannya baru saja disatroni pencuri. "Saya mendengar kisah Maling Aguno sedari kecil," tutur Tatok yang kini sudah dikaruniai dua buah hati kepada SINDOnews, Minggu (21/3/2021).
Tatok berterus terang terkesima. Tidak hanya kesaktian bisa masuk lubang ventilasi yang tersorot cahaya. Ilmu sekali pukul dan musuh seketika rebah binasa, juga menarik minatnya. Termasuk kedidagyaan Maling Aguno yang kebal terhadap segala jenis senjata, Tatok mengaku diam diam sempat berusaha mempelajarinya.
"Asal ada sorot cahaya. Maling Aguno katanya bisa memasuki lubang sekecil apapun," tambahnya. Kisah Maling Aguno didengar cukup akrab di lingkungan masyarakat Kabupaten Blitar. Cerita itu menyebar dari mulut ke mulut. Selalu mendapat tempat di setiap generasi.
Terutama warga yang bertempat tinggal di wilayah barat, yang berbatasan dengan Kabupaten Kediri dan Kabupaten Tulungagung. Menurut Tatok, tidak hanya berkembang melalui cerita tutur (folklore). Kisah tersebut juga kerap diangkat sebagai lakon kesenian ludruk.
Di era tahun 1980-an hingga 1990-an, kata Tatok masih banyak ludruk di Blitar yang mementaskan lakon Maling Aguno. "Selain Maling Aguno, juga ada lakon Maling Caluring dan Sogol," kenang Tatok.
Tatok tumbuh di lingkungan masyarakat nahdliyin. Ia gemar menelisik sejarah lokal. Pada tahun 1997 jelang reformasi, Tatok bahkan pernah berhari hari menyusuri makam makam tua. Selama 72 hari ia berjalan kaki mulai Blitar, Banten, hingga Madura.
Tatok percaya, kisah Maling Aguno bukan sepenuhnya legenda. Ia meyakini ada. Sebab keberadaan makam Maling Aguno, betul betul ada. "Saya kira Maling Aguno betul betul ada. Karena ada makamnya," terang Tatok menceritakan di mana makam itu berada.
Makam itu terletak di kawasan tebing Gunung Pegat, wilayah Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Tepatnya di Desa Prambutan yang secara administratif masuk wilayah Kecamatan Ponggok. Lokasinya dibawah Situs Pertapaan.
Yakni puncak Gunung Pegat setinggi 200 meter di atas permukaan laut (Mdpl) yang konon Dewi Kilisuci, putri sulung Prabu Airlangga, Raja Kahuripan, pernah bertapa. Lokasi makam juga tidak terpaut jauh dari situs Candi Mleri di Desa Bagelenan, tempat persemayaman abu jenazah Ranggawuni atau Wisnuwardhana, Raja Singasari ketiga.
"Apakah masih ada kaitan dengan pertapaan Dewi Kilisuci dan Candi Mleri?, sampai hari ini jawabanya masih misteri," tambahnya.
Secara topografi, lokasi makam tersebut tersembunyi di kawasan hutan. Akses menuju lokasi berupa jalan setapak yang sarat tanjakan. Tanahnya merah bercampur bebatuan. Tidak hanya terjal. Tanah tersebut juga berkarakter licin saat tersiram air hujan.
Karenanya hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. SINDOnews mendatangi lokasi. Sekitar 20 meter sebelum makam, berdiri bongkahan batu kuno yang diduga bagian dari konstruksi bangunan candi. Di atasnya terlihat sisa abu pembakaran dupa. Makam Maling Aguno membujur dengan arah mata angin Utara -Selatan.
Pada bagian kedua ujungnya, masing masing tertancap nisan. Namun tidak ada tulisan nama. Juga bersih dari angka tahun. Yang unik pada bagian pusaranya. Bukan gundukan tanah. Melainkan tumpukan potongan batu candi. Entah siapa yang meletakannya.
"Saya pertama kali ziarah makam Maling Aguno sejak masih madrasah tsanawiyah (setingkat SMP). Dari dulu pusaranya ya seperti itu," terang Tatok menjelaskan.
Bagi sebagian besar masyarakat Blitar, Maling Aguno dianggap sebagai pencuri budiman. Semacam Robin Hood di Inggris, yang menyatroni para bangsawan untuk dibagi bagikan kepada rakyat jelata. Semacam Brandal Loka Jaya di Tuban. Maling Cluring di Jombang.
Maling Kentiri di Kediri (Ada yang menyebut Blora). Diego Carrientes di Spanyol. Atau Janosik di Slovakia. Begitu juga dengan Maling Aguno. Kata Tatok, hasil dari aksi kejahatannya untuk disedahkan kepada orang orang miskin.
Ia hanya menyasar orang orang kaya tamak. Mereka yang menumpuk numpuk harta tanpa mempedulikan nasib rakyat jelata. Karenanya, meskipun secara hukum melanggar, rakyat kecil tetap mencintainya. Tidak jarang rakyat memilih bersikap melindungi saat Maling Aguno dikejar kejar.
"Aguno sendiri memiliki arti yang berguna," kata Tatok memberi tafsir otak atik gathuk. Bagi orang orang kaya (Saat ini berada di wilayah Blitar), sepak terjang Maling Aguno tidak hanya meresahkan. Tapi juga menakutkan. Maling Aguno konon juga bisa masuk ke dalam batang pohon pisang.
Saat dikejar kejar ia bisa bergerak cepat yang seolah menghilang. Namun dalam kondisi terjepit, Maling Aguno tidak jarang melawan para pengejarnya. Pasalnya, ia memiliki pukulan mematikan sekaligus tubuh yang tidak bisa dilukai senjata tajam.
Tatok belum bisa memastikan, Maling Aguno hidup di masa apa. Ada versi yang menyebut, masa Kerajaan Singasari. Karenanya yang ia satroni para penggede kerajaan, bangsawan dan para orang kaya di masa itu. Versi lain mengatakan, di masa Kerajaan Mataram Islam awal.
Bahkan ada yang menyebut, sebelum menyerang Kerajaan Mataram yang dirajai Amangkurat I (1677), Trunojoyo konon lebih dulu berdoa di makam Maling Aguno. Serangan Raden Trunojoyo atau Panembahan Maduretno dari Madura mengakibatkan Amangkurat I keluar Istana.
Bahkan putra Sultan Agung tersebut tewas dalam pelarian. "Ada yang mengatakan, saat pasukannya bermarkas di Kediri, Trunojoyo sempat berdoa di makam Maling Aguno," kata Tatok. Lalu seperti apa sosok Maling Aguno? Tatok tidak bisa memastikan.
Sumber sumber tertulis yang ia kumpulkan terbatas jumlahnya, dan tidak ada menyebut jelas seperti apa sosok laki laki pencuri budiman tersebut. Namun dari penerawangan mata batin yang pernah dilakukan bersama teman temannya di makam Maling Aguno, kata Tatok, mereka melihat sosok laki laki berperawakan tinggi besar.
Meski demikian tindak tanduknya santun. Bagi Tatok, di setiap zaman di mana penindasan dan ketidakadilan merajalela, kehadiran tokoh semacam Maling Aguno dibutuhkan. "Dari penerawangan mata batin baju yang dikenakan Maling Aguno katanya seperti penampilan laki laki dari tanah Melayu," kata Tatok.
(shf)