Implikasi Yuridis ‘UU Covid-19'

Minggu, 17 Mei 2020 - 07:01 WIB
loading...
Implikasi Yuridis ‘UU Covid-19
Bambang Ariyanto, SH, MH
A A A
Bambang Ariyanto, SH, MH
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Hang Tuah Surabaya

Rapat Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) akhirnya menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu Covid-19) menjadi Undang-Undang, Senin (4/5/2020).

Atas persetujuan ini, Selasa (12/5) melalui rapat paripurna, DPR akhirnya mengesahkan Perppu tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 sebagai UU.

Dari sembilan fraksi yang ada, hanya satu fraksi yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak pengesahan Perppu karena dinilai bertentangan dengan konstitusi. Untuk itu, tulisan kali ini akan menyoroti mengenai dampak akibat penetapan Perppu Covid-19 menjadi UU.

Implikasi Yuridis
Lazimnya, dalam pembahasan Perppu, DPR hanya mempunyai dua pilihan yakni menerima atau menolak Perppu. Penerimaan ataupun Penolakan oleh DPR dilakukan melalui dua tahapan yaitu rapat di Badan Anggaran dan Rapat Paripurna DPR.

Dari tahapan yang berkembang tersebut terlihat bahwa persetujuan di tahap pertama, yakni di Banggar DPR telah terlalui. Dari peta politik ini juga menunjukkan bahwa upaya untuk persetujuan di Rapat Paripurna DPR lebih mudah. Hal ini menunjukkan selangkah lagi Perppu Covid-19 akan segera menjadi UU.

Pengaturan materi muatan Perppu pada umumnya sama dengan materi muatan UU. Perbedaannya adalah pada proses pembentukannya. Perppu dibentuk karena hal ikhwal kegentingan yang memaksa, sedangkan untuk UU proses pembentukannya melalui prosedur yang ditetapkan oleh UU, dan melalui lembaga legislatif dan eksekutif.

Umumnya, materi muatan Perppu itu berisi mengenai pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis, serta ruang lingkup pengaturannya. Hasil kajian penulis terhadap sejumlah Perppu menunjukkan hal tersebut.

Namun, untuk materi muatan Perppu Covid-19 inilah yang cukup berbeda. Perbedaan itu terletak pada pengaturan di Ketentuan Penutup, yang dimulai pada Pasal 28. Dalam Pasal 28 tersebut dinyatakan bahwa ada 32 (tiga puluh dua) ketentuan yang tersebar dalam 12 UU yang dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan penanganan penyebaran Covid-19.

Artinya, dengan Perppu ini, ketentuan dalam pasal-pasal tersebut ditangguhkan atau dikesampingkan berlakunya untuk sementara waktu, hingga tujuan atau krisis Covid-19 dinyatakan sudah berakhir.

Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa jika dilihat dari jangkauan normatif, Perppu Covid-19 ini sudah menerapkan prinsip “Perppu Omnibus” karena menangguhkan berlakunya banyak UU sekaligus. Perppu ini juga merujuk kepada beberapa undang-undang lain secara terpadu. Misalnya pada Pasal 8 huruf d Perppu ini dinyatakan “Penetapan periode waktu kahar akibat pandemi Corona mengacu kepada penetapan Pemerintah melalui Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Hal ini menunjukkan perumus juga membaca UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang pada bagian IV-nya yakni pasal 10 sampai dengan pasal 25 telah mengatur mengenai pelembagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang akan menentukan periodesasi waktu keadaan kahar akibat Pandmi Covid-19 (Jimly Asshiddiqie, 2020:1).

Sebagaimana diketahui, paradigma yang dibangun dalam Perppu Covid-19 adalah paradigma dalam penanganan masa Pandemi Covid. Dari judul Perppu Covid-19 sudah cukup jelas bahwa kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan Pandemi Covid.

Dari penafsiran gramatikal menunjukkan bahwa penanganan ini bukanlah penanganan Permanen. Penanganan ini sifatnya sementara. Jika kondisi sudah dalam keadaan normal, maka pengaturan perundang-undangan itu akan kembali pada ketentuan semula.

Namun, paradigma ini sepertinya akan berubah. Perubahan Perppu Covid-19 menjadi UU membawa konsekuensi yang luas mengingat begitu besarnya pengaruh UU terhadap masyarakat. Jika memang menjadi UU, maka secara otomatis, 32 pasal dari 12 UU yang tercantum dalam Pasal 28 akan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Apa konsekuesinya? Coba kita telaah di beberapa pasal yang dinyatakan tidak berlaku lagi. Pertama, Perppu Covid-19 ini mencabut Pasal 72 ayat (2) UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Pasal 72 ayat (2) ini berisi tentang alokasi anggaran yang bersumber dari APBN untuk mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan.

Jika pasal 72 ayat (2) ini tidak diberlakukan lagi seiring dengan ditetapkan Perppu Covid-19 menjadi UU, maka Pemerintahan di Desa jangan berharap lagi mendapatkan pendapatan Desa dari APBN. jikalau pun Pemerintah pusat memberikan dana desa dari APBN, maka pemerintah pusat sama saja melanggar ketentuannya sendiri.

Kedua, pasal yang berkaitan dengan UU No 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi UU. Pasal 16 ayat huruf (c) menyatakan Bank Indonesia diberi kewenangan untuk membeli Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di Pasar Perdana.

Padahal di dalam UU BI, ada ketentuan larangan bagi BI untuk membeli SUN/SBSN di pasar perdana. Apabila pengaturan ini hanya terjadi pada masa Pandemi Covid, mungkin tidak menjadi masalah. Namun, ketika pengaturan ini sudah ditetapkan menjadi UU, maka BI akan diperbolehkan membeli SUN di pasar perdana untuk transaksi berikutnya.

Ketiga, Aspek yang sangat terasa adalah aspek penegakan hukum. Pasal 27 Perppu Covid-19 yang banyak dipersoalkan oleh berbagai pihak, justru akan mendapatkan legitimasinya dengan ditetapkan sebagai UU. Sebab, Pasal 27 telah menegaskan bahwa para pejabat negara yang menggunakan keuangan negara ini untuk penanganan Pandemi Covid-19 tidak dapat dipidana. Jika ini benar-benar berlaku, maka ketentuan Pasal 27 ini pastilah bertentangan dengan UUD 1945, ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, dan ketentuan dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman.

Sejumlah implikasi yuridis ini perlu menjadi bahan pertimbangan DPR untuk mengkaji kembali Perppu Covid-19. Jangan sampai dengan diberlakukan Perpp Covid-19 menjadi UU, justru proses penegakan hukum dan kebijakan ekonomi negara ini menjadi jauh dari asas kepastian hukum dan kemanfaatan. Semoga.
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1872 seconds (0.1#10.140)