Kisah Kesaktian Syeikh Haji Mu'min saat Terdampar dan Membantu Raja Badung Bali
loading...
A
A
A
Syeikh Haji Mu’min bin Hasanuddin yang berasal Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel) terdampar di Pulau Serangan, Bali bersama rombongannya. Syeikh Haji Mu’min yang memiliki kesaktian tinggi kemudian membantu Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan III.
Jejak Syeikh Haji Mu’min hingga saat ini masih ada di Kampung Islam Bugis, Pulau Serangan, Denpasar , Bali. Kampung Bugis , begitu biasa disebut, memiliki luas 2,5 hektare dari luas total Pulau Serangan 491 hektare. Untuk bisa mencapai kampung ini, butuh perjalanan sekitar 15 kilometer dari Kota Denpasar.
Masjid Assyuhada di Kampung Bugis, Pulau Serangan, Denpasar, Bali. Foto/Ist
Dulunya, Serangan hanya pulau seluas 101 hektare dan terpisah dengan Pulau Bali. Namun sejak dekade 1990-an, pulau yang terkenal dengan sebutan Turtle Island ini tersambung oleh jembatan dan luasnya bertambah menjadi 491 hektare setelah adanya reklamasi.
Kampung Bugis dihuni sekitar 100 kepala keluarga dengan jumlah warga 285 orang. Mereka hidup secara berdampingan dan penuh toleransi dengan penduduk asli Bali yang mayoritas Hindu. Kebanyakan mata pencarian warga kampung adalah nelayan, karena letaknya yang dekat dengan pesisir pantai.
Berbagai penelitian menyebutkan Kampung Bugis ada sejak abad ke-17 Masehi. Mereka adalah orang-orang yang berasal dari Gowa, Sulawesi, yang memilih meninggalkan daerahnya setelah Belanda menguasai Kerajaan Gowa.
Pilihan itu diambil karena banyaknya aturan yang dikeluarkan pemerintah Belanda, salah satunya adalah perjanjian Bongaya. Aturan itulah yang membuat banyak orang pribumi pergi meninggalkan daerahnya.
Salah satunya rombongan yang dipimpin Syeikh Haji Mu’min bin Hasanuddin. Dia dan 40 orang pengikutnya memilih berlayar menggunakan kapal. Dalam pelayaran, mereka akhirnya terdampar di Pulau Serangan.
Jejak sejarah yang masih tersimpan di Kampung Bugis adalah Alquran tua yang dibuat pada abad ke-17. Foto/Ist
Kabar datangnya rombongan Haji Mu’min tersebar hingga ke telinga Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan III. Pulau Serangan merupakan salah satu daerah kekuasaannya.
Raja Pemecutan mencurigai Haji Mu'min merupakan mata-mata Belanda sehingga ditangkap. Namun Haji Mu'min berhasil meyakinkan sang raja hingga akhirnya dia dan pengikutnya diizinkan tinggal sementara di istana Puri Pemecutan.
Raja Pemecutan lalu mendegar kabar bahwa Haji Mu'min adalah orang yang sakti. Sang raja lalu meminta Haji Mu'min ikut membatu peperangan melawan Kerajaan Mengwi dan dijanjikan hadiah menempati Pulau Serangan.
Peperangan pun berlangsung dan dimenangkan Kerajaan Badung. Haji Mu'min kehilangan 31 orang akibat gugur dalam peperangan. Namun pengorbanan itu terbayar. Sang raja pun menepati janjinya. Haji Mu'min dan pengikutnya diizinkan menempati Pulau Serangan.
Raja Pemecutan juga memberikan bonus dengan membangunkan sebuah musala yang menjadi cikal bakal Masjid Assyuhada. Masjid yang terletak di tengah kampung ini sampai sekarang masih berdiri kokoh. Meski beberapa kali telah direnovasi, bangunan masjid masih mempertahankan keasliannya.
Di depan masjid terdapat rumah suku Bugis, rumah ini menjadi cagar budaya karena bangunannya masih asli seperti ratusan tahun silam. Tapi sayangnya, kondisi cagar budaya ini kurang baik dan dirawat padahal menjadi aset sejarah.
Jejak sejarah lainnya yang masih tersimpan di Kampung Bugis adalah Alquran tua yang dibuat pada abad ke-17. Kitab suci kuno itu masih berupa tulisan tangan dengan sampul terbuat dari kulit unta dengan panjang 40 cm dan lebarnya sekitar 20 cm.
Dulunya, Alquran itu selalu dipakai untuk tadarus, khususnya dalam bulan Ramadhan. Namun karena kini isinya banyak yang tidak utuh dan terlepas, kitab suci itu disimpan di sebuah kotak kayu berkaca.
Ikon sejarah lainnya yaitu pemakaman muslim yang sering disebut warga sebagai kuburan kampung Bugis. Di sini pula Haji Mu’min dimakamkan. Hingga kini, makam yang telah menjadi cagar budaya itu selalu ramai dikunjungi peziarah.
Jejak Syeikh Haji Mu’min hingga saat ini masih ada di Kampung Islam Bugis, Pulau Serangan, Denpasar , Bali. Kampung Bugis , begitu biasa disebut, memiliki luas 2,5 hektare dari luas total Pulau Serangan 491 hektare. Untuk bisa mencapai kampung ini, butuh perjalanan sekitar 15 kilometer dari Kota Denpasar.
Masjid Assyuhada di Kampung Bugis, Pulau Serangan, Denpasar, Bali. Foto/Ist
Dulunya, Serangan hanya pulau seluas 101 hektare dan terpisah dengan Pulau Bali. Namun sejak dekade 1990-an, pulau yang terkenal dengan sebutan Turtle Island ini tersambung oleh jembatan dan luasnya bertambah menjadi 491 hektare setelah adanya reklamasi.
Kampung Bugis dihuni sekitar 100 kepala keluarga dengan jumlah warga 285 orang. Mereka hidup secara berdampingan dan penuh toleransi dengan penduduk asli Bali yang mayoritas Hindu. Kebanyakan mata pencarian warga kampung adalah nelayan, karena letaknya yang dekat dengan pesisir pantai.
Berbagai penelitian menyebutkan Kampung Bugis ada sejak abad ke-17 Masehi. Mereka adalah orang-orang yang berasal dari Gowa, Sulawesi, yang memilih meninggalkan daerahnya setelah Belanda menguasai Kerajaan Gowa.
Pilihan itu diambil karena banyaknya aturan yang dikeluarkan pemerintah Belanda, salah satunya adalah perjanjian Bongaya. Aturan itulah yang membuat banyak orang pribumi pergi meninggalkan daerahnya.
Salah satunya rombongan yang dipimpin Syeikh Haji Mu’min bin Hasanuddin. Dia dan 40 orang pengikutnya memilih berlayar menggunakan kapal. Dalam pelayaran, mereka akhirnya terdampar di Pulau Serangan.
Jejak sejarah yang masih tersimpan di Kampung Bugis adalah Alquran tua yang dibuat pada abad ke-17. Foto/Ist
Kabar datangnya rombongan Haji Mu’min tersebar hingga ke telinga Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan III. Pulau Serangan merupakan salah satu daerah kekuasaannya.
Raja Pemecutan mencurigai Haji Mu'min merupakan mata-mata Belanda sehingga ditangkap. Namun Haji Mu'min berhasil meyakinkan sang raja hingga akhirnya dia dan pengikutnya diizinkan tinggal sementara di istana Puri Pemecutan.
Raja Pemecutan lalu mendegar kabar bahwa Haji Mu'min adalah orang yang sakti. Sang raja lalu meminta Haji Mu'min ikut membatu peperangan melawan Kerajaan Mengwi dan dijanjikan hadiah menempati Pulau Serangan.
Peperangan pun berlangsung dan dimenangkan Kerajaan Badung. Haji Mu'min kehilangan 31 orang akibat gugur dalam peperangan. Namun pengorbanan itu terbayar. Sang raja pun menepati janjinya. Haji Mu'min dan pengikutnya diizinkan menempati Pulau Serangan.
Raja Pemecutan juga memberikan bonus dengan membangunkan sebuah musala yang menjadi cikal bakal Masjid Assyuhada. Masjid yang terletak di tengah kampung ini sampai sekarang masih berdiri kokoh. Meski beberapa kali telah direnovasi, bangunan masjid masih mempertahankan keasliannya.
Di depan masjid terdapat rumah suku Bugis, rumah ini menjadi cagar budaya karena bangunannya masih asli seperti ratusan tahun silam. Tapi sayangnya, kondisi cagar budaya ini kurang baik dan dirawat padahal menjadi aset sejarah.
Jejak sejarah lainnya yang masih tersimpan di Kampung Bugis adalah Alquran tua yang dibuat pada abad ke-17. Kitab suci kuno itu masih berupa tulisan tangan dengan sampul terbuat dari kulit unta dengan panjang 40 cm dan lebarnya sekitar 20 cm.
Dulunya, Alquran itu selalu dipakai untuk tadarus, khususnya dalam bulan Ramadhan. Namun karena kini isinya banyak yang tidak utuh dan terlepas, kitab suci itu disimpan di sebuah kotak kayu berkaca.
Ikon sejarah lainnya yaitu pemakaman muslim yang sering disebut warga sebagai kuburan kampung Bugis. Di sini pula Haji Mu’min dimakamkan. Hingga kini, makam yang telah menjadi cagar budaya itu selalu ramai dikunjungi peziarah.
(shf)