Seluruh Kabupaten/Kota di Jabar Rawan Bencana, Warga Diimbau Waspada
loading...
A
A
A
BANDUNG - Di tengah bencana global pandemi COVID-19, Provinsi Jawa Barat juga dihadapkan pada berbagai potensi bencana alam , khususnya bencana hidrologi seperti banjir dan longsor. Terlebih, musim penghujan yang terjadi saat ini pun dipengaruhi oleh dampak La Nina yang mengakibatkan curah hujan lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Terbukti, tingginya curah hujan telah mengakibatkan banjir bandang seperti yang telah terjadi di wilayah Cicurug, Kabupaten Sukabumi, dan banjir di kawasan Bandung Raya beberapa waktu lalu serta longsor di Kabupaten Sumedang yang menimbulkan puluhan korban jiwa, baru-baru ini.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar, Dani Ramdan mengakui, Provinsi Jabar merupakan provinsi rawan bencana. Bahkan, kata Dani, seluruh kabupaten/kota di Jabar tergolong rawan bencana, khususnya banjir dan longsor. "Dari 27 kabupaten/kota di Jabar, 15 kabupaten/kota di antaranya tergolong berisiko tinggi, sedangkan 12 kabupaten/kota lainnya kategori sedang. Jadi, semuanya memang rawan bencana," ujar Dani di Bandung, Sabtu (16/1/2021).
Secara umum, lanjut Dani, kabupaten/kota di Jabar mulai dari wilayah tengah hingga selatan rawan bencana longsor. Sedangkan dari wilayah tengah hingga Utara rawan banjir. "Umumnya seperti itu ya, meski tidak menutup kemungkinan banjir terjadi di wilayah rawan longsor dan sebaliknya," jelasnya.
Menurut Dani, tingginya potensi bencana di Jabar tak lepas dari kondisi topografi wilayah dengan banyaknya kawasan perbukitan yang rawan pergerakan tanah dan banjir. Selain itu, historis perencanaan pun menjadi indikator lainnya yang menunjukkan Jabar sebagai provinsi rawan bencana. "Bahkan, dalam peta bencana yang disusun BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Kabupaten Garut menempati rangking 1 nasional kabupaten paling rawan bencana," imbuh Dani.
Lebih lanjut Dani mengatakan, dalam mengatasi potensi bencana di Jabar, Pemprov Jabar pun telah melakukan upaya-upaya mitigasi, baik mitigasi struktural maupun non-struktural. Mitigasi struktural seperti pembangunan bendungan, normalisasi sungai, hingga dinding penahan tebing dilakukan oleh instansi terkait, serta Dinas Pekerjaan Umum (PU). "Adapun BPBD mengerjakan upaya mitigasi non-struktural, mulai dari penyusunan peta rawan bencana hingga upaya penanggulangan pascabencana," jelasnya.
Terkait peta rawan bencana, Provinsi Jabar telah memiliki peta rawan bencana hingga tingkat desa. Sehingga, masing-masing desa di Jabar yang jumlahnya hampir 6.000 desa itu telah memiliki peta rawan bencana, termasuk upaya motigasi dan rencana aksi pascabencana. "Peta rawan bencana hingga tingkat desa tersebut tinggal ditindaklanjuti hingga tingkat RW dan RT untuk memudahkan upaya antisipasi, termasuk penanganan pascabencana," katanya.
Dani menambahkan, Pemprov Jabar pun masih menetapkan status Siaga 1 seiring tingginya intensitas hujan yang diprediksi bakal terjadi hingga Mei 2021. Melalui penetapan status Siaga 1 , Dani mengimbau, agar seluruh warga Jabar selalu waspada terhadap seluruh potensi bencana. "Kita masih berada dalam status Siaga 1 hingga akhir Mei nanti. Kami mengimbau, agar masyarakat selalu waspada terhadap berbagai potensi bencana," tandasnya.
Sebelumnya, Gubernur Jabar, Ridwan Kamil menyatakan, Provinsi Jabar berstatus Siaga 1 hingga Mei 2021 menyusul prediksi peningkatan potensi bencana alam akibat cuaca ekstrem dan fenomena La Nina pada musim hujan tahun 2020-2021. Dengan status tersebut, Gubernur yang akrab disapa Kang Emil itu pun menginstruksikan seluruh pemangku kepentingan di 27 kabupaten/kota bersiaga menghadapi berbagai potensi bencana alam dan penanganan dampaknya.
"Jadi, kesiagaan ini berbanding lurus dengan prediksi BMKG bahwa akan ada curah hujan lebih banyak dan lebih ekstrem. Sehingga, kita menetapkan kesiagaan itu dari November (2020) sampai Mei (2021)," tegas Kang Emil dalam Apel Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Hidrometeorologi Tahun 2020-2021 di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Rabu (4/11/2020) lalu.
Menurut Kang Emil, fenomena La Nina membawa dampak curah hujan yang tinggi dan naiknya gelombang laut. Kondisi tersebut berakibat pada tingginya potensi banjir. Bahkan, kata Kang Emil, khusus wilayah di kawasan pesisir pantai selatan Jabar, harus juga mewaspadai potensi bencana tsunami.
"Saya sudah perintahkan BPBD Jabar melakukan simulasi penyelamatan tsunami, harus segera dilakukan di selatan Jabar. Masyarakat harus paham, harus tahu early warning system kalau (tsunami) terjadi, kemana larinya sudah tahu," katanya.
Lebih lanjut Kang Emil mengatakan, seluruh pemangku kepentingan di 27 kabupaten/kota di Jabar harus bersiaga, terutama dalam penanganan pascabencana. "Seperti pada peristiwa banjir besar di Jabodetabek pada awal tahun 2020 lalu. Peristiwa tersebut bisa dijadikan rujukan untuk menerapkan pola mitigasi yang diterapkan, termasuk menyiapkan sarana, alat, hingga teknologi pendukungnya," paparnya.
Badan Meteorologi Dermatologi dan Geofisika ( BMKG ) pun telah meminta pemerintah mengantisipasi datangnya musim hujan menyusul terdeteksinya La Nina di Samudra Pasifik yang berdampak terhadap tingginya curah hujan di Indonesia. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menjelaskan, La Nina merupakan anomali suhu muka air laut dimana suhu di laut akan lebih dingin, bahkan bisa sampai minus satu derajat celcius atau lebih.
kibatnya, aliran masa udara basah lebih kuat dibandingkan saat normal dari wilayah pasifik masuk ke Indonesia, terutama Indonesia timur, tengah, dan utara. "Dampaknya adalah curah hujan bulanan di Indonesia ini akan semakin meningkat. Peningkatan ini bervariasi atau tidak seragam dari segi ruang dan waktu," jelasnya.
Terbukti, tingginya curah hujan telah mengakibatkan banjir bandang seperti yang telah terjadi di wilayah Cicurug, Kabupaten Sukabumi, dan banjir di kawasan Bandung Raya beberapa waktu lalu serta longsor di Kabupaten Sumedang yang menimbulkan puluhan korban jiwa, baru-baru ini.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar, Dani Ramdan mengakui, Provinsi Jabar merupakan provinsi rawan bencana. Bahkan, kata Dani, seluruh kabupaten/kota di Jabar tergolong rawan bencana, khususnya banjir dan longsor. "Dari 27 kabupaten/kota di Jabar, 15 kabupaten/kota di antaranya tergolong berisiko tinggi, sedangkan 12 kabupaten/kota lainnya kategori sedang. Jadi, semuanya memang rawan bencana," ujar Dani di Bandung, Sabtu (16/1/2021).
Secara umum, lanjut Dani, kabupaten/kota di Jabar mulai dari wilayah tengah hingga selatan rawan bencana longsor. Sedangkan dari wilayah tengah hingga Utara rawan banjir. "Umumnya seperti itu ya, meski tidak menutup kemungkinan banjir terjadi di wilayah rawan longsor dan sebaliknya," jelasnya.
Menurut Dani, tingginya potensi bencana di Jabar tak lepas dari kondisi topografi wilayah dengan banyaknya kawasan perbukitan yang rawan pergerakan tanah dan banjir. Selain itu, historis perencanaan pun menjadi indikator lainnya yang menunjukkan Jabar sebagai provinsi rawan bencana. "Bahkan, dalam peta bencana yang disusun BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Kabupaten Garut menempati rangking 1 nasional kabupaten paling rawan bencana," imbuh Dani.
Lebih lanjut Dani mengatakan, dalam mengatasi potensi bencana di Jabar, Pemprov Jabar pun telah melakukan upaya-upaya mitigasi, baik mitigasi struktural maupun non-struktural. Mitigasi struktural seperti pembangunan bendungan, normalisasi sungai, hingga dinding penahan tebing dilakukan oleh instansi terkait, serta Dinas Pekerjaan Umum (PU). "Adapun BPBD mengerjakan upaya mitigasi non-struktural, mulai dari penyusunan peta rawan bencana hingga upaya penanggulangan pascabencana," jelasnya.
Terkait peta rawan bencana, Provinsi Jabar telah memiliki peta rawan bencana hingga tingkat desa. Sehingga, masing-masing desa di Jabar yang jumlahnya hampir 6.000 desa itu telah memiliki peta rawan bencana, termasuk upaya motigasi dan rencana aksi pascabencana. "Peta rawan bencana hingga tingkat desa tersebut tinggal ditindaklanjuti hingga tingkat RW dan RT untuk memudahkan upaya antisipasi, termasuk penanganan pascabencana," katanya.
Dani menambahkan, Pemprov Jabar pun masih menetapkan status Siaga 1 seiring tingginya intensitas hujan yang diprediksi bakal terjadi hingga Mei 2021. Melalui penetapan status Siaga 1 , Dani mengimbau, agar seluruh warga Jabar selalu waspada terhadap seluruh potensi bencana. "Kita masih berada dalam status Siaga 1 hingga akhir Mei nanti. Kami mengimbau, agar masyarakat selalu waspada terhadap berbagai potensi bencana," tandasnya.
Sebelumnya, Gubernur Jabar, Ridwan Kamil menyatakan, Provinsi Jabar berstatus Siaga 1 hingga Mei 2021 menyusul prediksi peningkatan potensi bencana alam akibat cuaca ekstrem dan fenomena La Nina pada musim hujan tahun 2020-2021. Dengan status tersebut, Gubernur yang akrab disapa Kang Emil itu pun menginstruksikan seluruh pemangku kepentingan di 27 kabupaten/kota bersiaga menghadapi berbagai potensi bencana alam dan penanganan dampaknya.
"Jadi, kesiagaan ini berbanding lurus dengan prediksi BMKG bahwa akan ada curah hujan lebih banyak dan lebih ekstrem. Sehingga, kita menetapkan kesiagaan itu dari November (2020) sampai Mei (2021)," tegas Kang Emil dalam Apel Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Hidrometeorologi Tahun 2020-2021 di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Rabu (4/11/2020) lalu.
Menurut Kang Emil, fenomena La Nina membawa dampak curah hujan yang tinggi dan naiknya gelombang laut. Kondisi tersebut berakibat pada tingginya potensi banjir. Bahkan, kata Kang Emil, khusus wilayah di kawasan pesisir pantai selatan Jabar, harus juga mewaspadai potensi bencana tsunami.
"Saya sudah perintahkan BPBD Jabar melakukan simulasi penyelamatan tsunami, harus segera dilakukan di selatan Jabar. Masyarakat harus paham, harus tahu early warning system kalau (tsunami) terjadi, kemana larinya sudah tahu," katanya.
Lebih lanjut Kang Emil mengatakan, seluruh pemangku kepentingan di 27 kabupaten/kota di Jabar harus bersiaga, terutama dalam penanganan pascabencana. "Seperti pada peristiwa banjir besar di Jabodetabek pada awal tahun 2020 lalu. Peristiwa tersebut bisa dijadikan rujukan untuk menerapkan pola mitigasi yang diterapkan, termasuk menyiapkan sarana, alat, hingga teknologi pendukungnya," paparnya.
Badan Meteorologi Dermatologi dan Geofisika ( BMKG ) pun telah meminta pemerintah mengantisipasi datangnya musim hujan menyusul terdeteksinya La Nina di Samudra Pasifik yang berdampak terhadap tingginya curah hujan di Indonesia. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menjelaskan, La Nina merupakan anomali suhu muka air laut dimana suhu di laut akan lebih dingin, bahkan bisa sampai minus satu derajat celcius atau lebih.
kibatnya, aliran masa udara basah lebih kuat dibandingkan saat normal dari wilayah pasifik masuk ke Indonesia, terutama Indonesia timur, tengah, dan utara. "Dampaknya adalah curah hujan bulanan di Indonesia ini akan semakin meningkat. Peningkatan ini bervariasi atau tidak seragam dari segi ruang dan waktu," jelasnya.
(don)