9 Perusahaan P3MI Gugat Menteri Tenaga Kerja
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah digugat oleh 9 Perusahaan P3MI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Gugatan tersebut telah didaftarkan dan akan disidangkan pekan depan Senin, 18 Mei 2020.
Menurut kuasa hukum penggugat, Dato' Muhamad Zainul Arifin mengatakan, alasan menggugat tersebut dikarenakan Menteri Ida Fauziah mengeluarkan Surat Keputusan Pencabutan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (SIP3TKI) Terhadap 126 Perusahan.
"Padahal selama ini Perusahaan tersebut sudah aktif membantu Pemerintah Indonesia dalam mengatasi kemiskinan dan penganggaran, memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Keuangan Devisa Negara yang hampir 153 Triliun Rupiah setiap per tahunya dari sumber remitansi (pengiriman uang) dari Pekerja Migrant Indonesia (PMI) yang bekerja di Luar Negeri," ungkapnya kepada media di Jakarta, Kamis (14/5).
Menteri mengklaim, lanjut Dato' Zainul Arifin, mengeluarkan kebijakan tersebut lantaran menjalankan Pasal 54 ayat (1) UU No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migrant Indonesia, yang mengharuskan perusahaan P3MI untuk menambah biaya deposito disetor sebesar Rp 1.5 milyar, dari semula sebesar Rp 500 juta, sementara pasal tersebut saat ini masih uji materil di Mahkamah Konsitusi (MK) Republik Indonesia dengan Nomor 83/PUU-XVII/2019. (BACA JUGA: Bupati Zahir: TKI Ilegal Sebaiknya Pulang Resmi Agar Mudah Diawasi)
Tak hanya itu, kata Dato' Zainul, bahkan Menteri mengeluarkan Permenaker No 10/2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia, sebagai Peraturan turunan dari Pasal 54 yang juga di ajukan Uji Materi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Perkara Nomor 15P/HUM/2020.
"Atas dasar dua peraturan tersebut Menteri melaksanakan kebijakan ekstrime tersebut, akan tetapi Menteri tidak melihat dan mempertimbangkan proses hukum uji menteri yang dijalankan di MK dan MA," katanya.
Selain itu, pihaknya melakukan gugatan tersebut agar membatalkan Surat Keputusan Pencabutan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, yang telah dikeluarkan oleh Menteri Ketenagakerjaan.
"Kami berpendapat Surat Keputusan tersebut telah mencederai dan melanggar Peraturan Perundangan-undangan yang berlaku yang telah diamanatkan didalam Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa alasan-alasan yang digunakan dalam Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara ialah Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB)," paparnya.
Adapun Surat Keputusan tersebut, sambung Dato' Zainul, dianggap bertentangan dengan Peraturan Perundangan-undangan yaitu UU No. 18/2017 tantang Perlindungan Pekerja Migrant Indonesia, UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Permenaker No 10/2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia. (BACA JUGA: Menaker Wajibkan Pengusaha Bayarkan THR H-7 Lebaran)
"Dimana Menteri mengambil kebijakan tersebut tanpa didasari dengan langkah Sanksi Administratif dalam hal peringatan terlebih dahulu sebelum memberikan sanksi pencabutan izin," katanya lagi.
Sebab, Kata Dato' Zainul, kebijakan Menteri tersebut dianggap tidak ada kondisi hal mendesak dan merugikan kepentingan negara, justru dengan Pencabutan izin tersebut, Negara mengalami kerugian akibat dampak dari kebijakan tersebut yang mengakibatkan Perusahaan P3MI dan seluruh Perusahaan cabangnya tidak dapat lagi mejalankan operasional Perusahaanya sehingga perushaan merumahkan (PHK) seluruh karyawan yang selama ini sudah bekerja.
"Bahkan lebih jauh dikawatirkan akan semangkin banyaknya TKI/PMI yang bekerja di Luar Negeri dengan Jalur tidak sah atau Non Prosedural/ilegal yang sekarang ini mangkin hari semangkin bertamba, dan Kami Merasa dirugikan akibat dikeluarkanya Surat Keputusan Pencabutan izin tersebut," jelasnya.
Selain itu, Menteri juga dinilai melanggar Asas Kepastian Hukum dalam hal ini Asas Non-Retroaktif, yaitu suatu asas yang melarang keberlakuan surut dari suatu Peraturan Perundang-undangan, sama halnya dengan Objek Sengketa (SK Pencabutan) tidak dapat diberlakukan kepada Penggugat yang Surat Izin Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (SIPPTKI) yang masa berlakunya belum berakhir hingga tahun 2021 bahkan lebih.
Bahwa, lanjutnya, satu aturan itu tidak boleh berlaku surut, namun ada pengecualian jika aturan tersebut tidak merugikan pencari hukum, tapi bila aturan tersebut dinyatakan merugikan, maka tidak berlaku, sebab akan terjadi kekacawan hukum dan ketidak pastian hukum.
Dalam hal ini, kata Dato' Zainul, Perusahaan P3MI adalah Perusahaan yang sudah belasan tahun berdiri dan menjalankan aktifitas sebagai Perusahaan P3MI jauh sebelum UU No. 18/2017 dan Pemenaker No. 10/2019 disahkan serta patuh dan tunduk terhadap Peraturan Perundang-undangan tidak pernah ada persolan hukum baik Pidana maupun Perdata.
Namun, tiba-tiba Menteri mengeluarkan Keputusan Pencabutan Izin atas dasar belum mampu membayar Rp1.5 miliar semantara dengan kondisi dampak Covid-19 ini semua perusahaan sedang diuji eksistensinya dan terlebih lagi tidak dibenarkan lagi Perusahaan P3MI untuk melakukan kegiatan penempatan terhadap Pekerja Migran Indonesia hingga Situasi Covid-19 dianggap membaik.
Adapun 9 Perusahaan P3MI tersebut adalah PT. Herotama Indonusa, PT. Anugerah Usaha Jaya, PT. Bama Mapan Bahagia, PT. Leres Kahuripan Sejati, PT. Mutiara Karya Mitra, PT. Sentosa Karya Mandiri, PT. Sinar Harapan Anda, PT. Sukses Bersama Yatfuari dan PT. Bina Mandiri Mulia Raharja, dengan No Perkara 84, 85, 86, 87, 102, 103, 104, 105, 106 dan akan meyusul lebih bayak lagi Perusahaan P3MI yang merasa di zolimi untuk melakukan Perlawanan Hukum.
Gugatan tersebut telah didaftarkan dan akan disidangkan pekan depan Senin, 18 Mei 2020.
Menurut kuasa hukum penggugat, Dato' Muhamad Zainul Arifin mengatakan, alasan menggugat tersebut dikarenakan Menteri Ida Fauziah mengeluarkan Surat Keputusan Pencabutan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (SIP3TKI) Terhadap 126 Perusahan.
"Padahal selama ini Perusahaan tersebut sudah aktif membantu Pemerintah Indonesia dalam mengatasi kemiskinan dan penganggaran, memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Keuangan Devisa Negara yang hampir 153 Triliun Rupiah setiap per tahunya dari sumber remitansi (pengiriman uang) dari Pekerja Migrant Indonesia (PMI) yang bekerja di Luar Negeri," ungkapnya kepada media di Jakarta, Kamis (14/5).
Menteri mengklaim, lanjut Dato' Zainul Arifin, mengeluarkan kebijakan tersebut lantaran menjalankan Pasal 54 ayat (1) UU No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migrant Indonesia, yang mengharuskan perusahaan P3MI untuk menambah biaya deposito disetor sebesar Rp 1.5 milyar, dari semula sebesar Rp 500 juta, sementara pasal tersebut saat ini masih uji materil di Mahkamah Konsitusi (MK) Republik Indonesia dengan Nomor 83/PUU-XVII/2019. (BACA JUGA: Bupati Zahir: TKI Ilegal Sebaiknya Pulang Resmi Agar Mudah Diawasi)
Tak hanya itu, kata Dato' Zainul, bahkan Menteri mengeluarkan Permenaker No 10/2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia, sebagai Peraturan turunan dari Pasal 54 yang juga di ajukan Uji Materi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Perkara Nomor 15P/HUM/2020.
"Atas dasar dua peraturan tersebut Menteri melaksanakan kebijakan ekstrime tersebut, akan tetapi Menteri tidak melihat dan mempertimbangkan proses hukum uji menteri yang dijalankan di MK dan MA," katanya.
Selain itu, pihaknya melakukan gugatan tersebut agar membatalkan Surat Keputusan Pencabutan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, yang telah dikeluarkan oleh Menteri Ketenagakerjaan.
"Kami berpendapat Surat Keputusan tersebut telah mencederai dan melanggar Peraturan Perundangan-undangan yang berlaku yang telah diamanatkan didalam Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa alasan-alasan yang digunakan dalam Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara ialah Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB)," paparnya.
Adapun Surat Keputusan tersebut, sambung Dato' Zainul, dianggap bertentangan dengan Peraturan Perundangan-undangan yaitu UU No. 18/2017 tantang Perlindungan Pekerja Migrant Indonesia, UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Permenaker No 10/2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia. (BACA JUGA: Menaker Wajibkan Pengusaha Bayarkan THR H-7 Lebaran)
"Dimana Menteri mengambil kebijakan tersebut tanpa didasari dengan langkah Sanksi Administratif dalam hal peringatan terlebih dahulu sebelum memberikan sanksi pencabutan izin," katanya lagi.
Sebab, Kata Dato' Zainul, kebijakan Menteri tersebut dianggap tidak ada kondisi hal mendesak dan merugikan kepentingan negara, justru dengan Pencabutan izin tersebut, Negara mengalami kerugian akibat dampak dari kebijakan tersebut yang mengakibatkan Perusahaan P3MI dan seluruh Perusahaan cabangnya tidak dapat lagi mejalankan operasional Perusahaanya sehingga perushaan merumahkan (PHK) seluruh karyawan yang selama ini sudah bekerja.
"Bahkan lebih jauh dikawatirkan akan semangkin banyaknya TKI/PMI yang bekerja di Luar Negeri dengan Jalur tidak sah atau Non Prosedural/ilegal yang sekarang ini mangkin hari semangkin bertamba, dan Kami Merasa dirugikan akibat dikeluarkanya Surat Keputusan Pencabutan izin tersebut," jelasnya.
Selain itu, Menteri juga dinilai melanggar Asas Kepastian Hukum dalam hal ini Asas Non-Retroaktif, yaitu suatu asas yang melarang keberlakuan surut dari suatu Peraturan Perundang-undangan, sama halnya dengan Objek Sengketa (SK Pencabutan) tidak dapat diberlakukan kepada Penggugat yang Surat Izin Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (SIPPTKI) yang masa berlakunya belum berakhir hingga tahun 2021 bahkan lebih.
Bahwa, lanjutnya, satu aturan itu tidak boleh berlaku surut, namun ada pengecualian jika aturan tersebut tidak merugikan pencari hukum, tapi bila aturan tersebut dinyatakan merugikan, maka tidak berlaku, sebab akan terjadi kekacawan hukum dan ketidak pastian hukum.
Dalam hal ini, kata Dato' Zainul, Perusahaan P3MI adalah Perusahaan yang sudah belasan tahun berdiri dan menjalankan aktifitas sebagai Perusahaan P3MI jauh sebelum UU No. 18/2017 dan Pemenaker No. 10/2019 disahkan serta patuh dan tunduk terhadap Peraturan Perundang-undangan tidak pernah ada persolan hukum baik Pidana maupun Perdata.
Namun, tiba-tiba Menteri mengeluarkan Keputusan Pencabutan Izin atas dasar belum mampu membayar Rp1.5 miliar semantara dengan kondisi dampak Covid-19 ini semua perusahaan sedang diuji eksistensinya dan terlebih lagi tidak dibenarkan lagi Perusahaan P3MI untuk melakukan kegiatan penempatan terhadap Pekerja Migran Indonesia hingga Situasi Covid-19 dianggap membaik.
Adapun 9 Perusahaan P3MI tersebut adalah PT. Herotama Indonusa, PT. Anugerah Usaha Jaya, PT. Bama Mapan Bahagia, PT. Leres Kahuripan Sejati, PT. Mutiara Karya Mitra, PT. Sentosa Karya Mandiri, PT. Sinar Harapan Anda, PT. Sukses Bersama Yatfuari dan PT. Bina Mandiri Mulia Raharja, dengan No Perkara 84, 85, 86, 87, 102, 103, 104, 105, 106 dan akan meyusul lebih bayak lagi Perusahaan P3MI yang merasa di zolimi untuk melakukan Perlawanan Hukum.
(vit)