PSBB Surabaya Raya Diperpanjang, Ini Suara Hati Masyarakat
loading...
A
A
A
SURABAYA - Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di kawasan Surabaya Raya (Sidoarjo dan Gresik) diperpanjang hingga 14 hari ke depan atau hingga 25 Mei 2020.
Keputusan tersebut merupakan kesepakatan bersama Pemprov Jatim berikut Forkopimda dengan tiga kepala daerah yang mewakili Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik lengkap dengan Forkopimda kabupaten dan kota dalam rapat evaluasi PSBB tahap pertama di Gedung Negara Grahadi, Sabtu (9/5/2020).
Namun, sejumlah masyarakat mengeluhkan kebijakan perpanjangan tersebut. Pasalnya, PSBB membuat usaha mereka makin terpuruk. Di sektor pedagang kecil, dampaknya sangat berat, seperti yang dialami pengusaha air isi ulang di kawasan Lidah Wetan, Ade Irawan, yang omsetnya menurun drastis.
Sebelum PSBB, sehari ia bisa melayani isi ulang hingga 80 galon lebih. Tetapi, sejak PSBB, sehari tidak sampai 5 galon. "Warung kopi kan tutup semua. Pelanggan saya rata rata memang warkop. Sekarang nggak ada," kata Ade, Senin (11/5/2020).
Ade juga mempertanyakan apakah dengan PSBB maka ada jaminan pandemi ini bisa selesai. "PSBB 14 hari. Kalau dijamin berkurang nggak masalah. Kalau perlu lockdown. Tapi ini kan tidak. Corona-nya enggak hilang, rejeki saya malahan yang hilang," keluh Ade.
Jika PSBB ditambah 14 hari lagi, dia tidak tahu bagaimana lagi cara menghidupi keluarganya. Sebab, sampai hari ini dia tidak pernah mendapat bantuan sosial dari pemerintah. "Ya mungkin karena saya punya usaha isi ulang, jadi dianggap mampu. Padahal, ini lagi seret," jelasnya.
PSBB juga mempersulit pengusaha menengah. Ketua Paguyuban Pedagang Buah wilayah Tanjung Sari, Surabaya, M Lukman, menyebut, seharusnya untuk memperpanjang PSBB harus dipikirkan ulang. "Kalau PSBB yang pertama gagal, kenapa ada PSBB kedua. Ini sama saja dengan mengulang kegagalan," kata Lukman.
Selama masa PSBB, pedagang buah malah merugi. Sebab, barang yang keluar masuk, durasinya dibatasi dengan batas jam operasional. Padahal, lanjut Lukman, buah berpotensi busuk jika tidak cepat habis.
Lukman tidak menampik, dalam kondisi pandemi corona seperti ini, semua sektor ekonomi memang sebagian besar jatuh. Tapi, pemerintah diharapkan tidak menambah beban lagi.
"PSBB itu beban bagi kami. Kalau seandainya, PSBB itu kemarin itu sukses, kasusnya bisa berkurang, kita ikut saja. Tapi kalau gagal, kenapa diulang lagi? Kita terlanjur rugi nggak jualan maksimal. Ini sangat merugikan masyarakat kecil," lanjut Lukman.
Ketua Paguyuban Pangkalan LPG Surabaya Barat, Tulus Warsito, juga mengeluhkan hal yang sama. Menurutnya, PSBB bukan solusi terbaik. Pemerintah, kata Tulus, hanya melihat dari sisi pandemi. Tapi, tidak melihat ekonomi masyarakat kecil.
"Itu bukan solusi. Coba seandainya pemerintah merasakan bagaimana jadi masyarakat, pasti dia akan protes," kata Tulus.
Tulus menjelaskan, efek PSBB sangat berimbas pada penyalur LPG. Sejak diberlakukannya jam PSBB, tidak ada lagi warung-warung yang berani jualan di malam hari. Sementara, masyarakat yang biasa membuka warung di rumahnya, juga tidak lagi buka. Alhasil, penjualan LPG juga mengalami penurunan.
"Omset menurun, kita sebagai penyalur gas untuk kebutuhan masyarakat langsung, juga tidak mendapatkan kebijakan tertentu sejak PSBB. Kita boleh jualan, tapi enggak ada yang beli. Apa untungnya?" lanjutnya.
Keputusan tersebut merupakan kesepakatan bersama Pemprov Jatim berikut Forkopimda dengan tiga kepala daerah yang mewakili Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik lengkap dengan Forkopimda kabupaten dan kota dalam rapat evaluasi PSBB tahap pertama di Gedung Negara Grahadi, Sabtu (9/5/2020).
Namun, sejumlah masyarakat mengeluhkan kebijakan perpanjangan tersebut. Pasalnya, PSBB membuat usaha mereka makin terpuruk. Di sektor pedagang kecil, dampaknya sangat berat, seperti yang dialami pengusaha air isi ulang di kawasan Lidah Wetan, Ade Irawan, yang omsetnya menurun drastis.
Sebelum PSBB, sehari ia bisa melayani isi ulang hingga 80 galon lebih. Tetapi, sejak PSBB, sehari tidak sampai 5 galon. "Warung kopi kan tutup semua. Pelanggan saya rata rata memang warkop. Sekarang nggak ada," kata Ade, Senin (11/5/2020).
Ade juga mempertanyakan apakah dengan PSBB maka ada jaminan pandemi ini bisa selesai. "PSBB 14 hari. Kalau dijamin berkurang nggak masalah. Kalau perlu lockdown. Tapi ini kan tidak. Corona-nya enggak hilang, rejeki saya malahan yang hilang," keluh Ade.
Jika PSBB ditambah 14 hari lagi, dia tidak tahu bagaimana lagi cara menghidupi keluarganya. Sebab, sampai hari ini dia tidak pernah mendapat bantuan sosial dari pemerintah. "Ya mungkin karena saya punya usaha isi ulang, jadi dianggap mampu. Padahal, ini lagi seret," jelasnya.
PSBB juga mempersulit pengusaha menengah. Ketua Paguyuban Pedagang Buah wilayah Tanjung Sari, Surabaya, M Lukman, menyebut, seharusnya untuk memperpanjang PSBB harus dipikirkan ulang. "Kalau PSBB yang pertama gagal, kenapa ada PSBB kedua. Ini sama saja dengan mengulang kegagalan," kata Lukman.
Selama masa PSBB, pedagang buah malah merugi. Sebab, barang yang keluar masuk, durasinya dibatasi dengan batas jam operasional. Padahal, lanjut Lukman, buah berpotensi busuk jika tidak cepat habis.
Lukman tidak menampik, dalam kondisi pandemi corona seperti ini, semua sektor ekonomi memang sebagian besar jatuh. Tapi, pemerintah diharapkan tidak menambah beban lagi.
"PSBB itu beban bagi kami. Kalau seandainya, PSBB itu kemarin itu sukses, kasusnya bisa berkurang, kita ikut saja. Tapi kalau gagal, kenapa diulang lagi? Kita terlanjur rugi nggak jualan maksimal. Ini sangat merugikan masyarakat kecil," lanjut Lukman.
Ketua Paguyuban Pangkalan LPG Surabaya Barat, Tulus Warsito, juga mengeluhkan hal yang sama. Menurutnya, PSBB bukan solusi terbaik. Pemerintah, kata Tulus, hanya melihat dari sisi pandemi. Tapi, tidak melihat ekonomi masyarakat kecil.
"Itu bukan solusi. Coba seandainya pemerintah merasakan bagaimana jadi masyarakat, pasti dia akan protes," kata Tulus.
Tulus menjelaskan, efek PSBB sangat berimbas pada penyalur LPG. Sejak diberlakukannya jam PSBB, tidak ada lagi warung-warung yang berani jualan di malam hari. Sementara, masyarakat yang biasa membuka warung di rumahnya, juga tidak lagi buka. Alhasil, penjualan LPG juga mengalami penurunan.
"Omset menurun, kita sebagai penyalur gas untuk kebutuhan masyarakat langsung, juga tidak mendapatkan kebijakan tertentu sejak PSBB. Kita boleh jualan, tapi enggak ada yang beli. Apa untungnya?" lanjutnya.
(msd)