Ancaman Sanksi Pencopotan, Wali Kota Cimahi: Saya Tidak Keberatan
loading...
A
A
A
CIMAHI - Instruksi Mendagri tentang pemberhentian kepala daerah yang tidak menegakkan protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19 ditangggapi Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna. Peringatan itu dinilai hal yang wajar mengingat COVID-19 hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda mereda.
"Saya tidak keberatan dengan ancaman sanksi pencopotan kepala daerah dari jabatannya bila gagal dalam menegakkan protokol kesehatan COVID-19. Sisi baiknya, akan memacu kepala daerah untuk disiplin dalam penerapan dan pengawasannya," kata Ajay, Jumat (20/11/2020). (Baca juga: Instruksi Prokes, Mendagri Ingatkan Kepala Daerah Bisa Diberhentikan)
Menurutnya, instruksi Mendagri sudah jelas pasal dan pelanggarannya. Sehingga menjadi rambu-rambu bagi kepala daerah dalam menjalankan kebijakan. Tujuannya agar pandemi bisa ditekan dan segera berakhir, mengingat di beberapa daerah di Indonesia angkanya masih tinggi. (Baca juga: Tanggapi Sanksi Mendagri, Ridwan Kamil: Adakah Perbuatan Tercela Melanggar Hukum?)
Oleh karena itu, dia akan melakukan berbagai upaya disertai kebijakan yang diterapkan untuk menekan penularan COVID-19. Selain sebagai bukti fatsun pada aturan, itu juga agar terhindar dari ancaman pencopotan. Salah satunya dengan memberlakukan pembatasan sosial berskala mikro (PSBM) dengan minta ketegasan wilayah tidak menerima tamu dari luar daerah.
Terlebih saat ini Cimahi sedang berada di zona merah atau risiko penularan tinggi COVID-19. Secara komulatif angka positif COVID-19 mencapai 823 kasus. Rinciannya 237 orang positif aktif, 562 kasus positif sembuh, dan 24 kasus meninggal dunia akibat COVID-19. "Pemberlakuan PSBM salah satu penegakan prokes, karena kasus di Cimahi kebanyakan impor," terangnya.
Dia mengakui salah satu sumber penyebaran COVID-19 yang masih sulit dihilangkan yakni kerumunan masyarakat saat beraktivitas di luar rumah terutama ketika ke pusat perbelanjaan atau berwisata. Sedangkan untuk kebiasaan memakai masker dan cuci tangan sudah semakin membaik.
"Kerumunan itu yang sulit dihindari, seperti hajatan, belanja, dan wisata. Makanya kami bakal memperketat perizinan kegiatan masyarakat terutama ketika diketahui bakal menimbulkan kerumunan massa," ujarnya.
"Saya tidak keberatan dengan ancaman sanksi pencopotan kepala daerah dari jabatannya bila gagal dalam menegakkan protokol kesehatan COVID-19. Sisi baiknya, akan memacu kepala daerah untuk disiplin dalam penerapan dan pengawasannya," kata Ajay, Jumat (20/11/2020). (Baca juga: Instruksi Prokes, Mendagri Ingatkan Kepala Daerah Bisa Diberhentikan)
Menurutnya, instruksi Mendagri sudah jelas pasal dan pelanggarannya. Sehingga menjadi rambu-rambu bagi kepala daerah dalam menjalankan kebijakan. Tujuannya agar pandemi bisa ditekan dan segera berakhir, mengingat di beberapa daerah di Indonesia angkanya masih tinggi. (Baca juga: Tanggapi Sanksi Mendagri, Ridwan Kamil: Adakah Perbuatan Tercela Melanggar Hukum?)
Oleh karena itu, dia akan melakukan berbagai upaya disertai kebijakan yang diterapkan untuk menekan penularan COVID-19. Selain sebagai bukti fatsun pada aturan, itu juga agar terhindar dari ancaman pencopotan. Salah satunya dengan memberlakukan pembatasan sosial berskala mikro (PSBM) dengan minta ketegasan wilayah tidak menerima tamu dari luar daerah.
Terlebih saat ini Cimahi sedang berada di zona merah atau risiko penularan tinggi COVID-19. Secara komulatif angka positif COVID-19 mencapai 823 kasus. Rinciannya 237 orang positif aktif, 562 kasus positif sembuh, dan 24 kasus meninggal dunia akibat COVID-19. "Pemberlakuan PSBM salah satu penegakan prokes, karena kasus di Cimahi kebanyakan impor," terangnya.
Dia mengakui salah satu sumber penyebaran COVID-19 yang masih sulit dihilangkan yakni kerumunan masyarakat saat beraktivitas di luar rumah terutama ketika ke pusat perbelanjaan atau berwisata. Sedangkan untuk kebiasaan memakai masker dan cuci tangan sudah semakin membaik.
"Kerumunan itu yang sulit dihindari, seperti hajatan, belanja, dan wisata. Makanya kami bakal memperketat perizinan kegiatan masyarakat terutama ketika diketahui bakal menimbulkan kerumunan massa," ujarnya.
(shf)