Segudang Filosofi Rumah Limas di Lembaran Uang Rp10 Ribu

Jum'at, 06 November 2020 - 05:00 WIB
loading...
Segudang Filosofi Rumah Limas di Lembaran Uang Rp10 Ribu
Segudang Filosofi Rumah Limas di Lembaran Uang Rp10 Ribu. Foto/Ist
A A A
PALEMBANG - Semua orang pasti pernah melihat gambar Rumah Limas, bangunan rumah khas asal Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) di pecahan uang Rp10 ribu.

Namun, tahukah jika rumah panggung tersebut merupakan rumah yang dilestarikan di Museum Balaputera Dewa yang beralamat di Jalan Srijaya I, Kecamatan Alang-Alang Lebar, Kota Palembang.

Budayawan Sumsel, Erwan Setia Negara mengatakan, tidak hanya berfungsi sebagai hunian saja, Rumah Limas juga mengajarkan banyak nilai-nilai kehidupan.

Di setiap sudut rumah berbentuk panggung dan beratap limas, terkandung filosofi keseimbangan antara manusia, alam dan Tuhan Yang Maha Esa.

Keunikan dan kekayaan nilai-nilai kehidupan inilah, yang membuat Rumah Limas terpilih menjadi salah satu gambar yang diabadikan di lembaran uang Rp10 ribu yang dicetak pertama kali di tahun 2010 lalu.

Rumah Limas awalnya dibangun sekitar tahun 1830 oleh Kepala Suku Bangsa Arab di masa Kolonial Belanda yang bernama Syarif Abdurrahman Al-Habsy.

Banyak etnis yang terlibat dalam pembangunan Rumah Limas, seperti etnis Melayu, Jawa, Islam hingga Tionghoa.

Namun Rumah Limas yang dibangun di masa Kesultanan Palembang Darussalam tersebut, juga sarat akan nilai-nilai budaya Islam. Seperti atap rumah menyerupai tanduk kambing atau biasa disebut simbar.

"Ada 2 simbar yang melambangkan Adam dan Hawa, 3 simbar berarti matahari, bulan dan bintang, lalu 4 simbar berarti empat sahabat nabi, 5 simbar mengisyaratkan jumlah rukun Islam dan 6 simbar menyimbolkan jumlah rukun iman. Sedangkan di setiap sisi atap Rumah Limas mempunyai kemiringan yang sama yaitu 40-60 derajat," ucapnya kepada SINDOnews, Kamis (05/11/2020).

Tiang-tiang kokoh yang menyangga bagian bawah Rumah Limas pun menggambarkan bagaimana hunian ini beradaptasi dengan kontur daerah Palembang. Di masa lalu, hingga 75 persen kawasan Palembang merupakan rawa atau perairan.

Fungsi tiang yang berbahan kayu tembesu ini sendiri, agar bisa dibangun di atas rawa-rawa dan bisa terhindar dari aktifitas binatang buas serta banjir.

Keunikan Rumah Limas tak berhenti di situ saja. Di dalam Rumah Limas, ada berbagai tingkatan yang juga sarat akan filosofi kehidupan.

"Di tingkatan pertama disebut pagar tenggalong, filosofinya sebagai siklus kehidupan. Setiap tingkatan dibatasi oleh Kekinjeng. Bahkan di dinding teras, menggunakan pagar khusus seperti kaca riben. Di mana, orang di dalam bisa melihat aktifitas di luar rumah, sedangkan di luar tidak bisa melihat aktifitas di dalam rumah," kata Erwan.

Menurutnya, pembatas dinding tersebut juga mempunyai filosofi unik. Yaitu, para anak perempuan yang akan dijodohkan ke pria, bisa melihat terlebih dahulu sosok pria tersebut dari luar. Sehingga, budaya ini membuat anak-anak perempuan pada saat itu terjaga kesuciannya.

Ada juga pintu lawang yang berada di atas atap teras, yang bisa diturunkan sebagai dinding pembatas jika ada tamu di teras.

Pintu lawang atau disebut Kiam Kipas, yang membatasi ruang teras dan ruang keluarga. Dan ada juga Lawang Kerek atau Lawang Porotan yang digunakan untuk akses pintu sehari-hari.

"Tingkatan kedua disebut Jogan, yang menjadi ruang penjagaan untuk prajurit. Ada juga gerobak leket yang multifungsi, bisa untuk tempat hiasan dan penyekat antara ruang tengah dan kamar. Serta tingkatan ketiga yaitu ruang gegajah, di mana ruangan ini khusus untuk tamu kehormatan atau orang yang dituakan," ucapnya.

Lalu, di tingkatan ke empat yaitu ruang kerja yang digunakan untuk memasak, menenun dan aktifitas lainnya.

Sedangkan tingkatan ke lima disebut Sesimbur Pengantin, yang biasanya lebih dekat dengan sumber air. Tingkatan ini juga biasanya digunakan untuk toilet di masa lalu, agar bisa lebih dekat dengan Sungai Musi.

Selain tingkatan, ada juga beragam motif ukiran di dinding-dinding Rumah limas. Seperti bunga pakis, yang bisa hidup di tempat yang tidak ada persediaan makanan.

Di mana filosofinya, pemimpin yang bisa mengayomi dan melindungi. Lalu ada ukiran bunga tanjung, yang bermakna ucapan selamat datang, serta ukiran bunga melati berarti kesucian.

Dikatakan juga, adanya dokumentasi di uang Rp10 ribu bisa membantu publikasi dan pelestarian Rumah Limas. (Baca juga: Joglo Citakan, Kesaktian Demang Wonopawiro dan Berdirinya Wonosari)

Sehingga, masyarakat dari generasi ke generasi di Sumsel, bisa mengetahui rumah tradisional daerah. (Baca juga: Mas-mas TRIP Berjuang Hingga Akhir Zaman...)

"Dengan tetap dilestarikannya Rumah Limas di Museum Negeri Sumsel tersebut, diharapkan para generasi muda bisa mempelajari banyak kearifan lokal dan nilai-nilai kehidupan positif, salah satunya saling menghargai antarsesama," ucapnya.

Erwan juga mengungkapkan, sebelum diletakkan di Museum Negeri Sumsel tersebut, Rumah Limas tersebut sudah beberapa kali pindah tangan dari pemilik pertamanya.

Rumah Limas tersebut pernah dihuni oleh Pangeran Punto dari Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir Sumsel, lalu berpindah ke tangan Pangeran Baton dari Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumsel.

Setelah itu, rumah bersejarah ini diambil alih oleh Kolonial Belanda di masa penjajahan dan dijadikan museum bernama Rumah Bari sekitar tahun 1920.

Namun lama-kelamaan, Rumah Limas yang berada di Jalan Merdeka Palembang tersebut akhirnya terbengkalai.
(boy)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1296 seconds (0.1#10.140)