Kerajaan Sunda Pajajaran yang Tak Bisa Ditaklukan Majapahit dan Singasari

Minggu, 18 Oktober 2020 - 05:06 WIB
loading...
Kerajaan Sunda Pajajaran yang Tak Bisa Ditaklukan Majapahit dan Singasari
Peta wilayah Kerajaan Pakuan. Foto/Ist
A A A
BOGOR - Awal mula eksistensi orang-orang Sunda di Indonesia tak bisa dilepaskan dari sejarah Kerajaan Pajajaran. Keteguhan rakyat Kerajaan Pajajaran dalam mempertahankan adat dan budayanya dari pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuat orang Sunda sedikit berbeda dengan orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya.

Sikap Kerajaan Pajajaran yang tidak mau tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus lestari hingga kini. (Baca juga: Sebarkan Hoaks, 3 Petinggi Sunda Empire Jadi Tersangka )

Kerajaan Pajajaran adalah sebuah kerajaan Hindu di Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. (Baca juga: Jalan Dago dan Jalur Tradisional Kerajaan Pajajaran )

Sejarah Kerajaan Pajajaran atau Kerajaan Sunda dimulai pada tahun 1130 Masehi (M) dan berakhir tahun 1579 M.

(Baca juga : Ketika Allah Ta'ala Sakit dan Minta Dijenguk, Begini Takwilnya )

Kerajaan Pajajaran bukanlah kerajaan kecil dan lemah. Sebab dalam riwayatnya diketahui bahwa Kerajaan Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara pun tidak pernah mampu untuk menaklukan Kerajaan Pajajaran.

Padahal luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa. Berbagai wilayah di Jawa dikuasai Kerajaan Majapahit kala itu.

Apabila dulu Pajajaran bisa bekerja sama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa baru.

Pajajaran menguasai wilayah seluas 300 league atau sekitar 1.176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa, Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk.

Kerajaan Sunda Pajajaran yang Tak Bisa Ditaklukan Majapahit dan Singasari


Pusat pemerintahan atau ibu kota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo. Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat saat ini.

Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan perjalanannya Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah, dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.

Kemudian pada 1856, Administrator orientalis dan kolonial John Crawfurd (1783-1868), berhasil memecahkan soal misteri lokasi Kota Dayo. Crawfurd melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries.

“Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti,” jelas Crawfurd.

Kemudian berdasarkan naskah kuno atau prasasti juga Ibu Kota Pajajaran menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan.

Tom Pires (1513 M) di dalam buku berjudul “The Suma Oriental”, menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Sunda disebut dayo (dayeuh) itu terletak sejauh sejauh dua hari perjalanan dari Kalapa (Jakarta). Menurut Laporan VOC, perjalanan dari bekas benteng Pakuan ke muara Ciliwung tempat benteng VOC memakan waktu dua hari.

Sedangkan, Amir Sutaarga (1966) menguraikan tentang asal nama Pakuan yang merujuk pada pendapat beberapa ahli, seperti Holle, Poerbatjaraka dan Tendam.

Menurut Holle arti kata Pakwa Pajajaran berasal dari kata paku (pohon paku, pakis), sehingga Pakuan Pajajaran akan berarti : “tempat yang ada jajaran pohon-pohon paku”, sedangkan menurut Prof Poerbatjaraka, kata Pakwan sama dengan ‘hof’ (istana, dalam bahasa jawa ‘pakuwon’ artinya tempat kediaman) yang berasal dari kata ‘kuwu’ Pakuwuan (bahasa kawi klasik Pakuwwan) dengan lidah Urang Sunda Pakuan akhiranya menjadi Pakwan.

Penafsiran lain dari karangan Tendam, yang menyatakan, bahwa kata paku harus dihubungkan dengan lingga kerajaan yang ada di sebelah Prasasti Batutulis.

Paku dalam arti lingga sesuai dengan penafiran zamannya ketika itu berarti sumbu jagat dan hubungannya memang erat dengan kedudukan raja masa itu, yakni pusat jagat, pusat kosmos di dunia, yang mewakili dewa tertinggi yang jadi pusat jagat. Tendam secara tegas membedakan antara ‘pakwan’ dan ‘kadatwan’.

Kerajaan Sunda Pajajaran yang Tak Bisa Ditaklukan Majapahit dan Singasari


Pakwan berarti ibu kota pusat kerajaan yang ada paku-nya, lingganya, sedangkan kadatwan ialah keratonnya. Kadatwan di Pakuan memiliki nama, yakni Sri Bima Untarayana Madura Suradipati.

Lokasi Keraton Pakuan terletak pada lahan lemah duwur. Yakni di atas bukit yang diapit oleh tiga batang sungai berlereng curam, yakni Cisadane, Ciliwung (Cihaliwung) dan Cipaku (anak Cisadane).

Kemudian, di tengahnya mengalir Sungai Cipakancilan yang ke bagian hulu sungainya bernama Ciawi.

Pakuan terlindung oleh lereng terjal pada ketiga sisinya, namun di sisi tenggara kota berbatasan dengan tanah datar dan terdapat benteng (kuta) yang paling besar, pada bagian luar benteng terdapat parit yang merupakan bentuk negatif dari benteng tersebut. Tanah galian parit itulah yang diperkirakan untuk dijadikan bahan pembangunan benteng.

Konon kabarnya dihias dengan kraton Sri Bima, telaga panjang Sang Hiyang Talaga Rena Mahawijaya atau Sanghyang Kamala Rena Wijaya, dengan Taman Milakancana dekat Hutan Songgong tempat punden pusat pemujaan penduduk Pakuan Pajajaran.

Jaln ke arah Pakuan Pajajaran dibuat jalan-jalan besar yang dapat dilalui gerobak-gerobak dan beberapa kilometer. Hal ini bila dilihat ke arah utara Muaraberes di Kali Ciliwung masih ada bekas-bekas dermaga.

Begitu juga di Ciampea, di sebelah barat dari Pakuan, di Kali Cisadane semestinya akan dapat ditemukan bekas-bekas peninggalan dermaga atau sistim pertahanan, karena kedua tempat itu adalah batas sungai yang dapat dilayari sampai ke muara Laut Jawa, pintu gerbang menuju pedalaman.

Kemudian dari arah Pakuan ada sebuah jalan yang dapat melalui Cileungsi atau Cibarusa, Warunggede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwakarta, Sagalaherang, terus ke Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga Kawali dan ke pusat Kerajaan Galuh Pakuan di sekitar Ciamis dan Bojong Galuh.

Ibu Kota Pajajaran sempat berpindah-pindah. Secara kronologis berada di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan. Ibu kota Pajaran dibagi ke dalam dua bagian. Yaitu Kota bagian Dalam dan Kota bagian Luar. Kota Dalam dan Kota Luar dibatasi benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.

Kerajaan Sunda Pajajaran yang Tak Bisa Ditaklukan Majapahit dan Singasari


Struktur Ibu Kota Pajajaran diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, dan Cirebon).

Pada tahun 1579 Masehi Kerajaan Pajajaran hancur oleh pasukan Kerajaan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.
(nth)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1096 seconds (0.1#10.140)