Menabuh Periuk Nasi di Tengah Pandemi

Rabu, 14 Oktober 2020 - 03:32 WIB
loading...
Menabuh Periuk Nasi...
Warga Surabaya, masih bertahan dengan terus kreatif dari tiap perkampungan selama masa pandemi COVID-19. Mereka masih menyisahkan harapan untuk menambah pundi rupiah dan anaknya terus sekolah. Foto/SINDOnews/Aan Haryono
A A A
SURABAYA - Langit Surabaya , masih berwarna merah ketika jutaan warganya mencoba untuk bertahan di tengah pandemi COVID-19 . Dari berbagai perkampungan kecil itu, mereka bersatu untuk mengencangkan otot dan membuka matanya lebar-lebar melihat peluang yang tersisa, menabuh kembali periuk nasi untuk bisa bertahan di tengah pandemi.

(Baca juga: Ambil Paksa Jenazah COVID-19, Aktivis Banyuwangi Ditahan Polisi )

Di tengah senja merah dan hangat di ujung musim kemarau, suara mobil ambulans masih meraung di berbagai perkampungan di Kota Pahlawan . Membungkus linangan air mata yang tumpah dari keluarga-keluarga yang ditinggalkan.

Era pandemi saat ini bagi warga sudah menjadi The Battle of Surabaya . Menembus batas ingatan mereka tentang pertempuran Surabaya yang dilakukan tentara dan arek-arek Surabaya melawan kolonial dan sekutu. Pada 10 November 1945, arek-arek Surabaya membuktikan keyakinan dan persatuan mampu menjadi kunci pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah revolusi nasional Indonesia atas kolonialisme.

Spirit itu kini menancap di tiap perkampungan Surabaya , mereka kembali menanamkan genderang perlawanan dalam sebuah perang yang berbeda, perang melawan sebaran virus yang melumpuhkan keutuhan keluarga, ekonomi warga, kelanjutan pendidikan anak-anak dan segala sisi kemanusiaan lainnya selama tujuh bulan terakhir.

(Baca juga: Tak Ada Biaya Operasi, Bayi Meninggal Akibat Kelainan Jantung )

Menyerah bukan menjadi sifat asli bangsa ini, di tengah kebiasaan baru, warga mulai bersiasat untuk bisa menjadi pemenang. Memastikan mereka sehat dan terus membangun kembali pundi-pundi ekonomi keluarga dan menabuh periuk nasi di rumah biar kembali mengepul untuk melanjutkan kehidupan.

Seperti layaknya perang, di era pandemi semua menerapkan siasat. Para pelaku usaha kecil di perkampungan menolak untuk binasa. Dari tiap pintu rumah, mereka tetap berproduksi, melanjutkan usaha dalam menyambung tali kehidupan.

Menabuh Periuk Nasi di Tengah Pandemi


Istibsaroh (47), baru selesai menjemur baju di teras rumah ketika Hendriawan (49), suaminya datang dengan wajah yang ditekuk mencoba memarkir sepeda motornya tepat di depan pagar. Ia segera bergegas untuk masuk ke rumah. Jarum jam belum menunjukan pukul 15.00 WIB, ketika matahari menerobos masuk ke celah-celah rumah dengan begitu terik dan angin yang berhembus kencang.

"Kok cepat pulangnya, mas?" Kata Isti, sambi menatap suaminya yang tak merespon pertanyaan itu. Bergegas saja ia masuk ke dalam rumah dan meletakan jaket hitamnya di bahu kursi sambil mencoba mengambil segelas air minum di ujung dapur, Selasa (13/10/2020).

(Baca juga: Bandara Kembali Normal, Konsumsi Avtur di Sulawesi Berangsur Naik )

Hendri kini duduk di kursi tamu kecil berwarna coklat tua yang busanya sudah kempes termakan zaman. Lehernya mulai disandarkan, melihat langit-langit rumah dengan tatapan kosong, berharap semua yang terjadi hari ini hanyalah mimpi, ia pun tinggal bangun dan melupakan mimpi buruk itu sembari mengusap mukanya dengan air yang dingin.

Derap langkah kaki terdengar dari luar ketika Isti mencoba membuka pintu ruang tamu, sebuah bak kecil untuk menampung jemuran dipegang erat sambil melihat suaminya yang masih duduk dan terdengar ia menarik nafas dalam-dalam sambil melihatnya. "Aku kena PHK Bu, kantor sepi orderan, ada 70 orang yang diberhentikan," kata Hendri pada istrinya dalam tatapan kosong.

Sudah hampir 21 tahun ini Hendri bekerja di sebuah perusahaan yang mengarap instalasi listrik rumah dan industri. Sejak pandemi, order pemesanan instalasi turun drastis. Perusahaannya tak mampu lagi mempertahankan jumlah teknisi yang jumlahnya ratusan orang. Sebagian besar harus diputus kontraknya untuk bisa meringankan beban keuangan perusahaan.

Mendengar kabar itu, Isti mulai lemas. Kakinya seperti lumpuh ketika dirinya ikut duduk di lantai ruang tamu kecil yang berukuran 3x4 meter itu. Suasana hening mengelayuti mereka berdua, siang yang terik semakin bergemuruh dalam pikiran mereka.

Isti langsung teringat pada dua anaknya yang masih duduk di bangku SMP dan SD. Meskipun sekolahnya dilakukan secara daring, ia masih harus menyediakan biaya pendidikan, perangkat alat daring dan kuota internet yang harus terus terisi setiap hari.

(Baca juga: Tak Bisa Menahan Nafsu Birahi, Kakek Ini Hamili Gadis 14 Tahun )

Ia harus tegar, tak boleh terlihat goyah di depan anak-anaknya. Dalam situasi pandemi, dirinya begitu memahami bagaimana kondisi anak-anak demikian terguncang saat ini. Apalagi kalau ditambah mendengar orang tuanya kena PHK dan tak lagi kerja. Kesehatan mental anak harus bisa dijaga, mereka sudah lelah belajar di rumah dan tak lagi bermain dengan teman-teman sebayanya selama pandemi ini.

Menabuh Periuk Nasi di Tengah Pandemi


Kehidupan harus terus dilanjutkan dan bentang harapan tak boleh surut. Sisa kekuatan dijadikan sebagai peluang untuk menaklukan kehidupan, dari dapur rumahnya, Isti mengajak sang suami untuk membantunya terus mendulang rejeki. Dari dapur, mereka berdua menjemput rejeki dengan memproduksi kue lapis dan minuman beras kencur.

Bantuan permodalan serta pendampingan dari Pertamina menjadi pemantik bagi mereka untuk mengembangkan usaha. Perlahan Hendri terbiasa dengan pekerjaan barunya bersama sang istri untuk mengembangkan usaha sendiri. Belajar packaging dan distribusi barang ke berbagai toko makanan. "Kebutuhan rumah kini terpenuhi, di tengah masa sulit kami masih bisa meraup rejeki," jelas warga Jambangan ini.

Romlah (53), tetangganya, juga tak gentar menghadapi kebiasaan baru di era pandemi COVID-19 . Ia tak lagi berjualan di pasar Jambangan ketika pandemi datang. Dari halaman rumahnya yang sempit, ia mencoba peruntungan dengan membuat kolam lele berukuran 1 x 4 meter. "Saya tetap bisa dapat uang, tapi yang penting bisa sehat. Kehidupan bisa terus berjalan," katanya.

Perempuan yang memiliki rambut sebahu itu menambah nilai jual lele. Ia tak hanya menjual lele dalam keadaan hidup di pasar, tapi juga mengolahnya menjadi barang bernilai tinggi dengan menjadi abon. (Baca juga: Cari Ikan di Pantai Criwik, Pria 70 Tahun Dilaporkan Hilang )

Sebelumnya, ia mencoba belajar cara membuat abon lele ketika Pertamina memiliki pendampingan di kawasan Jambangan. Kalau lele hanya dijual hidup, keuntungannya tak bisa berlebih. "Kalau jadi abon bisa disimpan dan dikirim ke berbagai daerah, banyak anak-anak juga suka dan nilai gizinya tinggi," tambahnya.

Wali Kota Surabaya , Tri Rismaharini mengatakan, ketahanan pangan dan kreatifitas warga untuk terus berjuang di sektor ekonomi harus dijaga selama pandemi. Mereka bisa menanam di tiap rumah maupun memulai usaha yang terus mampu mendulang keuntungan. "Akan berat kalau kita masuk ke masa resesi. Jadi kita harus kuat untuk bisa menjaga perekonomian warga," kata Risma.
(eyt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1480 seconds (0.1#10.140)