Paling Terdampak COVID-19, UMKM Desak RUU Cipta Kerja Segera Disahkan
loading...
A
A
A
SEMARANG - Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut UMKM berkontribusi besar pada perekenomian nasional dan menyerap tenaga kerja paling banyak. UMKM menyumbang 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan menyerap 97 persen tenaga kerja.
Namun hal itu berbanding terbalik dengan layanan finansial yang diperoleh sektor UMKM. Porsi kredit UMKM dari perbankan hanya 19,6%. Dan itu sebagian besar dari bank-bank BUMN. (Baca: Bangun Kemandirian UMKM Jateng-DIY, Pertamina Gelontor Rp19 M)
"Akses finansial itu antara lain yang membuat sektor usaha mikro masih mendominasi UMKM kita selama 10 tahun terakhir. UMKM yang mampu terlibat dalam rantai perdagangan di Asia Tenggara juga cuma 6,3 persen," kata Juru Bicara Kementerian Keuangan Yustinus Prastowo, Jumat (25/9/2020).
Selama pandemi, ungkap dia, sektor usaha kecil dan menengah ini juga yang paling keras terdampak. Catatan Kemenkeu, sektor Usaha Menengah-Besar yang terdadmpak 82 persen. Sementara sektor Usaha Menengah Kecil yang terdampak 84 persen.
Dalam catatan Kemenkeu, tiga sektor usaha kecil dan menengah yang paling terdampak wabah adalah sektor akomodasi dan makan-minum (92,47%), sektor transportasi dan pergudangan (90,34%), dan sektor lainnya (90,34%).
Berdasar hasil kajian LIPI terakhir terkait dampak pandemi terhadap kinerja UMKM, Yustinus menyampaikan bahwa usaha yang relatif kurang terdampak pandemi adalah usaha yang berbasis online. "Sementara usaha mikro dan kecil umumnya masih mengandalkan toko/kios/lapak fisik," ujarnya.
Kajian LIPI menyebut bidang usaha yang paling besar penurunan penjualan di masa pandemi adalah industri pengolahan. Lebih 35 persen pelaku di industri pengolahan ini mengalami penurunan penjualan lebih dari 75%. Disusul bidang usaha perdagangan besar dan eceran.
Hampir 20 persen usaha di bidang ini mengalami penurunan penjulan di atas 75 persen. "Kondisi-kondisi seperti di atas, menjadikan sektor UMKM termasuk klaster pokok dalam RUU Cipta Kerja," terangnya.
Menurutnya, tujuan pokok klaster UMKM dalam RUU Cipta Kerja, tambah Yustinus, adalah untuk meningkatkan kemudahan, lebih memberdayakan, dan meningkatkan perlindungan terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah.
"Upaya pemberdayaan UMKM yang terdapat dalam RUU Cipta Kerja tidak bertujuan hanya parsial, tapi hendak membangun ekosistem dengan regulasi yang bagus, berkepastian hukum. RUU Cipta Kerja tidak hanya menyentuh perizinan, tapi juga permodalan, sistem pembayaran, dan juga kemitraannya dengan usaha besar," jelas Yustinus.
Dalam hal perizinan, RUU Cipta Kerja akan memberlakukan perizinan tunggal. Selama ini perizinan bagi UMKM terlalu banyak. Ada SNI, perizinan berusaha, izin edar, sertifikasi halal, dan lain-lain. "Dengan RUU Cipta Kerja, perisinan bagi UMKM cukup satu tapi bisa digunakan untuk semuanya. Dengan demikian akan lebih efisien dan memudahkan bagi pelaku usaha," tandas Prastowo.
RUU Cipta Kerja juga akan mendorong Pemerintah untuk memperbaiki basis data terkait UMKM dan pengelolaannya dibuat lebih terpadu. "Selama ini data terkait UMKM berserak di berbagai kementerian. Sehingga pengelolaan dan pembinaannya sering tidak tepat sasaran," ucapnya.
RUU juga dipastikan akan memberi berbagai insentif untuk pemberdayaan UMKM. Insentif tersebut berupa pengurangan pajak penghasilan, subsidi biaya perizinan, hinggga insentif kepabeanan (bea masuk).
Selain membangun akses permodalan lewat kemudahan jaminan kredit, RUU Cipta Kerja juga akan menyediakan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK ini disediakan sebagai bentuk dukungan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk memberdayakan dan mengembangkan UMKM. "Dengan DAK ini, Pemda diharapkan punya cukup sumber daya untuk memberdayakan dan mengembangkan UMKM," tambah Prastowo.
RUU Cipta Kerja juga mengatur soal kemitraan UMKM dengan usaha besar. "Ada mandat yang jelas agar Pemerintah dan Pemerintah Daerah lebih aktif mendorong kemitraan. Supaya UMKM tidak lagi hanya di pinggiran, tapi juga menyentuh bisnis inti.
Dengan begitu, UMKM bisa menjadi industri komponen bagi usaha menengah dan besar,' sebutnya. Karena itu, pihaknya sangat menunggu RUU Cipta Kerja ini bisa diselesaikan secepatnya. Supaya pelaku UMKM segera berdaya dan naik kelas.
Ketua Kadin Kota Semarang, Arnaz Agung Andrarasmara mengungkapkan, pengusaha UMKM saat ini membutuhkan regulasi-regulasi yang pro kepada mereka. Selain itu, perlu ada mentoring atau pendampingan dari pengusaha yang sudah berhasil kepada mereka yang akan merintis usaha seperti UMKM.
"Sekarang upaya kita adalah bagaimana mendorong regulasi yang pro UMKM, bagaimana mendorong regulasi khususnya dalam hal permodalan. Nah, inilah sebenarnya regulasi-regulasi yang pro pengusaha UMKM yang dijawab oleh Pak Yustinus keterkaitannya dengan RUU Cipta Kerja," ungkap Arnaz.
Namun, meski secara regulasi ini akan memudahkan pelaku usaha UMKM baik yang sudah ada mauoun yang akan muncul, tapi yang juga penting adalah bagaimana menyiapkan mentoring-mentoring bagi para pengusaha-pengusaha baru itu. (Baca:RUU Cipta Kerja Jadi Cara Menjaring Investasi Berorientasi Ekspor )
"Jadi harus seimbang, RUU Cipta Kerja meringankan peijinan-perijinan dan ini akan melahirkan pengusaha-pengusaha baru, tapi mentoring-mentoring dari pengusaha yang sudah jadi kepada mereka yang akan merintis usaha juga harus dikuatkan. Kalau tidak, misal muncul 10 pengusaha baru tapi tidak didampingi dengan benar yang rontok juga," jelasnya.
Ia menambahkan, kelemahan pengusaha baru termasuk UMKM adalah pada sisi perilaku administrasi. Pertumbuhan UMKM di Kota Semarang sendiri menurut Arnaz, dari sebelumnya setiap tahun naik 2-3 persen, justru saat kondisi sekarang juga malah naik bukan turun. Karena ada yang dulunya kerja di perusahaan lalu dirumahkan, sekarang beralih menjadi pengusaha pemula.
Sementara itu, pelaku UMKM di Kota Semarang, Naneth Ekopriyono mengungkapkan, UMKM di Indonesia selama 10 tahun terakhir masih stagnan. Meskipun tumbuh tapi kelasnya itu masih jalan di tempat. RUU Cipta Kerja yang sekarang sedang dibahas di DPR diharapkan bisa memacu Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk naik kelas.
Menurutnya, RUU Cipta Kerja diharapkan bisa membuat mereka yang membuka usaha UMKM tidak hanya mengandalkan bantuan tapi benar-benar naik menjadi lebih baik, skalanya tidak stagnan. Untuk itu sekarang harus dirubah metodenya, dari yang dulunya hanya pelatihan, sekarang harus juga ada pendampingan.
"Meski UU nomor 20 tahun 2008 sudah mengatur bahwa pembedaan pelaku usaha antara mikro, kecil, dan menengah itu ada pada aset, namun ternyata ada juga yang nano. Nah, bagaimana membedakan secara jelas antara pelaku usaha. Kalau ada pemetaan yang jelas maka bantuan tidak akan salah alamat," jelasnya.
Sementara itu Kepala Dinas Koperasi Kota Semarang, Bambang Suranggono yang menjadi pembicara mengatakan, Pemerintah Kota Semarang telah menyiapkan berbagai program untuk memberdayakan pengusaha UMKM. Diantaranya memberi pendampingan atau mentoring, dan bekerjasama dengan pengusaha retail agar produk mereka bisa masuk, juga bersinergu dengan marketplace.
Namun hal itu berbanding terbalik dengan layanan finansial yang diperoleh sektor UMKM. Porsi kredit UMKM dari perbankan hanya 19,6%. Dan itu sebagian besar dari bank-bank BUMN. (Baca: Bangun Kemandirian UMKM Jateng-DIY, Pertamina Gelontor Rp19 M)
"Akses finansial itu antara lain yang membuat sektor usaha mikro masih mendominasi UMKM kita selama 10 tahun terakhir. UMKM yang mampu terlibat dalam rantai perdagangan di Asia Tenggara juga cuma 6,3 persen," kata Juru Bicara Kementerian Keuangan Yustinus Prastowo, Jumat (25/9/2020).
Selama pandemi, ungkap dia, sektor usaha kecil dan menengah ini juga yang paling keras terdampak. Catatan Kemenkeu, sektor Usaha Menengah-Besar yang terdadmpak 82 persen. Sementara sektor Usaha Menengah Kecil yang terdampak 84 persen.
Dalam catatan Kemenkeu, tiga sektor usaha kecil dan menengah yang paling terdampak wabah adalah sektor akomodasi dan makan-minum (92,47%), sektor transportasi dan pergudangan (90,34%), dan sektor lainnya (90,34%).
Berdasar hasil kajian LIPI terakhir terkait dampak pandemi terhadap kinerja UMKM, Yustinus menyampaikan bahwa usaha yang relatif kurang terdampak pandemi adalah usaha yang berbasis online. "Sementara usaha mikro dan kecil umumnya masih mengandalkan toko/kios/lapak fisik," ujarnya.
Kajian LIPI menyebut bidang usaha yang paling besar penurunan penjualan di masa pandemi adalah industri pengolahan. Lebih 35 persen pelaku di industri pengolahan ini mengalami penurunan penjualan lebih dari 75%. Disusul bidang usaha perdagangan besar dan eceran.
Hampir 20 persen usaha di bidang ini mengalami penurunan penjulan di atas 75 persen. "Kondisi-kondisi seperti di atas, menjadikan sektor UMKM termasuk klaster pokok dalam RUU Cipta Kerja," terangnya.
Menurutnya, tujuan pokok klaster UMKM dalam RUU Cipta Kerja, tambah Yustinus, adalah untuk meningkatkan kemudahan, lebih memberdayakan, dan meningkatkan perlindungan terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah.
"Upaya pemberdayaan UMKM yang terdapat dalam RUU Cipta Kerja tidak bertujuan hanya parsial, tapi hendak membangun ekosistem dengan regulasi yang bagus, berkepastian hukum. RUU Cipta Kerja tidak hanya menyentuh perizinan, tapi juga permodalan, sistem pembayaran, dan juga kemitraannya dengan usaha besar," jelas Yustinus.
Dalam hal perizinan, RUU Cipta Kerja akan memberlakukan perizinan tunggal. Selama ini perizinan bagi UMKM terlalu banyak. Ada SNI, perizinan berusaha, izin edar, sertifikasi halal, dan lain-lain. "Dengan RUU Cipta Kerja, perisinan bagi UMKM cukup satu tapi bisa digunakan untuk semuanya. Dengan demikian akan lebih efisien dan memudahkan bagi pelaku usaha," tandas Prastowo.
RUU Cipta Kerja juga akan mendorong Pemerintah untuk memperbaiki basis data terkait UMKM dan pengelolaannya dibuat lebih terpadu. "Selama ini data terkait UMKM berserak di berbagai kementerian. Sehingga pengelolaan dan pembinaannya sering tidak tepat sasaran," ucapnya.
RUU juga dipastikan akan memberi berbagai insentif untuk pemberdayaan UMKM. Insentif tersebut berupa pengurangan pajak penghasilan, subsidi biaya perizinan, hinggga insentif kepabeanan (bea masuk).
Selain membangun akses permodalan lewat kemudahan jaminan kredit, RUU Cipta Kerja juga akan menyediakan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK ini disediakan sebagai bentuk dukungan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk memberdayakan dan mengembangkan UMKM. "Dengan DAK ini, Pemda diharapkan punya cukup sumber daya untuk memberdayakan dan mengembangkan UMKM," tambah Prastowo.
RUU Cipta Kerja juga mengatur soal kemitraan UMKM dengan usaha besar. "Ada mandat yang jelas agar Pemerintah dan Pemerintah Daerah lebih aktif mendorong kemitraan. Supaya UMKM tidak lagi hanya di pinggiran, tapi juga menyentuh bisnis inti.
Dengan begitu, UMKM bisa menjadi industri komponen bagi usaha menengah dan besar,' sebutnya. Karena itu, pihaknya sangat menunggu RUU Cipta Kerja ini bisa diselesaikan secepatnya. Supaya pelaku UMKM segera berdaya dan naik kelas.
Ketua Kadin Kota Semarang, Arnaz Agung Andrarasmara mengungkapkan, pengusaha UMKM saat ini membutuhkan regulasi-regulasi yang pro kepada mereka. Selain itu, perlu ada mentoring atau pendampingan dari pengusaha yang sudah berhasil kepada mereka yang akan merintis usaha seperti UMKM.
"Sekarang upaya kita adalah bagaimana mendorong regulasi yang pro UMKM, bagaimana mendorong regulasi khususnya dalam hal permodalan. Nah, inilah sebenarnya regulasi-regulasi yang pro pengusaha UMKM yang dijawab oleh Pak Yustinus keterkaitannya dengan RUU Cipta Kerja," ungkap Arnaz.
Namun, meski secara regulasi ini akan memudahkan pelaku usaha UMKM baik yang sudah ada mauoun yang akan muncul, tapi yang juga penting adalah bagaimana menyiapkan mentoring-mentoring bagi para pengusaha-pengusaha baru itu. (Baca:RUU Cipta Kerja Jadi Cara Menjaring Investasi Berorientasi Ekspor )
"Jadi harus seimbang, RUU Cipta Kerja meringankan peijinan-perijinan dan ini akan melahirkan pengusaha-pengusaha baru, tapi mentoring-mentoring dari pengusaha yang sudah jadi kepada mereka yang akan merintis usaha juga harus dikuatkan. Kalau tidak, misal muncul 10 pengusaha baru tapi tidak didampingi dengan benar yang rontok juga," jelasnya.
Ia menambahkan, kelemahan pengusaha baru termasuk UMKM adalah pada sisi perilaku administrasi. Pertumbuhan UMKM di Kota Semarang sendiri menurut Arnaz, dari sebelumnya setiap tahun naik 2-3 persen, justru saat kondisi sekarang juga malah naik bukan turun. Karena ada yang dulunya kerja di perusahaan lalu dirumahkan, sekarang beralih menjadi pengusaha pemula.
Sementara itu, pelaku UMKM di Kota Semarang, Naneth Ekopriyono mengungkapkan, UMKM di Indonesia selama 10 tahun terakhir masih stagnan. Meskipun tumbuh tapi kelasnya itu masih jalan di tempat. RUU Cipta Kerja yang sekarang sedang dibahas di DPR diharapkan bisa memacu Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk naik kelas.
Menurutnya, RUU Cipta Kerja diharapkan bisa membuat mereka yang membuka usaha UMKM tidak hanya mengandalkan bantuan tapi benar-benar naik menjadi lebih baik, skalanya tidak stagnan. Untuk itu sekarang harus dirubah metodenya, dari yang dulunya hanya pelatihan, sekarang harus juga ada pendampingan.
"Meski UU nomor 20 tahun 2008 sudah mengatur bahwa pembedaan pelaku usaha antara mikro, kecil, dan menengah itu ada pada aset, namun ternyata ada juga yang nano. Nah, bagaimana membedakan secara jelas antara pelaku usaha. Kalau ada pemetaan yang jelas maka bantuan tidak akan salah alamat," jelasnya.
Sementara itu Kepala Dinas Koperasi Kota Semarang, Bambang Suranggono yang menjadi pembicara mengatakan, Pemerintah Kota Semarang telah menyiapkan berbagai program untuk memberdayakan pengusaha UMKM. Diantaranya memberi pendampingan atau mentoring, dan bekerjasama dengan pengusaha retail agar produk mereka bisa masuk, juga bersinergu dengan marketplace.
(don)