Perjuangkan Tanah, 2 Nenek dari Manado Bakal Mengadu ke Bareskrim

Senin, 02 Maret 2020 - 19:40 WIB
Perjuangkan Tanah, 2 Nenek dari Manado Bakal Mengadu ke Bareskrim
Perjuangkan Tanah, 2 Nenek dari Manado Bakal Mengadu ke Bareskrim
A A A
MANADO - Regina Pinontoan (71) dan Theresia Pinontoan (69) siap melaporkan kasus dugaan penyerobotan dan perusakan lahan mereka seluas 2,1 hektare di Paniki Bawah, Mapanget, Kota Manado ke Bareskrim Polri.

"Sudah hampir 30 tahun kami berupaya mengurus sertifikat atas tanah tersebut, tapi terbentur oleh intimidasi yang dilakukan oknum aparat keamanan yang disuruh menjaga tanah itu. Kami tak pernah bisa memasuki tanah kami sendiri,” tutur Oma Regina, sapaan karibnya, yang diamini sang adik, Theresia, sesaat setelah tiba di Jakarta, Sabtu (29/2/2020). (Baca juga: Polemik Tanah Ulayat di Manggarai NTT, Sejumlah Tokoh Adat Ungkap Sejarah)

Peristiwa bermula pada 1990, ketika Regina dan Theresia menerima tanah warisan dari orang tuanya, Antonius Nelwan Pinontoan. Selain mereka, awalnya ada dua adik lelaki yang juga ahli waris, yakni Aloysius dan Frice Pinontoan. Namun keduanya sudah meninggal dunia.

Tanah tersebut belum bersertifikat. Satu-satunya alas hak yang mereka miliki adalah Akta Jual Beli (AJB) saat Antonius Pinontoan, orangtua mereka, membeli tanah tersebut dari Buda Pinontoan pada 1969. AJB yang ditandatangani Lurah Paniki Bawah tersebut tercatat dalam register desa.

Selain tanah 2,1 hektare, di sebelahnya juga terdapat tanah lain milik keluarga Pinontoan seluas 7 hektare. Sejak 1969 hingga 1990, kedua lahan ditanami pohon kelapa, cengkeh, dan pala. Sampai kemudian, terjadi penjualan atas lahan yang 7 hektare kepada sebuah perusahaan yang berpusat di Jakarta.

"Yang dijual cuma tanah yang 7 hektare. Tanah yang 2,1 hektare tidak pernah kami jual. Bahkan, sejak dibeli mereka pada 1990, tanah yang 7 hektare itu sampai sekarang baru dibayar separuh,” tutur Theresia.

Jika didasarkan pada kondisi saat ini, harga pasar untuk tanah di lokasi dalam Kota Manado itu mencapai Rp 5 juta per meter persegi. Sementara Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tercatat Rp 3 juta per meter persegi. Artinya, dengan luas 2,1 hektare, harga pasarnya setara dengan Rp 105 miliar.

Masalah muncul karena sejak tanah yang 2,1 hektare pun seperti ikut diakuisisi. Selain dijaga oknum aparat keamanan, pepohonan di lokasi itu pun dirusak, ditebang, sehingga tak menghasilkan lagi. Regina yang pensiunan guru SD dan Theresia yang pensiunan pegawai bea cukai, mengaku tak bisa berbuat apa-apa. "Kami cuma orang kecil, warga kampung yang enggak berdaya," ungkap Regina.

Rencananya, pekan ini mereka akan mendatangi Bareskrim Polri untuk mengadukan kasus penyerobotan dan perusakan lahan milik mereka. "Selain melapor, kami juga minta bantuan agar hak-hak kami dikembalikan. Atau, kalau mau dibayar, ya tolong segera dibayar," ujarnya.
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.0134 seconds (0.1#10.140)