Kisah Jenderal Kopassus AM Hendropriyono Ketemu Mantan Musuh Bebuyutan Bong Kee Chok saat Reuni
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sepak terjang Jenderal Kopassus Abdullah Mahmud (AM) Hendropriyono dikenal pemberani dan tangguh dalam penugasan di sejumlah medan operasi hingga menorehkan sejumlah prestasi.
Hendropriyono yang pernah menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) merupakan tokoh militer TNI AD, khususnya di Kesatuan Korps Baret Merah Kopassus.
Abituren Akademi Militer Nasional (AMN) sekarang bernama Akademi Militer (Akmil) tahun 1967 ini pernah memiliki pengalaman menegangkan dalam operasi penumpasan kelompok bersenjata Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS)/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku).
Kala itu PGRS/Paraku dipimpin Boong Kee Chok alias Yusuf Said yang bergerilya di belantara hutan Kalimantan.
Dikutip dalam buku biografi berjudul “Operasi Sandi Yudha”, Hendropriyono yang kala itu berpangkat Kapten bersama pasukannya harus merayap di belantara hutan Kalimantan yang sangat lebat dan belum terjamah.
Pasukan yang dipimpin Hendropriyono merayap menuju markas pimpinan pasukan Barisan Rakyat (Bara) Sukirjan alias Siauw Ah San, kelompok bersenjata dari PGRS/Paraku pada 1973 yang berhaluan komunisa.
”Jarak ke sasaran sejauh 4,5 kilometer. Kami harus merayap pada pukul 16.00 melewati semak belukar yang lebat,” kenangnya dikutip SINDOnews, Minggu (1/12/2024).
Saat itu Hendropriyono dipercaya sebagai selaku Komandan Prayudha Halilintar Kopasandha kini bernama Kopassus berusaha mengatur kecepatan merayap pasukannya.
Kode hijau kecepatan merayap 10 meter/menit. Kode kuning, kecepatan merayap 5 meter/menit dan kode merah yang berarti berhenti.
Baru setengah jam merayap, Hendropriyono mendengar suara mendesis yang cukup keras. Suara tersebut ternyata berasal dari seekor ular Cobra cukup besar yang berada tak jauh dari posisinya.
Menghadapi ancaman ular mematikan, dia dan pasukannya memilih dia tak bergerak. Mereka "membeku" selama beberapa saat hingga ular Cobra tak mampu mengendus dan akhirnya melintas pergi.
Ketegangan belum berakhir, kali ini setelah merayap selama 5 jam di tengah malam yang dingin dan gelap gulita, mertua dari mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Andika Perkasa ini akhirnya bisa mendekati sasaran.
“Tak terasa sudah lebih lima jam lamanya kami merayap. Saya lihat arloji menunjukkan waktu pukul 22.25 berarti masih jauh untuk membuka serangan pada jam 04.00. Berarti kami harus membeku lumayan lama di malam hari yang gelap dan dingin,” tuturnya.
Setelah menunggu cukup lama, target yang diburu pun akhirnya datang. Tanpa menunggu lama, Hendropriyono bersama anak buahnya langsung melakukan penyergapan ke dalam markas musuh.
Duel maut antara Hendropriyono dengan Sukirjan alias Siauw Ah San tidak terelakkan. Dalam pertarungan tersebut, jari kelingking mantan Pangdam Jaya ini nyaris putus akibat terkena sabetan bayonet.
Pangkal paha kiri Hendropriyono juga kena tusuk bayonet hingga terluka menganga.
Dalam duel maut satu lawan satu itu, Hendropriyono akhirnya berhasil mengalahkan musuhnya.
Sukirjan alias Siauw Ah San tewas setelah ditembak oleh Hendropriyono. Meski demikian, akibat luka yang dideritanya cukup parah, mantan Dankodiklat TNI AD ini harus dibawa ke Rumah Sakit Umum (RSU) Kabupaten Mempawah untuk menjalani perawatan medis.
Meski berhasil menembak mati Sukirjan alias Siauw Ah San, namun Boong Kee Chok tokoh utama, penggagas sekaligus pendiri PGRS/Paraku tidak berhasil ditangkap.
Saat menjalani perawatan di rumah sakit Hendropriyono mendapat kabar jika Boong Kee Chok menyerahkan diri.
Seiring perjalanan waktu, pemberontakan PGRS/Paraku berhasil diredam. Meski begitu Hendropriyono tidak pernah bertemu dengan Boong Kee Chok, sosok yang sangat ditakuti dan tersohor di rimba Kalimantan Utara dan Barat.
Momen yang tidak disangka-sangka itupun akhirnya terjadi. Dua orang yang selama ini saling berhadap-hadapan di medan tempur dan berupaya saling membunuh akhirnya bertemu.
Pertemuan di lobi Hotel Four Seasons, Singapura itu berawal dari upaya Mark Wee seorang pemuda Malaysia kelahiran Sarawak, teman Hendropriyono.
Mark Wee menyatakan kesediaannya untuk mempertemukan Hendropriyono dan Boong Kee Chok.
”Betapa ingin saya melihat wajah orang yang 38 tahun lalu kita kejar-kejar bersama seluruh prajurit ABRI,” ucapnya.
Setelah menunggu cukup lama di lobi hotel, tiba-tiba rombongan keluarga Mark Wee tiba. Tampak ayah Mark, Datuk Amar Wee Hood Teck yang duduk di kursi roda didorong istrinya Datin Amar Wee. Kemudian Irene, istri Mark.
Di antara keluarga Mark Wee, tiba-tiba seseorang berkulit gelap legam yang berada di belakang Irene langsung memperkenalkan diri.
"Saya, Bong Kee Chok!". Menyadari yang dihadapannya adalah orang yang selama ini dicari, Hendropriyono sempat terkejut.
”Wow, ini rupanya sang jagoan yang saya tunggu- tunggu. Ternyata ia tidak tinggi, cuma sekitar 163 cm. Kulit dan matanya tidak mencerminkan dia seorang China. Sama sekali saya tak menyangka," sebutnya.
"Berpakaian sederhana dengan potongan rambut ala militer, otot-otot lengan untuk lelaki berusia 70 tahun (saat itu), dengan sorot mata laksana harimau, jelas menunjukkan ia seorang pemimpin, seorang pemberani, dan seorang yang cerdas,” tuturnya.
Perbincangan hangat pun mengalir antara Hendropriyono dengan Bong Kee Chok. Bahkan, Hendropriyono sempat bertanya kepada Bong Kee Chok mengenai jarinya yang putus.
"Mengapa jari tengah dan telunjuk tangan kanan Anda buntung?" Tanya Hendropriyono.
Bong Kee Chok mengangkat dan menunjukkan tangan kanannya.
"Ini? Karena granat tangan tua kiriman dari Indonesia yang meledak di tangan saya sebelum terlempar. Sebagian serpihannya mengenai leher kanan saya dan sebagian lain mengenai lutut kanan saya," ujar Bong Kee Chok seraya menunjukkan bekas-bekas luka yang dalam di tubuhnya.
Begitu juga sebaliknya, Bong Kee Chok juga bertanya dan memperhatikan bekas luka-luka yang dalam di lengan kiri, hasta, kelingking kanan, dan dada kanan Hendropriyono.
“Tentu saja luka yang di paha kiri tidak bisa saya perlihatkan. Kami pun lalu larut dengan berbagai cerita masa lampau yang penuh kenangan yang mengesankan Bong Kee Chok,” kata Hendropriyono.
Pertemuan tersebut bagi Hendropriyono memberikan pengalaman dan pelajaran yang sangat berharga. Sebab perang telah berakhir, dan kini tidak ada lagi rasa dendam dan kebencian pribadi.
Lihat Juga: Kisah Penyatuan Kekuasaan Kerajaan Singasari dan Kediri Tertulis dalam Prasasti Mula-Malurung
Hendropriyono yang pernah menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) merupakan tokoh militer TNI AD, khususnya di Kesatuan Korps Baret Merah Kopassus.
Baca Juga
Abituren Akademi Militer Nasional (AMN) sekarang bernama Akademi Militer (Akmil) tahun 1967 ini pernah memiliki pengalaman menegangkan dalam operasi penumpasan kelompok bersenjata Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS)/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku).
Kala itu PGRS/Paraku dipimpin Boong Kee Chok alias Yusuf Said yang bergerilya di belantara hutan Kalimantan.
Dikutip dalam buku biografi berjudul “Operasi Sandi Yudha”, Hendropriyono yang kala itu berpangkat Kapten bersama pasukannya harus merayap di belantara hutan Kalimantan yang sangat lebat dan belum terjamah.
Pasukan yang dipimpin Hendropriyono merayap menuju markas pimpinan pasukan Barisan Rakyat (Bara) Sukirjan alias Siauw Ah San, kelompok bersenjata dari PGRS/Paraku pada 1973 yang berhaluan komunisa.
”Jarak ke sasaran sejauh 4,5 kilometer. Kami harus merayap pada pukul 16.00 melewati semak belukar yang lebat,” kenangnya dikutip SINDOnews, Minggu (1/12/2024).
Saat itu Hendropriyono dipercaya sebagai selaku Komandan Prayudha Halilintar Kopasandha kini bernama Kopassus berusaha mengatur kecepatan merayap pasukannya.
Kode hijau kecepatan merayap 10 meter/menit. Kode kuning, kecepatan merayap 5 meter/menit dan kode merah yang berarti berhenti.
Baru setengah jam merayap, Hendropriyono mendengar suara mendesis yang cukup keras. Suara tersebut ternyata berasal dari seekor ular Cobra cukup besar yang berada tak jauh dari posisinya.
Menghadapi ancaman ular mematikan, dia dan pasukannya memilih dia tak bergerak. Mereka "membeku" selama beberapa saat hingga ular Cobra tak mampu mengendus dan akhirnya melintas pergi.
Ketegangan belum berakhir, kali ini setelah merayap selama 5 jam di tengah malam yang dingin dan gelap gulita, mertua dari mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Andika Perkasa ini akhirnya bisa mendekati sasaran.
“Tak terasa sudah lebih lima jam lamanya kami merayap. Saya lihat arloji menunjukkan waktu pukul 22.25 berarti masih jauh untuk membuka serangan pada jam 04.00. Berarti kami harus membeku lumayan lama di malam hari yang gelap dan dingin,” tuturnya.
Setelah menunggu cukup lama, target yang diburu pun akhirnya datang. Tanpa menunggu lama, Hendropriyono bersama anak buahnya langsung melakukan penyergapan ke dalam markas musuh.
Duel maut antara Hendropriyono dengan Sukirjan alias Siauw Ah San tidak terelakkan. Dalam pertarungan tersebut, jari kelingking mantan Pangdam Jaya ini nyaris putus akibat terkena sabetan bayonet.
Pangkal paha kiri Hendropriyono juga kena tusuk bayonet hingga terluka menganga.
Dalam duel maut satu lawan satu itu, Hendropriyono akhirnya berhasil mengalahkan musuhnya.
Sukirjan alias Siauw Ah San tewas setelah ditembak oleh Hendropriyono. Meski demikian, akibat luka yang dideritanya cukup parah, mantan Dankodiklat TNI AD ini harus dibawa ke Rumah Sakit Umum (RSU) Kabupaten Mempawah untuk menjalani perawatan medis.
Meski berhasil menembak mati Sukirjan alias Siauw Ah San, namun Boong Kee Chok tokoh utama, penggagas sekaligus pendiri PGRS/Paraku tidak berhasil ditangkap.
Saat menjalani perawatan di rumah sakit Hendropriyono mendapat kabar jika Boong Kee Chok menyerahkan diri.
Seiring perjalanan waktu, pemberontakan PGRS/Paraku berhasil diredam. Meski begitu Hendropriyono tidak pernah bertemu dengan Boong Kee Chok, sosok yang sangat ditakuti dan tersohor di rimba Kalimantan Utara dan Barat.
Momen yang tidak disangka-sangka itupun akhirnya terjadi. Dua orang yang selama ini saling berhadap-hadapan di medan tempur dan berupaya saling membunuh akhirnya bertemu.
Pertemuan di lobi Hotel Four Seasons, Singapura itu berawal dari upaya Mark Wee seorang pemuda Malaysia kelahiran Sarawak, teman Hendropriyono.
Mark Wee menyatakan kesediaannya untuk mempertemukan Hendropriyono dan Boong Kee Chok.
”Betapa ingin saya melihat wajah orang yang 38 tahun lalu kita kejar-kejar bersama seluruh prajurit ABRI,” ucapnya.
Setelah menunggu cukup lama di lobi hotel, tiba-tiba rombongan keluarga Mark Wee tiba. Tampak ayah Mark, Datuk Amar Wee Hood Teck yang duduk di kursi roda didorong istrinya Datin Amar Wee. Kemudian Irene, istri Mark.
Di antara keluarga Mark Wee, tiba-tiba seseorang berkulit gelap legam yang berada di belakang Irene langsung memperkenalkan diri.
"Saya, Bong Kee Chok!". Menyadari yang dihadapannya adalah orang yang selama ini dicari, Hendropriyono sempat terkejut.
”Wow, ini rupanya sang jagoan yang saya tunggu- tunggu. Ternyata ia tidak tinggi, cuma sekitar 163 cm. Kulit dan matanya tidak mencerminkan dia seorang China. Sama sekali saya tak menyangka," sebutnya.
"Berpakaian sederhana dengan potongan rambut ala militer, otot-otot lengan untuk lelaki berusia 70 tahun (saat itu), dengan sorot mata laksana harimau, jelas menunjukkan ia seorang pemimpin, seorang pemberani, dan seorang yang cerdas,” tuturnya.
Perbincangan hangat pun mengalir antara Hendropriyono dengan Bong Kee Chok. Bahkan, Hendropriyono sempat bertanya kepada Bong Kee Chok mengenai jarinya yang putus.
"Mengapa jari tengah dan telunjuk tangan kanan Anda buntung?" Tanya Hendropriyono.
Bong Kee Chok mengangkat dan menunjukkan tangan kanannya.
"Ini? Karena granat tangan tua kiriman dari Indonesia yang meledak di tangan saya sebelum terlempar. Sebagian serpihannya mengenai leher kanan saya dan sebagian lain mengenai lutut kanan saya," ujar Bong Kee Chok seraya menunjukkan bekas-bekas luka yang dalam di tubuhnya.
Begitu juga sebaliknya, Bong Kee Chok juga bertanya dan memperhatikan bekas luka-luka yang dalam di lengan kiri, hasta, kelingking kanan, dan dada kanan Hendropriyono.
“Tentu saja luka yang di paha kiri tidak bisa saya perlihatkan. Kami pun lalu larut dengan berbagai cerita masa lampau yang penuh kenangan yang mengesankan Bong Kee Chok,” kata Hendropriyono.
Pertemuan tersebut bagi Hendropriyono memberikan pengalaman dan pelajaran yang sangat berharga. Sebab perang telah berakhir, dan kini tidak ada lagi rasa dendam dan kebencian pribadi.
Lihat Juga: Kisah Penyatuan Kekuasaan Kerajaan Singasari dan Kediri Tertulis dalam Prasasti Mula-Malurung
(shf)