Kisah Raja Kertanegara Memutasi Para Pejabat Tinggi Istana Kerajaan Singasari Akibat Beda Pendapat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kerajaan Singasari saat dipimpin oleh Kertanagara pernah terjadi gejolak. Saat itu, Raja Kertanagara yang konon berwatak keras kepala kurang bisa mendengarkan masukan dari kabinet di bawahnya. Alhasil beberapa pejabat tinggi terkena dampaknya.
Sejarah mencatat nama Mpu Raganata, Arya Wiraraja yang merupakan ayah dari Ronggolawe, hingga Tumenggung Wirakreti jadi korbannya.
Raja Kertanagara yang merupakan mertua Raden Wijaya dengan keras kepalanya memutasi jabatan tinggi hanya karena perbedaan pendapat dengan Kertanagara.
Mpu Raganata misalnya, dikisahkan adalah orang bijak, jujur, dan pemberani. Tanpa tedeng aling-aling, ia berani mengemukakan keberatan-keberatannya terhadap sikap dan pimpinan Raja Kertanegara.
Hubungannya dengan Raja Kertanagara disamakan dengan hubungan Patih Sri Laksmikirana dengan Prabu Sri Cayapurusa dalam cerita Singhalanggala.
Sikap Mpu Raganata tergolong jujur dan berani membantah atau bahkan mengkritik sang raja. Hal yang membuat Kertanagara tak lagi nyaman dengan tangan kanannya di pemerintahan itu.
Hal ini diperparah watak Kertanagara yang angkuh dan anti kritik. Dikutip dari buku "Tafsir Sejarah Nagarakretagama" karya sejarawan Prof. Slamet Muljana, diceritakan bagaimana kritikan dan masukan yang terlalu pedas membuat Kertanagara meradang.
Bahkan suatu ketika Kertanagara berwajah sangat muram murka, dengan kemarahan besar mendengar pendapat sang Mahapatihnya itu.
Langsung Raganata dipecat saat itu juga. Jabatan strategisnya diisi Mahisa Anengah Panji Angragani, yang lebih kalem dan mau menuruti semua perintah Kertanagara.
Mpu Raganata memang masih mendapat jabatan di istana pemerintahan Kertanagara, sebagai balas jasa ketika pemerintahan raja sebelumnya.
Tapi pada Kidung Harsawijaya pupuh 1/28b sampai 30a, disebut dengan jelas bahwa Prabu Kertanagara memutasi Mpu Raganata dari kedudukannya sebagai patih amangkubhumi, menjadi ramadhyaksa di Tumapel, jabatan yang rendah dari sebelumnya.
Mpu Raganata kecewa, tidak senang kepada pemerintahan sang prabu. Dikatakan dalam kidung tersebut, asmu ewa sang mantri wréddha rirehira sang ahulun.
Mopu Raganata tidak senang terhadap pemerintahan Raja Kertanagara, dan dikatakan tan trepti rehing nagari arawat-rawat kewuh.
Tak cuma Mpu Raganata saja yang jadi korban keserakahan Kertanagara. Tumenggung Wirakreti dilorot kedudukannya sebagai tumenggung menjadi mantri angabhaya, atau menteri pembantu atau jika saat sekelas wakil menteri (Wamen). Pujangga Santasemereti meninggalkan pura untuk bertapa di hutan.
Selain itu, Aria Wiraraja dilorot kedudukannya sebagai demung menjadi adipati di Madura Timur. Pada Pupuh 1/82a menguraikan, bahwa penurunan jabatan Arya Wiraraja dari jabatan demung menjadi adipati sangat melukai hati dan menimbulkan kemarahan.
Dari percakapan antara Wirondaya dengan Raja Jayakatwang, dalam pupuh 2/16a-16b dengan jelas diceritakan, bahwa sejak pemecatan para wreddha mantri dan pengangkatan para yuwa mantri, atau menteri muda membuat rakyat tidak senang terhadap sikap Sang Prabu Kertanagara. Perbuatan itu meninggalkan kegelisahan di hati rakyat.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
Sejarah mencatat nama Mpu Raganata, Arya Wiraraja yang merupakan ayah dari Ronggolawe, hingga Tumenggung Wirakreti jadi korbannya.
Baca Juga
Raja Kertanagara yang merupakan mertua Raden Wijaya dengan keras kepalanya memutasi jabatan tinggi hanya karena perbedaan pendapat dengan Kertanagara.
Mpu Raganata misalnya, dikisahkan adalah orang bijak, jujur, dan pemberani. Tanpa tedeng aling-aling, ia berani mengemukakan keberatan-keberatannya terhadap sikap dan pimpinan Raja Kertanegara.
Hubungannya dengan Raja Kertanagara disamakan dengan hubungan Patih Sri Laksmikirana dengan Prabu Sri Cayapurusa dalam cerita Singhalanggala.
Sikap Mpu Raganata tergolong jujur dan berani membantah atau bahkan mengkritik sang raja. Hal yang membuat Kertanagara tak lagi nyaman dengan tangan kanannya di pemerintahan itu.
Hal ini diperparah watak Kertanagara yang angkuh dan anti kritik. Dikutip dari buku "Tafsir Sejarah Nagarakretagama" karya sejarawan Prof. Slamet Muljana, diceritakan bagaimana kritikan dan masukan yang terlalu pedas membuat Kertanagara meradang.
Bahkan suatu ketika Kertanagara berwajah sangat muram murka, dengan kemarahan besar mendengar pendapat sang Mahapatihnya itu.
Langsung Raganata dipecat saat itu juga. Jabatan strategisnya diisi Mahisa Anengah Panji Angragani, yang lebih kalem dan mau menuruti semua perintah Kertanagara.
Mpu Raganata memang masih mendapat jabatan di istana pemerintahan Kertanagara, sebagai balas jasa ketika pemerintahan raja sebelumnya.
Tapi pada Kidung Harsawijaya pupuh 1/28b sampai 30a, disebut dengan jelas bahwa Prabu Kertanagara memutasi Mpu Raganata dari kedudukannya sebagai patih amangkubhumi, menjadi ramadhyaksa di Tumapel, jabatan yang rendah dari sebelumnya.
Mpu Raganata kecewa, tidak senang kepada pemerintahan sang prabu. Dikatakan dalam kidung tersebut, asmu ewa sang mantri wréddha rirehira sang ahulun.
Mopu Raganata tidak senang terhadap pemerintahan Raja Kertanagara, dan dikatakan tan trepti rehing nagari arawat-rawat kewuh.
Tak cuma Mpu Raganata saja yang jadi korban keserakahan Kertanagara. Tumenggung Wirakreti dilorot kedudukannya sebagai tumenggung menjadi mantri angabhaya, atau menteri pembantu atau jika saat sekelas wakil menteri (Wamen). Pujangga Santasemereti meninggalkan pura untuk bertapa di hutan.
Selain itu, Aria Wiraraja dilorot kedudukannya sebagai demung menjadi adipati di Madura Timur. Pada Pupuh 1/82a menguraikan, bahwa penurunan jabatan Arya Wiraraja dari jabatan demung menjadi adipati sangat melukai hati dan menimbulkan kemarahan.
Dari percakapan antara Wirondaya dengan Raja Jayakatwang, dalam pupuh 2/16a-16b dengan jelas diceritakan, bahwa sejak pemecatan para wreddha mantri dan pengangkatan para yuwa mantri, atau menteri muda membuat rakyat tidak senang terhadap sikap Sang Prabu Kertanagara. Perbuatan itu meninggalkan kegelisahan di hati rakyat.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
(shf)