Kisah Mpu Prapanca Rela Bertapa demi Redakan Konflik Agama di Kerajaan Majapahit
loading...
A
A
A
KONFLIK perselisihan dan diskriminasi agama Hindu Siwa dan Buddha, sempat terjadi semasa Raja Hayam Wuruk berkuasa di Kerajaan Majapahit. Konflik ini bahkan dibahas Mpu Prapanca, pujangga yang kerap memuja Hayam Wuruk.
Maklumlah sosok Mpu Prapanca merupakan penganut agama Buddha. Tapi ia menyamarkan dirinya dengan Mpu Winada, hingga harus mengasingkan dirinya usai kritikan ke pemerintahan Hayam Wuruk.
Saat itu di Kerajaan Majapahit memang agama yang dipeluk sang raja adalah Hindu Siwa. Sedangkan Buddha merupakan agama kedua. Konon penganaktirian agama Buddha ini dibahas Mpu Prapanca dalam bentuk karya Nagarakretagama, yang menyebut dengan Mpu Winada.
Dikutip dari buku “Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit” dari sejarawan Prof. Slamet Muljana dijelaskan, diskriminasi kedua agama itu ditandai dengan tidak terawatnya bangunan - bangunan dan arca peninggalan Buddha di masa Hayam Wuruk.
Bahkan salah satu arca yakni Arca Aksobya, yang ada di salah satu bangunan suci agama Buddha di Kerajaan Majapahit hilang. Kehilangan itu dianggap Mpu Winada, yang tak lain adalah Mpu Prapanca akibat kurang perhatiannya pemerintahan Hayam Wuruk dengan agama yang lainnya.
Mpu Winada dalam pupuh 97 Negarakretagama tidak ada hubungannya dengan Mpu Nada sebagai nama pejabat pembesar yang mempunyai gelar dang âcârya pada piagam yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka, seorang filolog dan sejarawan.
Siapa Mpu Winada diungkap Slamet Muljana, sosoknya diceritakan jelas oleh Mpu Prapanca. Mpu Prapanca menceritakan Winada adalah orang yang semula senang mengumpulkan harta benda, tetapi tidak berbahagia karenanya. Bahkan hidupnya malah sengsara.
Kemudian ia membagikan segala hartanya kepada orang lain lalu pergi bertapa. Ia ingin menjadi pahlawan dalam tapa brata. Empu Winada pemeluk agama Budha.
Pendeta baik sikapnya dan putus dalam ilmu itu diberi nama Winada oleh Prapanca, sedangkan kata winada artinya "tercela".
Demikianlah, Prapanca mengadakan sindiran dengan menggunakan kata winada sebagai nama pendeta Budha. Ia sendiri ingin menjadi seperti empu Winada. Demikianlah sesungguhnya Prapanca juga termasuk golongan orang yang dicela.
Ini terbukti dari pupuh 95/1 baris 1, di mana ia berkata: "Nasib badan dihina oleh bangsawan, hidup canggung di dusun", yang dimaksud dengan winada ialah pemeluk agama Budha.
Jumlahnya banyak, karena pupuh 98/1 baris 4 memuat kata parawinada cinala ri dalìm, orang-orang yang dicacat dan dicela di istana.
Timbulnya celaan karena perselisihan.Justru karena jelas sekali pada baris tersebut dengan adanya katari dalen(di istana), maka perselisihan itu terjadi antara pemeluk agama Budha dan agama Siwa.
Maklumlah, agama Siwa adalah agama negara pada zaman pemerintahan Hayam Wuruk. Prabu Hayam Wuruk adalah pemeluk agama Siwa. Begitulah, Prapanca sebagai pembesar urusan agama Budha di kerajaan Majapahit menjadi korban perselisihan agama Budha dan Siwa.
Dari sudut ini kita sekarang dapat memahami mengapa Prapanca meninggalkan istana, hidup di dusun, kemudian bertapa di lereng gunung di desa Kamalasana.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
Maklumlah sosok Mpu Prapanca merupakan penganut agama Buddha. Tapi ia menyamarkan dirinya dengan Mpu Winada, hingga harus mengasingkan dirinya usai kritikan ke pemerintahan Hayam Wuruk.
Saat itu di Kerajaan Majapahit memang agama yang dipeluk sang raja adalah Hindu Siwa. Sedangkan Buddha merupakan agama kedua. Konon penganaktirian agama Buddha ini dibahas Mpu Prapanca dalam bentuk karya Nagarakretagama, yang menyebut dengan Mpu Winada.
Dikutip dari buku “Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit” dari sejarawan Prof. Slamet Muljana dijelaskan, diskriminasi kedua agama itu ditandai dengan tidak terawatnya bangunan - bangunan dan arca peninggalan Buddha di masa Hayam Wuruk.
Bahkan salah satu arca yakni Arca Aksobya, yang ada di salah satu bangunan suci agama Buddha di Kerajaan Majapahit hilang. Kehilangan itu dianggap Mpu Winada, yang tak lain adalah Mpu Prapanca akibat kurang perhatiannya pemerintahan Hayam Wuruk dengan agama yang lainnya.
Mpu Winada dalam pupuh 97 Negarakretagama tidak ada hubungannya dengan Mpu Nada sebagai nama pejabat pembesar yang mempunyai gelar dang âcârya pada piagam yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka, seorang filolog dan sejarawan.
Siapa Mpu Winada diungkap Slamet Muljana, sosoknya diceritakan jelas oleh Mpu Prapanca. Mpu Prapanca menceritakan Winada adalah orang yang semula senang mengumpulkan harta benda, tetapi tidak berbahagia karenanya. Bahkan hidupnya malah sengsara.
Baca Juga
Kemudian ia membagikan segala hartanya kepada orang lain lalu pergi bertapa. Ia ingin menjadi pahlawan dalam tapa brata. Empu Winada pemeluk agama Budha.
Pendeta baik sikapnya dan putus dalam ilmu itu diberi nama Winada oleh Prapanca, sedangkan kata winada artinya "tercela".
Demikianlah, Prapanca mengadakan sindiran dengan menggunakan kata winada sebagai nama pendeta Budha. Ia sendiri ingin menjadi seperti empu Winada. Demikianlah sesungguhnya Prapanca juga termasuk golongan orang yang dicela.
Ini terbukti dari pupuh 95/1 baris 1, di mana ia berkata: "Nasib badan dihina oleh bangsawan, hidup canggung di dusun", yang dimaksud dengan winada ialah pemeluk agama Budha.
Jumlahnya banyak, karena pupuh 98/1 baris 4 memuat kata parawinada cinala ri dalìm, orang-orang yang dicacat dan dicela di istana.
Timbulnya celaan karena perselisihan.Justru karena jelas sekali pada baris tersebut dengan adanya katari dalen(di istana), maka perselisihan itu terjadi antara pemeluk agama Budha dan agama Siwa.
Maklumlah, agama Siwa adalah agama negara pada zaman pemerintahan Hayam Wuruk. Prabu Hayam Wuruk adalah pemeluk agama Siwa. Begitulah, Prapanca sebagai pembesar urusan agama Budha di kerajaan Majapahit menjadi korban perselisihan agama Budha dan Siwa.
Dari sudut ini kita sekarang dapat memahami mengapa Prapanca meninggalkan istana, hidup di dusun, kemudian bertapa di lereng gunung di desa Kamalasana.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
(ams)