Peran Eks Menhan Amir Sjarifuddin Letuskan Tragedi Pemberontakan PKI di Madiun 1948
loading...
A
A
A
PEMBERONTAKAN Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun tak bisa dilepaskan dari peran Musso dan Amir Sjarifuddin. Amir merupakan mantan menteri pertahanan (Menhan) sempat bertemu dengan Musso dan Soemarsono, tokoh pejuang perang Surabaya melawan sekutu.
Saat itu rombongan PKI baru saja melakukan tur dari Kediri hingga ke Bojonegoro. Pemberontakan PKI di Madiun konon diinisiasi oleh para tokoh-tokoh kiri, di mana tokoh Politbiro yang konon merupakan elite - elite politik dari partai komunis.
Eks Menhan Amir Sjarifuddin sempat membicarakan situasi di Madiun saat bertemu Soemarsono di Kediri. Di sana Amir sempat menanyakan perimbangan kekuatan, sebelum peristiwa pemberontakan di Madiun pada 18 September 1948.
Amir Sjarifuddin pula yang memimpin Front Demokrasi Rakyat (FDR) organisasi front persatuan garis kiri, termasuk di antaranya PKI dan Partai Sosialis Indonesia, dan Pesindo.
Dikutip dari buku “Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan”, penculikan mulai terjadi di Kediri. Pasukan yang tak diketahui itu menculik pemimpin Serikat Buruh Dalam Negeri (Sebda), yang waktu itu melakukan pemogokan.
Tiga pemimpin mereka diculik dan hilang tak tahu jejaknya.Di Kediri, Soemarsono berunding dengan Amir Sjarifuddin dan Musso. Usai bertemu Musso, Musso meneruskan perjalanan ke Bojonegoro.
Komunikasi masih sempat terjadi antara Musso dan Soemarsono, mengenai kondisi di Madiun dan sekitarnya. Tapi pada perjalanannya, konon Musso tak jadi lagi ke Bojonegoro. Suatu hal yang membuatnya memutar arah kembali ke Madiun, tapi tak diketahui penyebabnya.
Usai kedatangan ke Madiun itu pertempuran muncul, pertempuran ini terjadi jam 2 dini hari, hingga selesai pukul 05.30. Pasukan gelap yang tak diketahui itu berhadapan dengan bekas Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), yang sudah menjadi TNI.
Laskar Pesindo sebagaimana kisah cerita dari Soemarsono, tidak dilibatkan secara langsung. Tapi karena di Madiun ada Batalyon TNI Brigade 29, dengan komandannya Kolonel Dachlan, maka itulah yang digunakan menumpas pertempuran.
Selain Kolonel Dachlan, Mayor Abdulrahman dan Mayor Mustofa merupakan bekas Pesindo, sedangkan Mayor Panjang disebut Soemarsono bekas PRI. Pasukan yang dilucuti tentara Indonesia konon menggunakan tanda tengkorak, tapi awalnya memang tak dikenali.
“Pasukan gelap berhasil kami lucuti. Korban lima orang dalam semalam itu, dari dua pihak. Kita dua orang yang mati,” kata Soemarsono, dalam buku “Negara Madiun” itu.
Usai itu, Musso disebut Soemarsono, sempat datang ke rumahnya. Saat itu Musso masih sempat berkampanye di Madiun, sebelum pecah peristiwa yang lebih besar lagi. Pergolakan di Madiun itu juga sempat menarik Panglima Besar Sudirman.
Sehingga memerintahkan Soeharto, yang saat ini masih berpangkat Letkol untuk ke Madiun. Di Madiun utusan panglima besar Jenderal Sudirman itu melihat beberapa penjara, guna memastikan pasukan yang berhasil ditumpas oleh TNI pada pemberontakan itu.
Tapi usai pertempuran dan dilucuti senjatanya, tak ada satu pun yang ditawan, karena maksud dan tujuannya hanya ingin mematahkan kekuatan yang membahayakan negara.
Lihat Juga: Kisah Malam Takbiran di Timor Timur, Bukan Diiringi Suara Bedug Melainkan Desingan Peluru
Saat itu rombongan PKI baru saja melakukan tur dari Kediri hingga ke Bojonegoro. Pemberontakan PKI di Madiun konon diinisiasi oleh para tokoh-tokoh kiri, di mana tokoh Politbiro yang konon merupakan elite - elite politik dari partai komunis.
Eks Menhan Amir Sjarifuddin sempat membicarakan situasi di Madiun saat bertemu Soemarsono di Kediri. Di sana Amir sempat menanyakan perimbangan kekuatan, sebelum peristiwa pemberontakan di Madiun pada 18 September 1948.
Baca Juga
Amir Sjarifuddin pula yang memimpin Front Demokrasi Rakyat (FDR) organisasi front persatuan garis kiri, termasuk di antaranya PKI dan Partai Sosialis Indonesia, dan Pesindo.
Dikutip dari buku “Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan”, penculikan mulai terjadi di Kediri. Pasukan yang tak diketahui itu menculik pemimpin Serikat Buruh Dalam Negeri (Sebda), yang waktu itu melakukan pemogokan.
Tiga pemimpin mereka diculik dan hilang tak tahu jejaknya.Di Kediri, Soemarsono berunding dengan Amir Sjarifuddin dan Musso. Usai bertemu Musso, Musso meneruskan perjalanan ke Bojonegoro.
Komunikasi masih sempat terjadi antara Musso dan Soemarsono, mengenai kondisi di Madiun dan sekitarnya. Tapi pada perjalanannya, konon Musso tak jadi lagi ke Bojonegoro. Suatu hal yang membuatnya memutar arah kembali ke Madiun, tapi tak diketahui penyebabnya.
Usai kedatangan ke Madiun itu pertempuran muncul, pertempuran ini terjadi jam 2 dini hari, hingga selesai pukul 05.30. Pasukan gelap yang tak diketahui itu berhadapan dengan bekas Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), yang sudah menjadi TNI.
Laskar Pesindo sebagaimana kisah cerita dari Soemarsono, tidak dilibatkan secara langsung. Tapi karena di Madiun ada Batalyon TNI Brigade 29, dengan komandannya Kolonel Dachlan, maka itulah yang digunakan menumpas pertempuran.
Selain Kolonel Dachlan, Mayor Abdulrahman dan Mayor Mustofa merupakan bekas Pesindo, sedangkan Mayor Panjang disebut Soemarsono bekas PRI. Pasukan yang dilucuti tentara Indonesia konon menggunakan tanda tengkorak, tapi awalnya memang tak dikenali.
“Pasukan gelap berhasil kami lucuti. Korban lima orang dalam semalam itu, dari dua pihak. Kita dua orang yang mati,” kata Soemarsono, dalam buku “Negara Madiun” itu.
Usai itu, Musso disebut Soemarsono, sempat datang ke rumahnya. Saat itu Musso masih sempat berkampanye di Madiun, sebelum pecah peristiwa yang lebih besar lagi. Pergolakan di Madiun itu juga sempat menarik Panglima Besar Sudirman.
Sehingga memerintahkan Soeharto, yang saat ini masih berpangkat Letkol untuk ke Madiun. Di Madiun utusan panglima besar Jenderal Sudirman itu melihat beberapa penjara, guna memastikan pasukan yang berhasil ditumpas oleh TNI pada pemberontakan itu.
Tapi usai pertempuran dan dilucuti senjatanya, tak ada satu pun yang ditawan, karena maksud dan tujuannya hanya ingin mematahkan kekuatan yang membahayakan negara.
Lihat Juga: Kisah Malam Takbiran di Timor Timur, Bukan Diiringi Suara Bedug Melainkan Desingan Peluru
(ams)