Densus 88: Anak-Anak Korban Doktrin Pelaku Teror Harus Dapat Perhatian Khusus
loading...
A
A
A
SEMARANG - Direktorat Identifikasi dan Sosialisasi (Idensos) Densus 88 Antiteror menyatakan anak-anak dari keluarga yang orang tuanya terpapar paham radikalisme terorisme rawan jadi korban doktrin kekerasan dan kebencian.
Oleh karena itu, mereka harus dapat perhatian khusus sebagai salah satu upaya memutus mata rantai terorisme.
“Jangan sampai anak-anak itu menjadi terlantar, tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak mendapatkan pendidikan tentang nasionalisme, tidak mendapatkan pendidikan yang berbasis cinta kasih dan kedamaian. Jangan sampai mereka terus dimasuki dengan kekerasan dan kebencian,” ungkap Direktur Idensos Densus 88 Antiteror Brigjen Pol Arif Makhfudiharto saat ditemui SINDOnews di Kota Semarang, Jumat (27/9/2024).
Hal itulah, sebut Brigjen Arif, salah satu yang dilakukan saat ini oleh Densus 88 lewat Direktorat Idensos yang saat ini jumlahnya hampir ratusan anak.
Dia mencontohkan, anak-anak yang didampingi Densus 88 dikerjasamakan dengan pondok pesantren maupun lembaga pendidikan tertentu hingga pemerintah daerah.
Di antaranya di Tangerang Jawa Barat, Kota Salatiga Jawa Tengah, Makassar Sulawesi Selatan, hingga di Yogyakarta.
“Di Tangerang, yakni di ponpes yang dikelola Gus Najih itu ada anak-anak eks napiter atau napiter Poso (Sulteng), ada sekitar 30 sampai 50 anak. di Salatiga ada 8 anak, ada juga di Makassar kita titipkan di ponpes yang moderat, juga di Yogyakarta,” jelas Arif.
“Trauma-traumanya coba kita urai, psikisnya. Anak-anak itu kan cetakan orang tua, itu juga aset negara. Kelangsungan negara kita tergantung anak-anak, mereka nggak mungkin jadi anak-anak terus, akan tumbuh kembang jadi dewasa, sama seperti kita sekarang, kalau kita nggak kelola, nggak isi kehidupan mereka (dengan nilai-nilai kebaikan), terus negara kita mau dibawa ke mana?” lanjutnya.
Dia bercerita, langkah ini bukan tanpa sebab. Salah satunya juga dari hasil pengalaman Densus 88 menanggulangi terorisme.
Saat Densus era lama, di mana standar operasional prosedur (SOP) penangkapan pelaku teror adalah di rumah. Densus saat itu kerap melakukan operasi penegakan hukum dengan menggunakan senjata laras panjang.
Ternyata, setelah dilakukan evaluasi, penegakan hukum model seperti itu membuat trauma tersendiri bagi keluarga pelaku, terutama anak-anak. Mereka menjadi dendam, membekas kebencian. Sebab itulah, SOP kemudian diubah sedapat mungkin melakukan penangkapan di luar rumah.
Saat ini, sebut Arif, mantan narapidana terorisme di Indonesia jumlahnya sekitar 2.300 orang. Sementara mereka yang masih di dalam (penjara) jumlahnya sekitar 300 orang.
“Setelah pelaku ditangkap, bukan berarti tugas kita selesai. Kami kelola juga keluarganya, terutama anak-anaknya, karena mereka yang sudah kena doktrin akan membekas tentang kekerasan dan kebencian, inilah yang kami kelola,” sambungnya.
Evolusi Densus 88 menanggulangi terorisme itu, sebut Arif, juga tentunya sudah disepakati semua pimpinan Densus 88.
“Dengan empati, soft approach tetep, hard approach tetep, kayak kemarin tetap ada penangkapan kan, tapi penangkapan di sini untuk menyadarkan supaya tidak sampai terjadi korban. Sedapat mungkin kita lakukan penangkapan untuk pencegahan, setelah kami tangkap kami pun pingin menyadarkan mereka,” bebernya.
Selain cara-cara offline itu, Densus juga menggunakan cara-cara online untuk mengelola ini. Menepis propaganda kelompok radikal teror yang berusaha merekrut anggota baru untuk memperpanjang kekerasan dan kebencian. Densus berusaha mencegah itu.
“Di Densus itu kan ada Direktorat Intel, Direktorat Pencegahan, Direktorat Idendos, (medsos kami garap), karena sekmen anak-anak, termasuk Gen Z ini medsos. Kami lakukan edukasi. Kita selalu menyuarakan bersama-sama, semuanya lah (melibatkan masyarakat dan pemerintah), untuk bermedsos dengan baik,” sebutnya.
Secara konsep, sebut Brigjen Arif, tertuang dalam pentahelix penangggulangan terorisme, yakni melibatkan; pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, sektor bisnis hingga akademisi. Densus mengajak semuanya bergotong royong menyelesaikan persoalan radikalisme terorisme.
“Targetnya agar tercapai zero attack (tidak ada lagi aksi teror), tidak ada residivisme,” tandasnya.
Oleh karena itu, mereka harus dapat perhatian khusus sebagai salah satu upaya memutus mata rantai terorisme.
“Jangan sampai anak-anak itu menjadi terlantar, tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak mendapatkan pendidikan tentang nasionalisme, tidak mendapatkan pendidikan yang berbasis cinta kasih dan kedamaian. Jangan sampai mereka terus dimasuki dengan kekerasan dan kebencian,” ungkap Direktur Idensos Densus 88 Antiteror Brigjen Pol Arif Makhfudiharto saat ditemui SINDOnews di Kota Semarang, Jumat (27/9/2024).
Hal itulah, sebut Brigjen Arif, salah satu yang dilakukan saat ini oleh Densus 88 lewat Direktorat Idensos yang saat ini jumlahnya hampir ratusan anak.
Dia mencontohkan, anak-anak yang didampingi Densus 88 dikerjasamakan dengan pondok pesantren maupun lembaga pendidikan tertentu hingga pemerintah daerah.
Di antaranya di Tangerang Jawa Barat, Kota Salatiga Jawa Tengah, Makassar Sulawesi Selatan, hingga di Yogyakarta.
“Di Tangerang, yakni di ponpes yang dikelola Gus Najih itu ada anak-anak eks napiter atau napiter Poso (Sulteng), ada sekitar 30 sampai 50 anak. di Salatiga ada 8 anak, ada juga di Makassar kita titipkan di ponpes yang moderat, juga di Yogyakarta,” jelas Arif.
“Trauma-traumanya coba kita urai, psikisnya. Anak-anak itu kan cetakan orang tua, itu juga aset negara. Kelangsungan negara kita tergantung anak-anak, mereka nggak mungkin jadi anak-anak terus, akan tumbuh kembang jadi dewasa, sama seperti kita sekarang, kalau kita nggak kelola, nggak isi kehidupan mereka (dengan nilai-nilai kebaikan), terus negara kita mau dibawa ke mana?” lanjutnya.
Dia bercerita, langkah ini bukan tanpa sebab. Salah satunya juga dari hasil pengalaman Densus 88 menanggulangi terorisme.
Saat Densus era lama, di mana standar operasional prosedur (SOP) penangkapan pelaku teror adalah di rumah. Densus saat itu kerap melakukan operasi penegakan hukum dengan menggunakan senjata laras panjang.
Ternyata, setelah dilakukan evaluasi, penegakan hukum model seperti itu membuat trauma tersendiri bagi keluarga pelaku, terutama anak-anak. Mereka menjadi dendam, membekas kebencian. Sebab itulah, SOP kemudian diubah sedapat mungkin melakukan penangkapan di luar rumah.
Saat ini, sebut Arif, mantan narapidana terorisme di Indonesia jumlahnya sekitar 2.300 orang. Sementara mereka yang masih di dalam (penjara) jumlahnya sekitar 300 orang.
“Setelah pelaku ditangkap, bukan berarti tugas kita selesai. Kami kelola juga keluarganya, terutama anak-anaknya, karena mereka yang sudah kena doktrin akan membekas tentang kekerasan dan kebencian, inilah yang kami kelola,” sambungnya.
Evolusi Densus 88 menanggulangi terorisme itu, sebut Arif, juga tentunya sudah disepakati semua pimpinan Densus 88.
“Dengan empati, soft approach tetep, hard approach tetep, kayak kemarin tetap ada penangkapan kan, tapi penangkapan di sini untuk menyadarkan supaya tidak sampai terjadi korban. Sedapat mungkin kita lakukan penangkapan untuk pencegahan, setelah kami tangkap kami pun pingin menyadarkan mereka,” bebernya.
Selain cara-cara offline itu, Densus juga menggunakan cara-cara online untuk mengelola ini. Menepis propaganda kelompok radikal teror yang berusaha merekrut anggota baru untuk memperpanjang kekerasan dan kebencian. Densus berusaha mencegah itu.
“Di Densus itu kan ada Direktorat Intel, Direktorat Pencegahan, Direktorat Idendos, (medsos kami garap), karena sekmen anak-anak, termasuk Gen Z ini medsos. Kami lakukan edukasi. Kita selalu menyuarakan bersama-sama, semuanya lah (melibatkan masyarakat dan pemerintah), untuk bermedsos dengan baik,” sebutnya.
Secara konsep, sebut Brigjen Arif, tertuang dalam pentahelix penangggulangan terorisme, yakni melibatkan; pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, sektor bisnis hingga akademisi. Densus mengajak semuanya bergotong royong menyelesaikan persoalan radikalisme terorisme.
“Targetnya agar tercapai zero attack (tidak ada lagi aksi teror), tidak ada residivisme,” tandasnya.
(shf)