Kisah Haru Soeharto Pimpin Iringan Jenazah Jenderal Soedirman
loading...
A
A
A
KISAH haru menyelimuti perjalanan terakhir Panglima Besar Jenderal Soedirman yang wafat pada 29 Januari 1950.
Jenderal Soedirman sedang melaksanakan salat Idul Fitri di Lapangan Ikada pada November 1946. Foto/ANRI
Kala itu, duka mendalam berpulangnya Soedirman terjadi setelah pengakuan kedaulatan RI dan berkibarnya Sang Merah Putih menggantikan bendera Belanda.
Jenderal Soedirman yang merupakan mantan guru, siang itu masih sempat memeriksa rapor putra-putrinya. Namun, belum sempat beliau menandatangani rapor tersebut, beliau tiba-tiba diserang sakit hebat.
Segala upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan nyawa sang Panglima, namun takdir berkata lain. Jenderal Soedirman menghembuskan napas terakhirnya pada pukul 18.30 sore itu.
Kepergian Jenderal Soedirman bukan hanya meninggalkan luka mendalam bagi keluarga, istri, dan ketujuh putra-putrinya yang masih kecil. Seluruh jajaran angkatan bersenjata kehilangan seorang pemimpin besar yang menjadi teladan.
Keesokan harinya, pada 30 Januari 1950, Soeharto yang saat itu telah kembali memimpin Brigade di Yogyakarta setelah pengakuan kedaulatan, mendapat amanah untuk memimpin pengangkutan jenazah Jenderal Soedirman dari Magelang menuju Yogyakarta.
Seluruh Angkatan Perang RIS diperintahkan untuk berkabung selama tujuh hari dengan mengibarkan bendera setengah tiang sebagai bentuk penghormatan.
Pemerintah pun menetapkan hari wafatnya sang Panglima sebagai Hari Berkabung Nasional.
Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta, dalam pidatonya mengumumkan bahwa pemerintah menaikkan pangkat Letnan Jenderal Soedirman secara anumerta menjadi Jenderal.
Soeharto, yang kala itu memimpin iringan jenazah dari Magelang ke Yogyakarta, mengisahkan momen haru tersebut.
"Saya pimpin iringan jenazah almarhum itu meninggalkan Magelang menuju Yogya. Setelah disembahyangkan di Masjid Agung, jenazah dikebumikan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogya, di tempat peristirahatan terakhir Letnan Jenderal Urip Sumohardjo, pendampingnya," ungkap Soeharto, seperti dikutip dari buku "Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya," karya G Dwipayana dan Ramadhan KH, dikutip Sabtu (28/9/2024).
Saat prosesi pemakaman berlangsung, Presiden Soekarno yang sudah diangkat menjadi Presiden RIS dan sedang berada di India untuk kunjungan persahabatan, telah menyampaikan surat penuh haru kepada Jenderal Soedirman pada akhir Desember sebelumnya.
Dalam surat itu, Soekarno meminta maaf atas segala kesalahannya dan seakan sudah merasakan bahwa perpisahan terakhir dengan Panglima Besar itu sudah dekat.
Suasana haru menyelimuti Taman Makam Pahlawan Semaki. Sebelum dan sesudah salvo ditembakkan, penghormatan terakhir diberikan kepada Jenderal Soedirman. Peti jenazah diturunkan perlahan ke liang kubur di bawah naungan bendera Merah Putih.
Ibu Dirman menjadi yang pertama menimbunkan tanah ke atas peti jenazah, diikuti oleh Mr Assaat, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Jenderal Mayor Suhardjo, Kolonel Gatot Soebroto, Dr. Leimena, dan tokoh lainnya.
"Saya memimpin para perwira lainnya melakukan penimbunan yang terakhir, dengan mengucapkan doa yang setulus-tulusnya di dalam hati. Semoga almarhum diterima di sisi Tuhan," kenang Soeharto.
Jenderal Soedirman sedang melaksanakan salat Idul Fitri di Lapangan Ikada pada November 1946. Foto/ANRI
Kala itu, duka mendalam berpulangnya Soedirman terjadi setelah pengakuan kedaulatan RI dan berkibarnya Sang Merah Putih menggantikan bendera Belanda.
Jenderal Soedirman yang merupakan mantan guru, siang itu masih sempat memeriksa rapor putra-putrinya. Namun, belum sempat beliau menandatangani rapor tersebut, beliau tiba-tiba diserang sakit hebat.
Segala upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan nyawa sang Panglima, namun takdir berkata lain. Jenderal Soedirman menghembuskan napas terakhirnya pada pukul 18.30 sore itu.
Kepergian Jenderal Soedirman bukan hanya meninggalkan luka mendalam bagi keluarga, istri, dan ketujuh putra-putrinya yang masih kecil. Seluruh jajaran angkatan bersenjata kehilangan seorang pemimpin besar yang menjadi teladan.
Keesokan harinya, pada 30 Januari 1950, Soeharto yang saat itu telah kembali memimpin Brigade di Yogyakarta setelah pengakuan kedaulatan, mendapat amanah untuk memimpin pengangkutan jenazah Jenderal Soedirman dari Magelang menuju Yogyakarta.
Seluruh Angkatan Perang RIS diperintahkan untuk berkabung selama tujuh hari dengan mengibarkan bendera setengah tiang sebagai bentuk penghormatan.
Pemerintah pun menetapkan hari wafatnya sang Panglima sebagai Hari Berkabung Nasional.
Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta, dalam pidatonya mengumumkan bahwa pemerintah menaikkan pangkat Letnan Jenderal Soedirman secara anumerta menjadi Jenderal.
Soeharto, yang kala itu memimpin iringan jenazah dari Magelang ke Yogyakarta, mengisahkan momen haru tersebut.
"Saya pimpin iringan jenazah almarhum itu meninggalkan Magelang menuju Yogya. Setelah disembahyangkan di Masjid Agung, jenazah dikebumikan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogya, di tempat peristirahatan terakhir Letnan Jenderal Urip Sumohardjo, pendampingnya," ungkap Soeharto, seperti dikutip dari buku "Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya," karya G Dwipayana dan Ramadhan KH, dikutip Sabtu (28/9/2024).
Saat prosesi pemakaman berlangsung, Presiden Soekarno yang sudah diangkat menjadi Presiden RIS dan sedang berada di India untuk kunjungan persahabatan, telah menyampaikan surat penuh haru kepada Jenderal Soedirman pada akhir Desember sebelumnya.
Dalam surat itu, Soekarno meminta maaf atas segala kesalahannya dan seakan sudah merasakan bahwa perpisahan terakhir dengan Panglima Besar itu sudah dekat.
Suasana haru menyelimuti Taman Makam Pahlawan Semaki. Sebelum dan sesudah salvo ditembakkan, penghormatan terakhir diberikan kepada Jenderal Soedirman. Peti jenazah diturunkan perlahan ke liang kubur di bawah naungan bendera Merah Putih.
Ibu Dirman menjadi yang pertama menimbunkan tanah ke atas peti jenazah, diikuti oleh Mr Assaat, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Jenderal Mayor Suhardjo, Kolonel Gatot Soebroto, Dr. Leimena, dan tokoh lainnya.
"Saya memimpin para perwira lainnya melakukan penimbunan yang terakhir, dengan mengucapkan doa yang setulus-tulusnya di dalam hati. Semoga almarhum diterima di sisi Tuhan," kenang Soeharto.
(shf)