Pengamat Tekankan Pentingnya Peningkatan Nasionalisme Berdasarkan Pancasila
loading...
A
A
A
"Kita berhadapan dengan mayoritanisme yang sangat besar," ungkap Lattu, yang menyoroti bagaimana kelompok mayoritas sering kali menganggap kelompok minoritas sebagai "denizen" atau warga negara setengah.
Lattu juga menekankan pentingnya memperkuat nasionalisme berdasarkan Pancasila. Lattu juga menyoroti pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
“Kita harus kembali ke Pancasila sebagai akta hidup bersama yang harus ditempatkan sebagai political covenantal pluralism,” tegasnya.
Direktur Interfidei Elga Sarapung mempertanyakan pengakuan terhadap keberagaman agama di Indonesia. “Setelah 79 tahun merdeka, kita masih berputar di sekitar berapa agama yang diakui. Masih banyak masyarakat yang menyebut hanya 5 agama yang diakui di Indonesia,” ungkapnya.
Elga mengamati meskipun konstitusi mengakui enam agama, praktik nyata di lapangan menunjukkan adanya diskriminasi terhadap agama minoritas seperti Baha’i dan Sikh yang dikategorikan sebagai penghayat kepercayaan. “Praktik hidup beragama di Indonesia terjebak pada ritualitas tanpa memperhatikan substansi yang lebih dalam,” tambah Elga.
Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Zuly Qodir mengatakan, Indonesia dan beberapa negara sudah masuk dalam tahap post-sekularism yang mengarah formalisasi. Beragama sifatnya hanya artifisia, sehingga tidak mendorong pada motivasi orang menjadi progresif.
“Misalnya bagaimana tentang kemiskinan, bagaimana kemiskinan direspons oleh agama-agama di Indonesia. Ya karena sering ambil sifatnya yang formalistic,” katanya.
Lattu juga menekankan pentingnya memperkuat nasionalisme berdasarkan Pancasila. Lattu juga menyoroti pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
“Kita harus kembali ke Pancasila sebagai akta hidup bersama yang harus ditempatkan sebagai political covenantal pluralism,” tegasnya.
Direktur Interfidei Elga Sarapung mempertanyakan pengakuan terhadap keberagaman agama di Indonesia. “Setelah 79 tahun merdeka, kita masih berputar di sekitar berapa agama yang diakui. Masih banyak masyarakat yang menyebut hanya 5 agama yang diakui di Indonesia,” ungkapnya.
Elga mengamati meskipun konstitusi mengakui enam agama, praktik nyata di lapangan menunjukkan adanya diskriminasi terhadap agama minoritas seperti Baha’i dan Sikh yang dikategorikan sebagai penghayat kepercayaan. “Praktik hidup beragama di Indonesia terjebak pada ritualitas tanpa memperhatikan substansi yang lebih dalam,” tambah Elga.
Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Zuly Qodir mengatakan, Indonesia dan beberapa negara sudah masuk dalam tahap post-sekularism yang mengarah formalisasi. Beragama sifatnya hanya artifisia, sehingga tidak mendorong pada motivasi orang menjadi progresif.
“Misalnya bagaimana tentang kemiskinan, bagaimana kemiskinan direspons oleh agama-agama di Indonesia. Ya karena sering ambil sifatnya yang formalistic,” katanya.
(ams)