Pilbup Kudus 2024, Pengamat: Cakada Terjerat Kasus Hukum Tak Layak Maju Pilkada
loading...
A
A
A
KUDUS - Calon kepala daerah dalam Pilkada 2024 yang pernah atau sedang terlibat kasus hukum kini menjadi sorotan. Bahkan ada di antaranya yang dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan.
Pengamat politik Dedi Kurnia Syah menilai jika calon kepala daerah yang tersandung hukum, seharusnya sudah tidak layak mengikuti kontestasi politik, termasuk pada Pilkada 2024.
"Semestinya mereka tidak layak dari sisi kapasitas maupun administrasi kontestasi, tetapi hukum di negara ini dirasakan lemah terkait sanksinya," kata Dedi, Kamis (19/9/2024).
Sebagai informasi diduga ada salah satu calon bupati di Pilkada Kudus 2024 yang ternyata berstatus mantan narapidana. Hal tersebut berdasarkan informasi surat KPU Kabupaten Kudus Nomor 815/PL.02.2-SD/3319/2/2024 tanggal 14 September 2024.
Dedi berpendapat Komisi Pemilihan Umum (KPU) seharusnya membuat Peraturan KPU yang mensyaratkan kandidat tidak terlibat dalam dakwaan kriminal apapun.
"Untuk memperkuat itu, secara khusus diperlukan UU yang mengambil hak politik warga negara yang pernah terbukti lakukan korupsi," katanya.
Namun, hukum di Indonesia tidak demikian. Sehingga, salah satu upaya yang bisa dilakukan KPU yakni memasang identitas kandidat yang pernah terlibat kasus di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Dengan begitu, menurutnya dapat membantu para pemilih untuk lebih bijak menentukan pilihannya dalam memilih pemimpin daerah.
"Selemahnya upaya, perlu menuntut KPU memasang identitas kandidat di tiap TPS, termasuk menjelaskan kasus hukum yang sedang atau pernah dialami kandidat, ini akan membantu pemilih untuk menentukan pilihan," ujarnya.
Pengamat Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar menilai, secara sosiologis orang yang pernah atau sedang berkasus tidak layak menjadi pejabat publik, bahkan dalam aturannya memiliki jeda 5 tahun untuk kembali mendaftarkan diri.
"Bagi yang berstatus mantan narapidana ada waktu jedanya, dia boleh mencalonkan setelah melewati masa 5 tahun setelah bebas sesuai putusan MK No 56/PUU-XVII/2019," kata Fickar.
MK memberi syarat tambahan bagi calon kepala daerah yang berstatus mantan terpidana yakni harus menunggu masa jeda selama 5 tahun setelah melewati atau menjalani masa pidana penjara berdasarkan putusan yang telah inkracht.
Demikian inti Putusan MK No 56/PUU-XVII/2019 yang mengabulkan sebagian permohonan ICW dan Perludem terkait uji Pasal 7ayat (2) huruf g UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
Namun, ketika dilihat dari track record yang bersangkutan, sebenarnya sudah tidak layak menjadi pemimpin.
“Yaitu hukum memberinya waktu jeda 5 tahun, tapi secara sosiologis tidak pantas lagi untuk jadi pejabat," lanjutnya.
Pengamat politik Dedi Kurnia Syah menilai jika calon kepala daerah yang tersandung hukum, seharusnya sudah tidak layak mengikuti kontestasi politik, termasuk pada Pilkada 2024.
"Semestinya mereka tidak layak dari sisi kapasitas maupun administrasi kontestasi, tetapi hukum di negara ini dirasakan lemah terkait sanksinya," kata Dedi, Kamis (19/9/2024).
Sebagai informasi diduga ada salah satu calon bupati di Pilkada Kudus 2024 yang ternyata berstatus mantan narapidana. Hal tersebut berdasarkan informasi surat KPU Kabupaten Kudus Nomor 815/PL.02.2-SD/3319/2/2024 tanggal 14 September 2024.
Dedi berpendapat Komisi Pemilihan Umum (KPU) seharusnya membuat Peraturan KPU yang mensyaratkan kandidat tidak terlibat dalam dakwaan kriminal apapun.
"Untuk memperkuat itu, secara khusus diperlukan UU yang mengambil hak politik warga negara yang pernah terbukti lakukan korupsi," katanya.
Baca Juga
Namun, hukum di Indonesia tidak demikian. Sehingga, salah satu upaya yang bisa dilakukan KPU yakni memasang identitas kandidat yang pernah terlibat kasus di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Dengan begitu, menurutnya dapat membantu para pemilih untuk lebih bijak menentukan pilihannya dalam memilih pemimpin daerah.
"Selemahnya upaya, perlu menuntut KPU memasang identitas kandidat di tiap TPS, termasuk menjelaskan kasus hukum yang sedang atau pernah dialami kandidat, ini akan membantu pemilih untuk menentukan pilihan," ujarnya.
Pengamat Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar menilai, secara sosiologis orang yang pernah atau sedang berkasus tidak layak menjadi pejabat publik, bahkan dalam aturannya memiliki jeda 5 tahun untuk kembali mendaftarkan diri.
"Bagi yang berstatus mantan narapidana ada waktu jedanya, dia boleh mencalonkan setelah melewati masa 5 tahun setelah bebas sesuai putusan MK No 56/PUU-XVII/2019," kata Fickar.
MK memberi syarat tambahan bagi calon kepala daerah yang berstatus mantan terpidana yakni harus menunggu masa jeda selama 5 tahun setelah melewati atau menjalani masa pidana penjara berdasarkan putusan yang telah inkracht.
Demikian inti Putusan MK No 56/PUU-XVII/2019 yang mengabulkan sebagian permohonan ICW dan Perludem terkait uji Pasal 7ayat (2) huruf g UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
Namun, ketika dilihat dari track record yang bersangkutan, sebenarnya sudah tidak layak menjadi pemimpin.
“Yaitu hukum memberinya waktu jeda 5 tahun, tapi secara sosiologis tidak pantas lagi untuk jadi pejabat," lanjutnya.
(shf)