Undip Sebut Jam Kerja Berlebihan Akar Persoalan PPDS, RSUP dr Kariadi Bilang Gini

Senin, 02 September 2024 - 16:04 WIB
loading...
Undip Sebut Jam Kerja...
Direktur Utama RSA UGM dr. Darwito. Foto: SINDOnews/Eka Setiawan
A A A
SEMARANG - Jam kerja dokter di RSUP dr Kariadi yang mencapai minimal 80 jam seminggu diklaim sebagai akar dari segala persoalan yang terjadi di kalangan dokter maupun mahasiswa PPDS FK Undip yang ada di sana.

Hal itu diungkapkan Wakil Rektor 4 Undip Wijayanto, usai mengikuti kegiatan Apel Pagi dan Kegiatan Simpatik Bersama Membangun Pendidikan yang Bermartabat di FK Undip, Kampus Tembalang, Kota Semarang, Senin (2/9/2024).

“Sebenarnya akarnya kan ada kebijakan dari RSUP dr Kariadi yang juga kebijakan (arahan) Kemenkes, bahwa jam kerja itu minimal 80 jam seminggu, jadi luar biasa berlebihan. Kita ingin investigasi itu sampai ke akar strukturnya, akar sistemnya,” ungkap Wijayanto.



Kebijakan itu, sebutnya, membuat dokter maupun mahasiswa PPDS FK Undip bisa bekerja hingga 24 jam sehari, sekaligus membuat mereka mengalami tekanan yang sangat berat.

“Praktik itu membuat siapapun yang ada di sana, mau dokter PPDS, dokter senior, semua akan mengalami bekerja dalam tekanan yang luar biasa,” sambungnya.

Investigasi yang komprehensif mencari solusi dari akar persoalan penting dilakukan. Dia menyayangkan pada kasus meninggalnya dr. Aulia Risma Lestari itu, Undip mendapatkan banyak stigma buruk.

“Akar strukturalnya yaitu jam kerja luar biasa berlebihan,” kata dia.

Siang harinya, di RSUP dr Kariadi Semarang Manager Hukum dan Humas RSUP dr Kariadi Semarang Vivi Vira Viridanti memberikan keterangan pers. Dia mengatakan mahasiswa PPDS FK Undip yang ada di rumah sakit tersebut dalam rangka pendidikan.



“Sebenarnya bukan membantu (dokter mahasiswa PPDS), PPDS itu program pendidikan, artinya pendidikan, bukan membantu. Mereka memang pendidikan, tidak dipekerjakan. Ibaratnya begini, sekolah magang,” kata Vivi.

Vivi mengemukakan dalam rangka pelayanan memang 24 jam, terbagi shif pagi, siang dan malam. Jumlah pasien yang sangat banyak memang disebabkan karena RSUP dr Kariadi terbesar di Jateng, melayani rujukan pasien dari Jateng dan Kalimantan.

“Jumlah dokternya cukup, ada penjadwalan. RS Kariadi adalah rumah sakit pusat rujukan Jateng dan Kalimantan, jadi pasti banyak antrean. Jadi bukan karena kasus (penghentian PPDS FK Undip), tapi karena memang antrean di sini memang panjang,” jelasnya.

Dia menyebut aktivitas penghentian PPDS Anestesi FK Undip di RSUP dr Kariadi sampai saat ini masih berlaku, termasuk penghentian klinis Dekan FK Undip dr. Yan Wisnu Prajoko di sana.

Kebijakan ini disebut Vivi hanya sementara sembari menunggu semua proses investigasi selesai. Salah satu tujuannya menghindari konflik kepentingan di sana.Dia juga menegaskan sampai saat ini masih ada kerja sama antara RSUP dr Kariadi dan FK Undip.

“RS Kariadi menyediakan lahan, menyediakan sarana pendidikannya, tidak hanya untuk dokter spesialis, perawat, apoteker semua juga belajar di sini juga,” ungkapnya.

Dokter senior di RSUP dr Kariadi Semarang yang juga Direktur Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada (RSA UGM) dr. Darwito mengkritisi Kementerian Kesehatan yang mengambil langkah menghentikan sementara Program Studi Anestesi PPDS FK Undip.

Penghentian program di RSUP dr Kariadi Semarang berkaitan dengan meninggalnya residen anestesi FK Undip dr. Aulia Risma Lestari (ARL). Termasuk pula Kemenkes juga teranyar memberhentikan sementara aktivitas klinis Dekan FK Undip dr. Yan Wisnu Prajoko.

“Itu nggak dipikir, bagaimana Kemenkes memikirkan rakyatnya itu nggak ada, itu masyarakat yang dirugikan. Pelayanan terganggu,” kata dr. Darwito yang ikut hadir pada kegiatan di FK Undip, Kampus Tembalang, Kota Semarang, Senin (2/9/2024).

Darwito melanjutkan masyarakat dirugikan sebab akses untuk operasi menjadi sulit, mengingat kondisi RSUP dr Kariadi Semarang memang membutuhkan tenaga dari anestesi FK Undip dalam pelayanannya kepada pasien.

“Bahwa dengan adanya surat tersebut, masyarakat dirugikan, bagaimana akses untuk operasi sulit, kemudian di situ RS yang membutuhkan teman-teman anestesi itu sulit, karena keterbatasan itu,” sambung Darwito yang juga sempat menjabat Dirut RS Sardjito Yogyakarta itu.

Dia memperkirakan, pelayanan bisa terdampak sampai 50 persen dari adanya kebijakan dari Kemenkes tersebut.

“Kalau semua PPDS ditarik, lumpuh RS Kariadi. Itu siapa yang salah? Siapa yang dirugikan? Rakyat. RS Kariadi tanpa PPDS lumpuh,” tegasnya.

Darwito pernah bertugas di RSUP dr Kariadi Semarang berargumen kasus kematian dr. Aulia Risma Lestari yang merupakan residen PPDS Anestesi FK Undip memang harus diusut tuntas, tentunya melalui serangkaian investigasi.

Namun, pelayanan terhadap pasien tentunya juga harus tetap menjadi prioritas. “Ya silakan dilanjutkan, profesional,” kata dia.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Jateng Kombes Pol Artanto menyebut pihaknya masih melakukan serangkaian penyelidikan buntut meninggalnya dr. Aulia Risma, residen PPDS Anestesi FK Undip.

Korban meninggal pada 12 Agustus 2024 lalu di kosnya di Kota Semarang, di mana polisi mendapati sejumlah bukti dan keterangan korban mengalami perundungan, termasuk ada curhatan tulisan tangan maupun pesan suara yang dikirimkan ke ayahnya.

Polisi juga mendalami serangkaian hasil investigasi Kemenkes, termasuk juga melakukan penelitian laboratorium forensik (labfor).

Polda Jateng menyebut pihaknya tetap mempelajari informasi-informasi terbaru yang beredar, termasuk di antaranya temuan adanya setoran dari junior ke senior di sana yang jumlahnya mencapai puluhan juta rupiah.

“Tentunya itu akan menjadi petunjuk bagi penyidik untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam lagi, dengan harapan bukti petunjuk itu mempermudah penyidik untuk melakukan pemeriksaan dan mengambil keterangan dari informasi tersebut,” tandasnya.
(ams)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4665 seconds (0.1#10.140)