Kisah Karamah Sunan Gunung Jati, Cahaya Ilahi yang Taklukkan Pasukan Prabu Siliwangi
loading...
A
A
A
Pada suatu masa, ketika kekuatan Kerajaan Pajajaran berada di puncaknya, terjadi sebuah peristiwa yang menggetarkan hati para prajurit Prabu Siliwangi . Pasukan yang dikenal tangguh dan disegani ini tak mampu berbuat apa-apa saat berhadapan dengan karomah dari Sunan Gunung Jati, seorang ulama besar yang juga dikenal sebagai Syarif Hidayatullah.
Ceritanya bermula ketika Prabu Siliwangi, raja yang memerintah dengan tangan besi, merasa terganggu oleh cahaya terang benderang yang muncul dari arah timur laut setiap malam. Cahaya itu semakin lama semakin terang, mengusik ketenangan hati sang prabu. Dari istananya di Pakuan Pajajaran, ia bisa melihat dengan jelas pelangi yang membentang dari kejauhan, sebuah pemandangan yang menurutnya tidak biasa dan mencurigakan.
Rasa penasaran bercampur dengan kekhawatiran mendorong Prabu Siliwangi untuk memanggil patih kepercayaannya, Patih Tambisara. Dengan suara tegas, sang prabu memerintahkan Patih Tambisara untuk menyelidiki sumber cahaya tersebut dan menumpasnya jika terbukti membahayakan kerajaan.
Patih Tambisara segera mematuhi perintah itu. Dengan membawa seratus prajurit pilihan, ia bergegas menuju Gunung Jati, tempat di mana cahaya itu diperkirakan berasal. Mereka berharap bisa menghancurkan sumber cahaya yang telah mengusik ketenangan Prabu Siliwangi.
Namun, setibanya di Gunung Jati, sesuatu yang tak terduga terjadi. Cahaya yang mereka hadapi bukanlah cahaya biasa. Saat mendekat, para prajurit Pajajaran yang perkasa itu tiba-tiba merasa tubuh mereka melemah. Kaki mereka gemetar dan tubuh mereka tak bisa berdiri. Mereka semua terjatuh, tak berdaya, dan lumpuh seketika, termasuk Patih Tambisara sendiri. Malam itu terasa sangat panjang bagi mereka, dengan tubuh yang tak bisa digerakkan hingga fajar menyingsing.
Keesokan paginya, Sunan Gunung Jati datang menghampiri mereka. Dengan penuh wibawa, ia menjelaskan bahwa mereka bisa pulih seperti sedia kala hanya jika mereka bersedia mengucapkan dua kalimat syahadat, sebuah janji suci dalam Islam.
Patih Tambisara, yang selama ini setia kepada Prabu Siliwangi, merasa bahwa ini adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirinya dan pasukannya. Tanpa ragu, ia dan seratus prajuritnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Dalam sekejap, kekuatan mereka kembali, tubuh yang lumpuh menjadi pulih. Mereka telah menemukan jalan baru dalam hidup, dan mereka memilih untuk tetap tinggal bersama Sunan Gunung Jati, menjadi pengikut setia dan meninggalkan Pajajaran.
Hanya Patih Tambisara yang kembali ke kerajaan, membawa sebuah surat dari Sunan Gunung Jati untuk Prabu Siliwangi, kakeknya. Surat itu berisi ajakan untuk mengikuti ajaran Islam. Prabu Siliwangi, meski terkejut, mulai mempertimbangkan ajakan tersebut. Namun, sebelum ia bisa mengambil keputusan, Sanghyang Parwatali, seorang dewa yang dihormati, turun dari langit dan membisikkan penolakan terhadap ajaran Islam. Prabu Siliwangi pun menahan niatnya untuk bergabung dengan ajaran baru ini, tetap setia pada kepercayaannya yang lama.
Lihat Juga: Kisah Pangeran Diponegoro Marah Besar ke Sultan Muda Keraton Yogyakarta Akibat Hilangnya Tradisi Jawa
Ceritanya bermula ketika Prabu Siliwangi, raja yang memerintah dengan tangan besi, merasa terganggu oleh cahaya terang benderang yang muncul dari arah timur laut setiap malam. Cahaya itu semakin lama semakin terang, mengusik ketenangan hati sang prabu. Dari istananya di Pakuan Pajajaran, ia bisa melihat dengan jelas pelangi yang membentang dari kejauhan, sebuah pemandangan yang menurutnya tidak biasa dan mencurigakan.
Rasa penasaran bercampur dengan kekhawatiran mendorong Prabu Siliwangi untuk memanggil patih kepercayaannya, Patih Tambisara. Dengan suara tegas, sang prabu memerintahkan Patih Tambisara untuk menyelidiki sumber cahaya tersebut dan menumpasnya jika terbukti membahayakan kerajaan.
Patih Tambisara segera mematuhi perintah itu. Dengan membawa seratus prajurit pilihan, ia bergegas menuju Gunung Jati, tempat di mana cahaya itu diperkirakan berasal. Mereka berharap bisa menghancurkan sumber cahaya yang telah mengusik ketenangan Prabu Siliwangi.
Namun, setibanya di Gunung Jati, sesuatu yang tak terduga terjadi. Cahaya yang mereka hadapi bukanlah cahaya biasa. Saat mendekat, para prajurit Pajajaran yang perkasa itu tiba-tiba merasa tubuh mereka melemah. Kaki mereka gemetar dan tubuh mereka tak bisa berdiri. Mereka semua terjatuh, tak berdaya, dan lumpuh seketika, termasuk Patih Tambisara sendiri. Malam itu terasa sangat panjang bagi mereka, dengan tubuh yang tak bisa digerakkan hingga fajar menyingsing.
Keesokan paginya, Sunan Gunung Jati datang menghampiri mereka. Dengan penuh wibawa, ia menjelaskan bahwa mereka bisa pulih seperti sedia kala hanya jika mereka bersedia mengucapkan dua kalimat syahadat, sebuah janji suci dalam Islam.
Patih Tambisara, yang selama ini setia kepada Prabu Siliwangi, merasa bahwa ini adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirinya dan pasukannya. Tanpa ragu, ia dan seratus prajuritnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Dalam sekejap, kekuatan mereka kembali, tubuh yang lumpuh menjadi pulih. Mereka telah menemukan jalan baru dalam hidup, dan mereka memilih untuk tetap tinggal bersama Sunan Gunung Jati, menjadi pengikut setia dan meninggalkan Pajajaran.
Hanya Patih Tambisara yang kembali ke kerajaan, membawa sebuah surat dari Sunan Gunung Jati untuk Prabu Siliwangi, kakeknya. Surat itu berisi ajakan untuk mengikuti ajaran Islam. Prabu Siliwangi, meski terkejut, mulai mempertimbangkan ajakan tersebut. Namun, sebelum ia bisa mengambil keputusan, Sanghyang Parwatali, seorang dewa yang dihormati, turun dari langit dan membisikkan penolakan terhadap ajaran Islam. Prabu Siliwangi pun menahan niatnya untuk bergabung dengan ajaran baru ini, tetap setia pada kepercayaannya yang lama.
Lihat Juga: Kisah Pangeran Diponegoro Marah Besar ke Sultan Muda Keraton Yogyakarta Akibat Hilangnya Tradisi Jawa
(hri)