Kisah Keangkuhan Kertajaya, Penguasa Kediri yang Mengaku Tuhan hingga Membawa Malapetaka
loading...
A
A
A
Pada suatu masa di Kerajaan Kediri , berkuasalah seorang raja yang dikenal bukan hanya karena kekuatannya, tetapi juga karena keangkuhannya yang tak terukur. Namanya Kertajaya, raja terakhir dari Kediri yang menyandang gelar panjang nan megah: Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa. Namun, kekuasaan dan kesaktiannya yang tak tertandingi ternyata hanya mempertebal kesombongannya hingga ia berani mengaku sebagai Tuhan yang patut disembah oleh rakyatnya.
Keputusan Kertajaya ini tak pelak menimbulkan kegemparan, terutama di kalangan kaum brahmana, kasta tertinggi dalam tradisi Hindu. Mereka yang seharusnya dihormati karena kebijaksanaan dan kesuciannya, justru ditindas oleh raja yang merasa dirinya layak mendapat penghormatan tertinggi. Kertajaya, dengan kekuatan magisnya, bahkan berani menantang hukum alam. Ia memperlihatkan kemampuannya duduk di atas tombak tajam tanpa terluka, seolah membuktikan bahwa dirinya memang pantas dipuja sebagai dewa.
Namun, kesaktian tersebut tak mampu menutup mata kaum brahmana dari kenyataan bahwa tindakan Kertajaya adalah penghinaan besar terhadap ajaran agama. Para brahmana, yang terikat oleh kewajiban menjaga kesucian nilai-nilai agama, tidak bisa menerima klaim ketuhanan sang raja. Mereka memilih untuk meninggalkan ibu kota Kediri, membawa serta keyakinan mereka bahwa Kertajaya telah sesat.
Kemarahan Kertajaya pun memuncak. Mereka yang menolak untuk menyembahnya, yang tidak sepaham dengan keinginannya, dihukum tanpa ampun. Kaum brahmana dan rakyat biasa yang setia pada ajaran Hindu dan Buddha menjadi sasaran penyiksaan. Banyak yang disiksa hingga menemui ajal hanya karena tidak mau mengakui Kertajaya sebagai Tuhan. Sebaliknya, mereka yang tunduk pada keinginannya diberi kedudukan terhormat, meskipun di balik kehormatan itu tersembunyi pengkhianatan terhadap keyakinan mereka.
Namun, kekuasaan yang dibangun di atas ketakutan dan keserakahan tidak akan bertahan lama. Di tengah penindasan yang semakin menjadi-jadi, bangkitlah seorang pahlawan yang akan menjadi senjata pamungkas kaum brahmana. Namanya Ken Arok, seorang ksatria tangguh yang diakui oleh para brahmana sebagai titisan Dewa Siwa. Mereka memberikan gelar Bhatara Guru kepada Ken Arok, sebuah gelar yang menjadi simbol harapan dan perlawanan terhadap tirani Kertajaya.
Kertajaya, yang sebelumnya menyombongkan diri bahwa hanya Dewa Siwa yang bisa mengalahkannya, kini dihadapkan pada sosok yang dipandang sebagai perwujudan dari dewa tersebut. Pertempuran besar pun tak terhindarkan. Ken Arok, dengan restu dan dukungan penuh dari para brahmana, memimpin pemberontakan yang akhirnya berhasil menumbangkan Kertajaya. Raja yang pernah mengaku sebagai Tuhan itu pun menemui ajalnya, takluk di hadapan kekuatan yang lebih besar—bukan sekadar kekuatan fisik, tetapi kekuatan keyakinan dan kebenaran yang tak dapat dibungkam oleh keangkuhan seorang manusia.
Kejatuhan Kertajaya menandai akhir dari kejayaan Kediri, sekaligus menjadi awal dari era baru di Nusantara. Kisahnya menjadi pelajaran abadi tentang bahaya kesombongan dan keserakahan, serta tentang kekuatan sejati yang terletak pada kesetiaan terhadap nilai-nilai kebenaran, bukan pada kekuatan magis atau klaim ketuhanan yang palsu.
Keputusan Kertajaya ini tak pelak menimbulkan kegemparan, terutama di kalangan kaum brahmana, kasta tertinggi dalam tradisi Hindu. Mereka yang seharusnya dihormati karena kebijaksanaan dan kesuciannya, justru ditindas oleh raja yang merasa dirinya layak mendapat penghormatan tertinggi. Kertajaya, dengan kekuatan magisnya, bahkan berani menantang hukum alam. Ia memperlihatkan kemampuannya duduk di atas tombak tajam tanpa terluka, seolah membuktikan bahwa dirinya memang pantas dipuja sebagai dewa.
Namun, kesaktian tersebut tak mampu menutup mata kaum brahmana dari kenyataan bahwa tindakan Kertajaya adalah penghinaan besar terhadap ajaran agama. Para brahmana, yang terikat oleh kewajiban menjaga kesucian nilai-nilai agama, tidak bisa menerima klaim ketuhanan sang raja. Mereka memilih untuk meninggalkan ibu kota Kediri, membawa serta keyakinan mereka bahwa Kertajaya telah sesat.
Kemarahan Kertajaya pun memuncak. Mereka yang menolak untuk menyembahnya, yang tidak sepaham dengan keinginannya, dihukum tanpa ampun. Kaum brahmana dan rakyat biasa yang setia pada ajaran Hindu dan Buddha menjadi sasaran penyiksaan. Banyak yang disiksa hingga menemui ajal hanya karena tidak mau mengakui Kertajaya sebagai Tuhan. Sebaliknya, mereka yang tunduk pada keinginannya diberi kedudukan terhormat, meskipun di balik kehormatan itu tersembunyi pengkhianatan terhadap keyakinan mereka.
Namun, kekuasaan yang dibangun di atas ketakutan dan keserakahan tidak akan bertahan lama. Di tengah penindasan yang semakin menjadi-jadi, bangkitlah seorang pahlawan yang akan menjadi senjata pamungkas kaum brahmana. Namanya Ken Arok, seorang ksatria tangguh yang diakui oleh para brahmana sebagai titisan Dewa Siwa. Mereka memberikan gelar Bhatara Guru kepada Ken Arok, sebuah gelar yang menjadi simbol harapan dan perlawanan terhadap tirani Kertajaya.
Kertajaya, yang sebelumnya menyombongkan diri bahwa hanya Dewa Siwa yang bisa mengalahkannya, kini dihadapkan pada sosok yang dipandang sebagai perwujudan dari dewa tersebut. Pertempuran besar pun tak terhindarkan. Ken Arok, dengan restu dan dukungan penuh dari para brahmana, memimpin pemberontakan yang akhirnya berhasil menumbangkan Kertajaya. Raja yang pernah mengaku sebagai Tuhan itu pun menemui ajalnya, takluk di hadapan kekuatan yang lebih besar—bukan sekadar kekuatan fisik, tetapi kekuatan keyakinan dan kebenaran yang tak dapat dibungkam oleh keangkuhan seorang manusia.
Kejatuhan Kertajaya menandai akhir dari kejayaan Kediri, sekaligus menjadi awal dari era baru di Nusantara. Kisahnya menjadi pelajaran abadi tentang bahaya kesombongan dan keserakahan, serta tentang kekuatan sejati yang terletak pada kesetiaan terhadap nilai-nilai kebenaran, bukan pada kekuatan magis atau klaim ketuhanan yang palsu.
(hri)