Penyebab Keruntuhan Kesultanan Mataram Islam, Kehilangan Sosok Sultan Agung hingga Campur Tangan Belanda
loading...
A
A
A
KESULTANAN Mataram Islam merupakan sebuah kerajaan bercorak Islam yang pernah eksis di Pulau Jawa. Cikal bakal pendiriannya tak bisa dilepaskan dari sosok Ki Ageng Pemanahan dan putranya, Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati).
Pada perkembangannya, Mataram Islam mengalami era kejayaan pada periode kekuasaan Sultan Agung. Menurut berbagai sumber, waktu itu kerajaan mengalami banyak kemajuan, termasuk wilayahnya yang membentang luas.
Namun, Mataram Islam berangsur mengalami kemunduran setelah Sultan Agung wafat. Pada akhirnya, kesultanan ini benar-benar runtuh sekitar 1755 M.
Berkaitan dengan keruntuhannya, ada beberapa penyebab yang menjadi Kesultanan Mataram Islam runtuh. Dirangkum dari berbagai sumber, Senin (5/8/2024), berikut ini ulasannya.
Sultan Agung sangat anti kolonialisme. Dia pun tak gentar untuk melawan VOC yang dirasa dapat membahayakan kekuasaan Mataram Islam.
Namun, keadaan mulai berubah setelah Sultan Agung wafat. Tak hanya Belanda yang menjadi lebih berani, Mataram Islam juga banyak menghadapi peperangan melawan wilayah-wilayah taklukannya.
Kondisi tersebut turut membuat keadaan ekonomi dan sosial kerajaan mengalami kemunduran. Kabar buruknya, para penerus Sultan Agung belum punya solusi konkret untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Faktor lain yang menjadikan Mataram Islam runtuh adalah terjadinya konflik internal. Terlebih, Belanda yang ingin mengambil kesempatan turut memperkeruh suasana di istana.
Perselisihan antara internal kerajaan diakhiri dengan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Melalui kesepakatan itu, Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua kekuasaan, yaitu Nagari Kasultanan Ngayogyakarta dan Nagari Kasunanan Surakarta.
Pada satu sisi, Kasultanan Ngayogyakarta diberikan kepada Hamengkubuwono I, sementara Kasunanan Surakarta diserahkan untuk Pakubuwono III. Momen ini secara praktis menandai akhir riwayat Kesultanan Mataram Islam.
Demikianlah ulasan mengenai penyebab keruntuhan Kesultanan Mataram Islam.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
Pada perkembangannya, Mataram Islam mengalami era kejayaan pada periode kekuasaan Sultan Agung. Menurut berbagai sumber, waktu itu kerajaan mengalami banyak kemajuan, termasuk wilayahnya yang membentang luas.
Namun, Mataram Islam berangsur mengalami kemunduran setelah Sultan Agung wafat. Pada akhirnya, kesultanan ini benar-benar runtuh sekitar 1755 M.
Berkaitan dengan keruntuhannya, ada beberapa penyebab yang menjadi Kesultanan Mataram Islam runtuh. Dirangkum dari berbagai sumber, Senin (5/8/2024), berikut ini ulasannya.
Penyebab Runtuhnya Kesultanan Mataram Islam
1. Kehilangan Sosok Sultan Agung
Sultan Agung sangat anti kolonialisme. Dia pun tak gentar untuk melawan VOC yang dirasa dapat membahayakan kekuasaan Mataram Islam.
Namun, keadaan mulai berubah setelah Sultan Agung wafat. Tak hanya Belanda yang menjadi lebih berani, Mataram Islam juga banyak menghadapi peperangan melawan wilayah-wilayah taklukannya.
Kondisi tersebut turut membuat keadaan ekonomi dan sosial kerajaan mengalami kemunduran. Kabar buruknya, para penerus Sultan Agung belum punya solusi konkret untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
2. Konflik Internal dan Adu Domba Belanda
Faktor lain yang menjadikan Mataram Islam runtuh adalah terjadinya konflik internal. Terlebih, Belanda yang ingin mengambil kesempatan turut memperkeruh suasana di istana.
Perselisihan antara internal kerajaan diakhiri dengan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Melalui kesepakatan itu, Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua kekuasaan, yaitu Nagari Kasultanan Ngayogyakarta dan Nagari Kasunanan Surakarta.
Pada satu sisi, Kasultanan Ngayogyakarta diberikan kepada Hamengkubuwono I, sementara Kasunanan Surakarta diserahkan untuk Pakubuwono III. Momen ini secara praktis menandai akhir riwayat Kesultanan Mataram Islam.
Demikianlah ulasan mengenai penyebab keruntuhan Kesultanan Mataram Islam.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
(shf)