Kisah Pasukan Siliwangi Konvoi 600 Km Bersama Anak Istri Hadapi Serangan Belanda dan DI/TII
loading...
A
A
A
Pada tahun 1948, ketika Belanda melancarkan serangan besar-besaran yang menyebabkan jatuhnya Yogyakarta, sebuah kisah epik tentang keberanian dan pengorbanan pasukan Siliwangi tercipta. Pasukan yang dibentuk dalam Divisi Siliwangi ini bertugas di garis depan pertahanan TNI di Provinsi Banten dan Jawa Barat. Divisi ini, yang kemudian dikenal sebagai Komando Daerah Militer III/Siliwangi, berjuang keras untuk mempertahankan tanah air.
Kisah heroik ini diceritakan dalam buku "Long March Siliwangi" karya Himawan Soetanto, yang mengisahkan perjalanan panjang pasukan Siliwangi kembali ke kampung halaman mereka di Jawa Barat. Perjalanan ini penuh dengan pengorbanan, termasuk kehilangan harta benda, darah, dan nyawa. Dalam perjalanan sejauh 600 km ini, pasukan Siliwangi menghadapi berbagai rintangan, dari medan yang berbahaya hingga serangan musuh.
Salah satu saksi mata yang ikut dalam perjalanan ini adalah Kolonel TB Simatupang, yang bergabung dengan Batalyon Daeng di bawah pimpinan Letnan Kolonel Daan Yahya. Simatupang menggambarkan betapa beratnya perjalanan ini, di mana pasukan dan keluarga mereka harus berjalan kaki melalui jalan gelap, menyeberangi sungai deras, dan mendaki bukit-bukit licin. Mereka juga harus menghadapi kelaparan, penyakit, dan serangan militer Belanda serta teror dari pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Selama perjalanan, banyak anak-anak dan perempuan yang tewas akibat bom pesawat-pesawat Belanda. Kondisi ini semakin diperparah dengan minimnya persediaan makanan dan alat bertahan hidup. Pasukan Siliwangi harus menahan lapar dan terus bergerak menuju tujuan mereka. Bahkan, beberapa ibu yang baru melahirkan terpaksa meninggalkan bayi-bayi mereka kepada penduduk desa yang mereka lewati, demi keselamatan anak-anak mereka.
Panglima Besar Jenderal Soedirman memainkan peran penting dalam situasi ini. Menyadari bahwa serangan Belanda akan datang, ia memerintahkan pasukan Siliwangi untuk bergerak kembali ke Jawa Barat dan membentuk perlawanan gerilya. Perjalanan panjang ini dimulai dengan penuh keringat dan darah, dipimpin oleh Letnan Kolonel Daan Yahya. Pasukan Siliwangi harus menempuh hutan-hutan gelap, menyeberangi sungai-sungai deras, dan menghadapi hewan-hewan liar.
Ketika tiba di Jawa Barat, pasukan Siliwangi mengalami kesulitan untuk diterima kembali di wilayah operasi mereka. Bahkan, pasukan DI/TII menawarkan kerjasama agar pasukan Siliwangi bisa diterima kembali, namun tawaran ini ditolak karena pasukan Siliwangi ingin tetap mengabdi kepada bangsa Indonesia.
Kisah perjalanan panjang ini diabadikan dalam film "Darah dan Doa" yang diproduksi pada tahun 1950 oleh Usmar Ismail. Film ini menggambarkan perjuangan dan pengorbanan pasukan Siliwangi, yang harus berjalan sejauh 600 km dari Yogyakarta ke Jawa Barat setelah ibu kota republik dikuasai oleh Belanda. Dengan perintah Jenderal Soedirman, pasukan Siliwangi melaksanakan perintah Siasat No.1 pada Mei 1948 untuk kembali bergerak ke Jawa Barat dan melakukan perlawanan.
Film ini bukan hanya menceritakan tentang perjuangan militer, tetapi juga menggambarkan bagaimana pasukan Siliwangi dan keluarga mereka menghadapi tantangan besar dengan keberanian dan keteguhan hati. Perjalanan yang penuh dengan pengorbanan ini akhirnya diakhiri pada tahun 1950 dengan diakuinya kedaulatan Republik Indonesia.
Kisah heroik ini diceritakan dalam buku "Long March Siliwangi" karya Himawan Soetanto, yang mengisahkan perjalanan panjang pasukan Siliwangi kembali ke kampung halaman mereka di Jawa Barat. Perjalanan ini penuh dengan pengorbanan, termasuk kehilangan harta benda, darah, dan nyawa. Dalam perjalanan sejauh 600 km ini, pasukan Siliwangi menghadapi berbagai rintangan, dari medan yang berbahaya hingga serangan musuh.
Salah satu saksi mata yang ikut dalam perjalanan ini adalah Kolonel TB Simatupang, yang bergabung dengan Batalyon Daeng di bawah pimpinan Letnan Kolonel Daan Yahya. Simatupang menggambarkan betapa beratnya perjalanan ini, di mana pasukan dan keluarga mereka harus berjalan kaki melalui jalan gelap, menyeberangi sungai deras, dan mendaki bukit-bukit licin. Mereka juga harus menghadapi kelaparan, penyakit, dan serangan militer Belanda serta teror dari pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Selama perjalanan, banyak anak-anak dan perempuan yang tewas akibat bom pesawat-pesawat Belanda. Kondisi ini semakin diperparah dengan minimnya persediaan makanan dan alat bertahan hidup. Pasukan Siliwangi harus menahan lapar dan terus bergerak menuju tujuan mereka. Bahkan, beberapa ibu yang baru melahirkan terpaksa meninggalkan bayi-bayi mereka kepada penduduk desa yang mereka lewati, demi keselamatan anak-anak mereka.
Baca Juga
Panglima Besar Jenderal Soedirman memainkan peran penting dalam situasi ini. Menyadari bahwa serangan Belanda akan datang, ia memerintahkan pasukan Siliwangi untuk bergerak kembali ke Jawa Barat dan membentuk perlawanan gerilya. Perjalanan panjang ini dimulai dengan penuh keringat dan darah, dipimpin oleh Letnan Kolonel Daan Yahya. Pasukan Siliwangi harus menempuh hutan-hutan gelap, menyeberangi sungai-sungai deras, dan menghadapi hewan-hewan liar.
Ketika tiba di Jawa Barat, pasukan Siliwangi mengalami kesulitan untuk diterima kembali di wilayah operasi mereka. Bahkan, pasukan DI/TII menawarkan kerjasama agar pasukan Siliwangi bisa diterima kembali, namun tawaran ini ditolak karena pasukan Siliwangi ingin tetap mengabdi kepada bangsa Indonesia.
Kisah perjalanan panjang ini diabadikan dalam film "Darah dan Doa" yang diproduksi pada tahun 1950 oleh Usmar Ismail. Film ini menggambarkan perjuangan dan pengorbanan pasukan Siliwangi, yang harus berjalan sejauh 600 km dari Yogyakarta ke Jawa Barat setelah ibu kota republik dikuasai oleh Belanda. Dengan perintah Jenderal Soedirman, pasukan Siliwangi melaksanakan perintah Siasat No.1 pada Mei 1948 untuk kembali bergerak ke Jawa Barat dan melakukan perlawanan.
Film ini bukan hanya menceritakan tentang perjuangan militer, tetapi juga menggambarkan bagaimana pasukan Siliwangi dan keluarga mereka menghadapi tantangan besar dengan keberanian dan keteguhan hati. Perjalanan yang penuh dengan pengorbanan ini akhirnya diakhiri pada tahun 1950 dengan diakuinya kedaulatan Republik Indonesia.
(hri)