Runtuhnya Kerajaan Warisan Raja Airlangga Akibat Ketiadaan Armada Perang
loading...
A
A
A
Airlangga turun tahta dari Raja Kahuripan dan mewariskan dua wilayah ke dua putranya. Dua wilayah ini yang kemudian menjadi asal usul Kerajaan Kadiri atau Kediri dan Janggala. Mapanji Garasakan menjadi pendiri Kerajaan Janggala.
Sedangkan Sri Samarawijaya menjadi pendiri Kerajaan Kediri. Keduanya merupakan anak dari Airlangga. Sayang akhirnya dua kerajaan itu berperang memperebutkan kekuasaan wilayah warisan dari Raja Kahuripan tersebut.
Apalagi saat Kerajaan Janggala di bawah Mapanji Garasakan mulai menyusun kekuatan dengan bandar dagangnya. Penguasaan wilayah pesisir di dekat Selat Madura atau di hilir Sungai Porong.
Tapi pada perkembangannya keduanya berseteru ingin menguasai wilayah pelabuhan strategis yang sebetulnya diperuntukan untuk Janggala. Hal itu sesuai warisan dari Raja Airlangga kepada kedua putranya.
Sebagaimana dikutip dari “Hitam Putih Kekuasaan Raja-raja Jawa: Intrik, Konspirasi Perebutan Harta, Tahta, dan Wanita” perseteruan ini memang mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Janggala kala itu.
Hal ini tentu disayangkan, apalagi saat itu Janggala tengah dalam puncak kejayaan secara ekonomi. Tetapi sayang pelabuhan strategis dan kejayaan ekonomi tidak diiringi dengan armada peperangan yang kuat.
Berbeda dengan Kediri di bawah Sri Samarawijaya, yang memiliki armada peperangan, bahkan armada laut memadai kendati wilayahnya tak berbatasan langsung dengan laut.
Sementara, Kadiri yang penghasilannya hanya mengandalkan hasil pertanian tersebut memiliki angkatan perang cukup tangguh. Berkat angkatan perangnya yang tangguh itu, Kadiri bernyali menyerang Janggala untuk menguasai pelabuhan dan sektor perdagangan.
Upaya menguasai Janggala tentu dibutuhkan angkatan perang yang tangguh. Sebab itu, Kadiri di masa pemerintahan Sri Kamesywara berusaha menyatukan Kadiri dan Panjalu. Dari penyatuan dua wilayah tersebut akan mendukung upaya memperkuat angkatan perang Kadiri.
Sungguh ngkatan perang Kediri mulai tangguh, namun Sri Kamesywara belum bisa menguasai Janggala. Baru semasa pemerintahan Mapanji Jayabhaya, Kadiri berhasil merebut Janggala.
Keberhasilan Mapanji Jayabhaya bergelar Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa, dalam merebut Janggala dari kekuasaan Mapanji Alanjung Ahyes tersebut.
Hal itu dilukiskan dalam Kakawin Bharatayuddha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh (1157) dengan kemenangan Pandawa atas Korawa.
Keberhasilan Mapanji Jayabhaya di dalam menguasai Janggala pula dicatat dalam Prasasti Hantang atau Prasasti Ngantang yang berangka tahun 1135. Pada prasasti tersebut menyatakan mengenai Panjalu Jayati yang memiliki makna Panjalu Jaya.
Kadiri mengalami kejayaan saat menyerang Janggala. Sekalipun Mapanji Jayabhaya mengklaim telah berhasil menguasai Janggala, namun kerajaan tersebut belum mengalami masa berakhirnya.
Pusat pemerintahan Janggala dipindahkan dari Tuban ke Lamongan semasa pemerintahan Mapanji Alanjung Ahyes masih berdiri di bawah pemerintahan Sri Samarotsaha.
Namun, akhir pemerintahan Samarotsaha tak diketahui. Sebagaimana akhir Kerajaan Janggala tidak terlacak jejak-jejaknya.
Sedangkan Sri Samarawijaya menjadi pendiri Kerajaan Kediri. Keduanya merupakan anak dari Airlangga. Sayang akhirnya dua kerajaan itu berperang memperebutkan kekuasaan wilayah warisan dari Raja Kahuripan tersebut.
Apalagi saat Kerajaan Janggala di bawah Mapanji Garasakan mulai menyusun kekuatan dengan bandar dagangnya. Penguasaan wilayah pesisir di dekat Selat Madura atau di hilir Sungai Porong.
Tapi pada perkembangannya keduanya berseteru ingin menguasai wilayah pelabuhan strategis yang sebetulnya diperuntukan untuk Janggala. Hal itu sesuai warisan dari Raja Airlangga kepada kedua putranya.
Sebagaimana dikutip dari “Hitam Putih Kekuasaan Raja-raja Jawa: Intrik, Konspirasi Perebutan Harta, Tahta, dan Wanita” perseteruan ini memang mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Janggala kala itu.
Hal ini tentu disayangkan, apalagi saat itu Janggala tengah dalam puncak kejayaan secara ekonomi. Tetapi sayang pelabuhan strategis dan kejayaan ekonomi tidak diiringi dengan armada peperangan yang kuat.
Berbeda dengan Kediri di bawah Sri Samarawijaya, yang memiliki armada peperangan, bahkan armada laut memadai kendati wilayahnya tak berbatasan langsung dengan laut.
Sementara, Kadiri yang penghasilannya hanya mengandalkan hasil pertanian tersebut memiliki angkatan perang cukup tangguh. Berkat angkatan perangnya yang tangguh itu, Kadiri bernyali menyerang Janggala untuk menguasai pelabuhan dan sektor perdagangan.
Upaya menguasai Janggala tentu dibutuhkan angkatan perang yang tangguh. Sebab itu, Kadiri di masa pemerintahan Sri Kamesywara berusaha menyatukan Kadiri dan Panjalu. Dari penyatuan dua wilayah tersebut akan mendukung upaya memperkuat angkatan perang Kadiri.
Sungguh ngkatan perang Kediri mulai tangguh, namun Sri Kamesywara belum bisa menguasai Janggala. Baru semasa pemerintahan Mapanji Jayabhaya, Kadiri berhasil merebut Janggala.
Keberhasilan Mapanji Jayabhaya bergelar Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa, dalam merebut Janggala dari kekuasaan Mapanji Alanjung Ahyes tersebut.
Hal itu dilukiskan dalam Kakawin Bharatayuddha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh (1157) dengan kemenangan Pandawa atas Korawa.
Keberhasilan Mapanji Jayabhaya di dalam menguasai Janggala pula dicatat dalam Prasasti Hantang atau Prasasti Ngantang yang berangka tahun 1135. Pada prasasti tersebut menyatakan mengenai Panjalu Jayati yang memiliki makna Panjalu Jaya.
Kadiri mengalami kejayaan saat menyerang Janggala. Sekalipun Mapanji Jayabhaya mengklaim telah berhasil menguasai Janggala, namun kerajaan tersebut belum mengalami masa berakhirnya.
Pusat pemerintahan Janggala dipindahkan dari Tuban ke Lamongan semasa pemerintahan Mapanji Alanjung Ahyes masih berdiri di bawah pemerintahan Sri Samarotsaha.
Namun, akhir pemerintahan Samarotsaha tak diketahui. Sebagaimana akhir Kerajaan Janggala tidak terlacak jejak-jejaknya.
(ams)