Tok! PN Takalar Vonis Bebas Kades Kadatong dalam Kasus Pelecehan Seksual
loading...
A
A
A
TAKALAR - Kepala Desa (Kades) Kadatong, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar berinisial AR, divonis bebas oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Muhammad Safwan, dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri (PN) Takalar.
AR divonis bebas dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap warga yang saat itu sementara mengurus beasiswa. Majelis hakim menilai, terdakwa tidak terbukti melakukan pelecehan seksual.
Tim Penasihat Hukum terdakwa Ida Hamidah mengatakan, dari awal pihaknya yakin kliennya akan divonis bebas oleh Majelis Hakim. Putusan Nomor 23/Pid.Sus/2024/PN.Tka yang telah dibacakan diputus dengan vonis bebas itu sudah tepat.
Putusan bebas dengan melihat fakta-fakta persidangan berupa tiga orang saksi dan satu ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Takalar di mana tiga saksi tersebut satu merupakan saksi pelapor dan dua orang lainnya hanya testimonium de auditee.
”Sedangkan Saksi ade carge/meringankan yang kami hadirkan ada enam saksi Fakta, satu Ahli yaitu Dr. Ichlas N. Afandi, S.Psi., MA dari Universitas Hasanuddin Makassar dan 14 alat bukti surat,” kata Ida, Selasa (11/6/2024).
Bahwa adapun dakwaan yang dituduhkan kepada kliennya berupa dakwaan alternatif pertama Pasal 82 ayat (1) Jo. Pasal 76E Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sebagaimana telah ditambah dan diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
Dakwaan alternatif kedua, Perbuatan terdakwa tersebut diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 6 huruf c Jo. Pasal 15 Ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Fakta persidangan terungkap dugaan tuduhan pencabulan yang dituduhkan kepada terdakwa pada Senin, 26 Juni 2023 sekitar pukul 10.00 Wita di Rumah terdakwa yang dijadikan kantor sementara Desa Kadatong, berdasarkan fakta persidangan itu tidak terbukti.
Fakta selanjutnya yang lebih memprihatinkan kata Ida, adalah ketiga saksi yang dihadirkan JPU malah mengatakan bahwa selain saksi pelapor dan saksi S terdakwa juga melakukan pelecehan/cabul kepada staf wanitanya.
“Pada saat persidangan nama-nama yang disebutkan oleh saksi pelapor dan saksi S yang kami hadirkan di persidangan, mereka bersumpah dan menangis karena sakit hati telah difitnah,” ujarnya.
Mengenai hasil Visum Et Repertum RS Bhayangkara Makassar, Ida mengaku ada pembanding berupa Alat Bukti T-1 Hasil observasi pemeriksaan kejiwaan dan Resep Obat Kuasa Hukum terdakwa Novita Friyandani Rahman dengan ahli yang mengeluarkan Visum Et Repertum.
”Bukti ini menunjukkan bahwa pemeriksaan kejiwaan dengan wawancara saja, tidak cukup untuk menegakkan diagnosa kejiwaan seseorang,” ucap Ida.
Berdasarkan keterangan dua ahli yang pada intinya mengatakan bahwa teknik wawancara adalah metode yang lemah dalam menegakkan diagnose kejiwaan seseorang. Maka dari itu dibutuhkan tools/variabel pendukung lainnya dalam menegakkan diagnose kejiwaan seseorang.
”Apalagi ketika kami tanyakan kepada saksi pelapor berapa lama saksi diperiksa, kemudian Saksi menjawab sekitar 15-20 menit. Sedangkan kami diperiksa sekitar 105 menit didapatkan diagnose yang sama padahal kejadian tersebut tidak ada,” ujarnya.
Oleh karena itu kata Ida, perlunya memerhatikan prinsip kehati-hatian dan kecermatan dalam pelaksanaan tugas profesi apapun. Sehingga unsur dari Pasal 184 KUHAP terpenuhi secara optimal, objektif dan akuntabel.
Penegakan hukum bukanlah berarti harus menghukum seseorang akan tetapi jika memang kesalahan hukum secara nyata dapat dibuktikan dalam penyidikan, penuntutan dan juga dalam persidangan maka hukum harus ditegakkan,
Namun jika unsur kesalahan tidak terpenuhi, jangan ragu untuk melepaskan/membebaskan terdakwa. Agar penegakan hukum dapat tercipta tanpa campur tangan pihak–pihak tertentu yang berkepentingan.
AR divonis bebas dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap warga yang saat itu sementara mengurus beasiswa. Majelis hakim menilai, terdakwa tidak terbukti melakukan pelecehan seksual.
Tim Penasihat Hukum terdakwa Ida Hamidah mengatakan, dari awal pihaknya yakin kliennya akan divonis bebas oleh Majelis Hakim. Putusan Nomor 23/Pid.Sus/2024/PN.Tka yang telah dibacakan diputus dengan vonis bebas itu sudah tepat.
Baca Juga
Putusan bebas dengan melihat fakta-fakta persidangan berupa tiga orang saksi dan satu ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Takalar di mana tiga saksi tersebut satu merupakan saksi pelapor dan dua orang lainnya hanya testimonium de auditee.
”Sedangkan Saksi ade carge/meringankan yang kami hadirkan ada enam saksi Fakta, satu Ahli yaitu Dr. Ichlas N. Afandi, S.Psi., MA dari Universitas Hasanuddin Makassar dan 14 alat bukti surat,” kata Ida, Selasa (11/6/2024).
Bahwa adapun dakwaan yang dituduhkan kepada kliennya berupa dakwaan alternatif pertama Pasal 82 ayat (1) Jo. Pasal 76E Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sebagaimana telah ditambah dan diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
Dakwaan alternatif kedua, Perbuatan terdakwa tersebut diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 6 huruf c Jo. Pasal 15 Ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Fakta persidangan terungkap dugaan tuduhan pencabulan yang dituduhkan kepada terdakwa pada Senin, 26 Juni 2023 sekitar pukul 10.00 Wita di Rumah terdakwa yang dijadikan kantor sementara Desa Kadatong, berdasarkan fakta persidangan itu tidak terbukti.
Fakta selanjutnya yang lebih memprihatinkan kata Ida, adalah ketiga saksi yang dihadirkan JPU malah mengatakan bahwa selain saksi pelapor dan saksi S terdakwa juga melakukan pelecehan/cabul kepada staf wanitanya.
“Pada saat persidangan nama-nama yang disebutkan oleh saksi pelapor dan saksi S yang kami hadirkan di persidangan, mereka bersumpah dan menangis karena sakit hati telah difitnah,” ujarnya.
Mengenai hasil Visum Et Repertum RS Bhayangkara Makassar, Ida mengaku ada pembanding berupa Alat Bukti T-1 Hasil observasi pemeriksaan kejiwaan dan Resep Obat Kuasa Hukum terdakwa Novita Friyandani Rahman dengan ahli yang mengeluarkan Visum Et Repertum.
”Bukti ini menunjukkan bahwa pemeriksaan kejiwaan dengan wawancara saja, tidak cukup untuk menegakkan diagnosa kejiwaan seseorang,” ucap Ida.
Berdasarkan keterangan dua ahli yang pada intinya mengatakan bahwa teknik wawancara adalah metode yang lemah dalam menegakkan diagnose kejiwaan seseorang. Maka dari itu dibutuhkan tools/variabel pendukung lainnya dalam menegakkan diagnose kejiwaan seseorang.
”Apalagi ketika kami tanyakan kepada saksi pelapor berapa lama saksi diperiksa, kemudian Saksi menjawab sekitar 15-20 menit. Sedangkan kami diperiksa sekitar 105 menit didapatkan diagnose yang sama padahal kejadian tersebut tidak ada,” ujarnya.
Oleh karena itu kata Ida, perlunya memerhatikan prinsip kehati-hatian dan kecermatan dalam pelaksanaan tugas profesi apapun. Sehingga unsur dari Pasal 184 KUHAP terpenuhi secara optimal, objektif dan akuntabel.
Penegakan hukum bukanlah berarti harus menghukum seseorang akan tetapi jika memang kesalahan hukum secara nyata dapat dibuktikan dalam penyidikan, penuntutan dan juga dalam persidangan maka hukum harus ditegakkan,
Namun jika unsur kesalahan tidak terpenuhi, jangan ragu untuk melepaskan/membebaskan terdakwa. Agar penegakan hukum dapat tercipta tanpa campur tangan pihak–pihak tertentu yang berkepentingan.
(ams)