Cara Unik Eks Laskar Pangeran Diponegoro Islamkan Warga Malang yang Mayoritas Hindu
loading...
A
A
A
MALANG - Kiai Hamimuddin, seorang eks laskar Pangeran Diponegoro , memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di Malang. Di tengah mayoritas masyarakat Hindu saat itu, Kiai Hamimuddin menggunakan pendekatan unik yang menarik banyak orang untuk memeluk Islam.
Di Malang ia menetap usai laskar Pangeran Diponegoro tercerai berai akibat kalah perang kala itu. Konon di Malang saat itu masih hutan belantara, usai Kerajaan Singasari runtuh nyaris satu abad lamanya. Kiai Hamimuddin di sini sambil menyebarkan agama Islam ke masyarakat Malang yang masih kental dengan agama Hindu-nya.
KH. Moensif Nachrawi, generasi keempat Kiai Hamimuddin, menceritakan bahwa leluhurnya itu awalnya mengajar di sebuah gubuk kecil dari bambu. Di sana, Kiai Hamimuddin mengajarkan salat dan mengaji kepada masyarakat.
"Pelan-pelan Kiai Hamimuddin mengajar, apa yang terjadi kemudian di luar dugaan Kiai Hamimuddin, karena rupanya setelah itu orang berbondong-bondong (masuk Islam), sebab musababnya agama Hindu mengenal 4 kasta," kata KH. Moensif Nachrawi, ditemui di kediamannya di kawasan Bungkuk, Singosari, Kabupaten Malang.
Moensif menyebut, banyak masyarakat dari golongan bawah terutama sudra di agama Hindu yang akhirnya bergabung memeluk Islam. Pasalnya dalam Islam, tidak ada penyekat antar golongan seperti halnya di agama Hindu.
"Kalau di agama Hindu sekatnya masing-masing jaraknya jauh, jarak perorangan hanya jauh, jarak tingkah laku satu dengan yang lain jauh. Apalagi yang namanya sudra, bahkan sudah dianggap bukan orang lagi sudah kayak budak, diperlakukan sedemikian rupa," terangnya.
Awalnya Kiai Hamimuddin mengajarkan agama Islam ke masyarakat di sebuah gubuk kecil dari gedeg atau anyaman bambu. Di sinilah Kiai Hamimuddin akhirnya terus mengajarkan masyarakat perihal agama islam, termasuk salat dan ngaji. Bangunan kecil gubuk itu lantas digunakan untuk kegiatan mengaji, termasuk salat di lingkungan yang saat ini masih mayoritas pemeluk agama Hindu.
"Kiai Hamimuddin mengajar, disana ngajar ngaji, ngajar salat, di sana gede wong bungkuk bungkuk. Orang-orang nggak tahu aktivitas apa, cuma tahunya ada orang aktivitas bungkuk - bungkuk, ada aktivitas orang yang lelaki ruku' sujud itu yang diajarkan kyai Hamimuddin," paparnya.
Dari sanalah akhirnya asal usul kata Bungkuk yang populer hingga dikembangkan menjadi sebuah masjid muncul. Apalagi istilah bungkuk saat itu begitu lebih mudah dipahami kata Moensif, bagi masyarakat awam yang masih kental dengan pemeluk agama Hindunya.
"Dia sujud itu tahunya wong kok jadi gini wong bungkuk bungkuk yang rupanya sampai sekarang dilestarikan wilayah ini namanya wilayah bungkuk," ungkap dia.
Berikutnya karena semakin hari semakin banyak orang yang belajar agama Islam, mau tidak mau Kiai Hamimuddim akhirnya memperluas bangunan pondok pesantren (Ponpes). Pria yang merupakan bekas laskar Pangeran Diponegoro ini juga membangun sebuah masjid yang lebih besar dibanding sebelumnya.
"Akhirnya harus dibikin tempat ibadah yang lebih besar, masjid harus diperluas, tempat pondok pesantren harus diperluas lagi," tukasnya.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
Di Malang ia menetap usai laskar Pangeran Diponegoro tercerai berai akibat kalah perang kala itu. Konon di Malang saat itu masih hutan belantara, usai Kerajaan Singasari runtuh nyaris satu abad lamanya. Kiai Hamimuddin di sini sambil menyebarkan agama Islam ke masyarakat Malang yang masih kental dengan agama Hindu-nya.
KH. Moensif Nachrawi, generasi keempat Kiai Hamimuddin, menceritakan bahwa leluhurnya itu awalnya mengajar di sebuah gubuk kecil dari bambu. Di sana, Kiai Hamimuddin mengajarkan salat dan mengaji kepada masyarakat.
"Pelan-pelan Kiai Hamimuddin mengajar, apa yang terjadi kemudian di luar dugaan Kiai Hamimuddin, karena rupanya setelah itu orang berbondong-bondong (masuk Islam), sebab musababnya agama Hindu mengenal 4 kasta," kata KH. Moensif Nachrawi, ditemui di kediamannya di kawasan Bungkuk, Singosari, Kabupaten Malang.
Moensif menyebut, banyak masyarakat dari golongan bawah terutama sudra di agama Hindu yang akhirnya bergabung memeluk Islam. Pasalnya dalam Islam, tidak ada penyekat antar golongan seperti halnya di agama Hindu.
"Kalau di agama Hindu sekatnya masing-masing jaraknya jauh, jarak perorangan hanya jauh, jarak tingkah laku satu dengan yang lain jauh. Apalagi yang namanya sudra, bahkan sudah dianggap bukan orang lagi sudah kayak budak, diperlakukan sedemikian rupa," terangnya.
Awalnya Kiai Hamimuddin mengajarkan agama Islam ke masyarakat di sebuah gubuk kecil dari gedeg atau anyaman bambu. Di sinilah Kiai Hamimuddin akhirnya terus mengajarkan masyarakat perihal agama islam, termasuk salat dan ngaji. Bangunan kecil gubuk itu lantas digunakan untuk kegiatan mengaji, termasuk salat di lingkungan yang saat ini masih mayoritas pemeluk agama Hindu.
"Kiai Hamimuddin mengajar, disana ngajar ngaji, ngajar salat, di sana gede wong bungkuk bungkuk. Orang-orang nggak tahu aktivitas apa, cuma tahunya ada orang aktivitas bungkuk - bungkuk, ada aktivitas orang yang lelaki ruku' sujud itu yang diajarkan kyai Hamimuddin," paparnya.
Dari sanalah akhirnya asal usul kata Bungkuk yang populer hingga dikembangkan menjadi sebuah masjid muncul. Apalagi istilah bungkuk saat itu begitu lebih mudah dipahami kata Moensif, bagi masyarakat awam yang masih kental dengan pemeluk agama Hindunya.
"Dia sujud itu tahunya wong kok jadi gini wong bungkuk bungkuk yang rupanya sampai sekarang dilestarikan wilayah ini namanya wilayah bungkuk," ungkap dia.
Berikutnya karena semakin hari semakin banyak orang yang belajar agama Islam, mau tidak mau Kiai Hamimuddim akhirnya memperluas bangunan pondok pesantren (Ponpes). Pria yang merupakan bekas laskar Pangeran Diponegoro ini juga membangun sebuah masjid yang lebih besar dibanding sebelumnya.
"Akhirnya harus dibikin tempat ibadah yang lebih besar, masjid harus diperluas, tempat pondok pesantren harus diperluas lagi," tukasnya.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
(hri)